BincangMuslimah.Com – Kasus kekerasan seksual tentu berdampak besar pada kehidupan korban. Selain rasa trauma, danpak panjang lainnya adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Korban kerapkali dipaksa menerima bayi yang dikandungnya dengan dalih larangan agama untuk menggugurkan kandungan. Hal ini yang justru tidak bisa memutus rantai traumatis kasus kekerasan yang menimpa korban. Tapi benarkah Islam melarang perempuan untuk menggugurkan kandungan hasil perkosaan?
K.H. Husein Muhammad dalam buku Fikih Perempuan mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan ini. Menurutnya, hal ini merupakan pertanyaan sulit karena hal ini jarang ditemukan di kitab-kitab fikih klasik. Tapi, imbuhnya lagi, teori dan kaidah fikih memberikan peluang dan keleluasaan untuk menemukan jawaban dari kasus ini.
Dalam kitab fikih klasik, para ulama sepakat bahwa haram hukumnya menggugurkan kandungan yang usianya di atas 4 bulan atau 120 hari. Hal tersebut dikarenakan, sebagaimana yang dikutip dari kitab Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi, janin yang berusia di atas 4 bulan telah menjadi makhluk karena telah ditiupkan ruh ke dalamnya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra` ayat 3,
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ
Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.
Di sisi lain, tentu ada pertanyaan, bagaimana jika penguguran janin dilakukan saat usianya di bawah 4 bulan?
Ternyata hal ini menimbulkan perdebatan di kalangan para ulama. Salah satu pionir ulama tasawuf, Imam Ghazali yang berasal dari kalangan ulama mazhab Syafi’i melarang pengguguran janin dalam semua usia janin. Artinya, baik itu di bawah atau di atas 4 bulan, menggugurkan janin adalah haram mutlak.
Berbeda dengan Imam ar-Ramli yang juga dari kalangan mazhab Syafi’i yang membolehkan pengguguran kandungan berdasarkan usia kehamilannya. Bahkan beberapa ulama mazhab Syafi’i, dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam ar-Ramli, membolehkan perempuan menggugurkan kandungannya yang diakibatkan oleh perbuatan zina.
Sedangkan pembahasan khsusus tentang kebolehan menggugurkan kandungan hasil perkosaan baru muncul dari kalangan ulama fikih kontemporer. K.H. Husein mengutip pembahasan ini dari majalah al-Buhuts al-Fiqhiyyah al-Mu’ashiroh (Kajian Fikih Kontemporer), terbitan Riyadh, Saudi Arabia, no. 17 tahun kelima, dalam rubrik Masail fi al-Fiqh, halaman 204-205berupaya mengambil jalan tengah berdasarkan teori dan kaidah fikih.
“Jika perempuan itu sebelum berakhirnya usia janin 120 hari dapat meyakini bahwa kandungannya adalah akibat pemerkosaan (berdasarkan keterangan dokter) maka pengguguran setelah 120 hari adalah boleh…….. apabila ia tidak merasa yakin mengenai keadaannya sesudah terjadinya perkosaan itu, karena beberapa sebab yang dibenarkan oleh agama (al-a’dzar al-syar’iyyah) dan usia janin melebihi 120 hari maka kaidah fikih memberi peluang bagi pengguguran tersebut, seperti dalam keadaan darurat, tapi dia harus membayar kifarat (tebusan).. keadaan darurat ini dapat terjadi pada kasus perkosaan. Perempuan dalam keadaan itu, pada umumnya, mengalami penderitaan kejiwaan yang bisa meninggalkan penderitaan fisik dan mental, bahkan bisa menghancurkan hidupnya. Maka, pengguguran kandungan dalam keadaan seperti ini dipandang lebih ringan dibanding kematian. Keadaan darurat juga terjadi karena adanya anak yang tidak sah dan memerlukan biaya dan orang yang memelihara atau mendidiknya. Apalagi, kenyataan pada masyarakat di negara-negara Islam pada umumnya masih belum menerima kehadiran anak yang dilahirkan secara tidak sah. Ini juga berakibat bagi terganggunya kehidupan mereka.”
Ketetapan yang dihasilkan dari para ulama kontemporer tentu berdasarkan penerapan kaidah fikih. Namun, hasil ketetapan tersebut bukan berarti mewajibkan perempuan menggugurkan kandungannya. Hal tersebut adalah pilihan, bukan kewajiban.
K.H Husein melihat bahwa ketetapan ulama kontemporer atas kebolehan menggugurkan kandungan hasil perkosaan merujuk pada keadaan perempuan. Kebolehan ini jika perempuan mengalami kondisi dilematis yang dalam kaidah fikih disebut al-akhaff ad-dhararayn yang berarti mengambil pilihan yang buruk daripada yang lebih buruk.
Keputusan ulama fikih tersebut berdasarkan penerapan teori fikih yang berbunyi,
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
Jika berhadapan dua bahaya (keburukan) maka yang harus dijaga adalah yang paling buruk dengan mengambil tindakan bahaya yang paling ringan
Maka mengugurkan kandungan hasil perkosaan adalah boleh dalam pandangan Islam yang diputuskan berdasarkan hasil demokrasi dan dikembalikan pada korban sang pemilik tubuh itu sendiri. Wallahu a’lam bisshowab.