BincangMuslimah.Com – Kekerasan seksual masih terus terjadi. Ruang aman bagi perempuan ternyata sulit didapatkan, belum lagi setelah peristiwa itu, pihak yang seharusnya memberi perlindungan dan hukuman pada pelaku sangat tidak manusiawi. Hal itu terjadi pada seorang korban yang hendak memberikan laporan percobaan perkosaan namun ditolak oleh Polresta Banda Aceh hanya karena tak dapat tunjukkan surat vaksin.
Peristiwa yang menimpa seorang perempuan berusia sekitar 19 tahun itu terjadi pada 17 Okrober 2021 di tempat barunya. Berita ini bersumber dari siaran pers yang disebarkan kepada beberapa awak media. Perempuan tersebut tinggal bersama ibu dan adiknya, sedangkan ayahnya bekerja di Malaysia. Saat kejadian, ibu dan adiknya sedang tidak berada di rumah. Lalu tak lama, ada seseorang yang mengetuk pintu belakang rumahnya. Karena perempuan itu tak mengenalnya, ia tak langsung membuka pintunya, tapi menghubungi ibunya terlebih dahulu. Ia kemudian membukakan pintu karena berpikir ada tetangga yang ingin mencoba bersosialisasi.
Namun nahas, ternyata yang datang adalah seorang pria tak dikenal yang mencoba memperkosanya. Sang pelaku berusaha memegang tangan dan bahu untuk membuka daster korban. Karena terus melawan, pelaku menamparnya sampai ia mengeluarkan darah dari mulut. Perempuan itu terus berusaha melarikan diri sampai ia tak sadarkan diri akibat terbentur ke dinding rumah.
Pelaku diduga memang tidak sampai benar-benar memperkosa. Tapi tentu, tindakan percobaan itu benar-benar tindak yang perlu dikecam. Adanya upaya percobaan tersebut sudah merupakan tindakan kekerasan seksual. Dan lagi, kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. Tidak memandang siapa, di mana, seperti apa pakaian yang dikenakan, dan lain-lain. Inipun terjadi di dalam rumah. Tempat paling aman dan privat, bukan tempat umum.
Seperti pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”, saat korban dan ibu hendak melaporkan tindakan percobaan perkosaan tersebut ke Polresta Banda Aceh yang didampingi oleh relawan dari Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI-LBH) Banda Aceh dan juga Kepala Dusun (Kadus), laporan tersebut ditolak. Alasan yang diberikan oleh kepolisian juga sangat tidak masuk akal dan tidak ada regulasinya. Laporan ditolak dengan alasan korban dan ibu tidak menunjukkan sertifikat vaksin. Padahal keduanya telah menunjukkan surat keterangan dokter untuk diperkenankan tidak mengikuti vaksinasi.
Korban terus berupaya mendapat bantuan hukum dengan menjelaskan kronologinya. Tapi ternyata, respon polisipun menyatakan bahwa mereka punya wewenang untuk memaksa masyarakat melakukan vaksin yang menjadi program pemerintah. Bahkan lebih parahnya lagi, petugas Sentra Layanan Kepolisian Terpadu (SKPT) juga merespon dengan melontarkan kalimat begini, “mana bisa kamu katakan itu percobaan pemerkosaan, memangnya ada dipegang alat kelaminmu atau dipegang daerah sensitif, misalnya diremas-remas payudaranya? Kalau tidak ya berarti bukan, ini penganiyaan namanya.”
Bersama relawan YLBHI-LBH Banda Aceh, korban bersama sang ibu akhirnya meneruskan laporannya kepada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Namun petugas menolak untuk mengeluarkan Surat Tanda Bukti Lapor (STBL) karena identitas dan ciri-ciri korban yang tidak diketahui dengan jelas.
Dua tindakan dari pihak perlindungan tersebut yaitu, Kepolisian dan PPA sangat disayangkan. Pasalnya, tindakan mereka berupa penolakan laporan dan penerbitan surat bukti lapor tidak memiliki payung hukum. Padahal, sertifikat vaksin yang diminta oleh pihak kepolisian, dalam undang-undang manapun – setelah penelurusan oleh pihak YLBHI-LBH Banda Aceh – tak ada pasal yang menunjukkan bahwa sertifikat vaksin menjadi syarat untuk melakukan laporan.
Begitu juga tindakan dari Unit PPA, tak ada regulasi dari pemerintah yang mewajibkan korban melampirkan data-data pelaku dengan lengkap. Bahkan itu bukan tugas korban, pihak kepolisian atau aparat keamanan lah yang bertugas melakukan penyelidikan. Tapi lagi-lagi, korban kekerasan seksual sulit mendapatkan pembelaan karena payung hukum yang belum jelas yang memihak pada korban.