BincangMuslimah.Com- Murtadha Muthahhari memiliki perspektif yang agak berbeda mengenai persoalan relasi gender. Ia menolak kesetaraan identik dalam hukum keluarga. Sebagai gantinya, ia mengemukakan konsep kesetaraan kontekstual dalam hukum keluarga yang berangkat dari asumsi adanya perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan.
Muthahhari lahir pada tanggal 2 Februari 1919 M di Fariman, Khurasan, Iran. Menurutnya, hukum alam penciptaan manusia baik laki-laki dan perempuan memanglah berbeda. Perbedaan itu bukan hanya terlihat dari perbedaan fisik, namun juga berbeda secara mental (psikis). Perbedaan penciptaan laki-laki dan perempuan menurut hukum alam didukung oleh temuan-temuan ilmiah baik kedokteran maupun psikologi.
Meskipun mempunyai perbedaan, namun Muthahhari tidak melihatnya sebagai keunggulan satu sama lainnya. Dalam bukunya (Hak-hak wanita dalam Islam:1997) ia menegaskan bahwa dengan perbedaan yang ada menunjukkan keselarasan dan hubungan yang bersifat simetri antara keduanya. Beliau melihat perbedaan-perbedaan alam itu sebagai sebuah kebijaksanaan dan keteraturan alam semesta dan ilmu-Nya, serta menunjukkan bahwa proses penciptaan bukanlah sesuatu yang bersifat kebetulan.
Perbedaan-perbedaan alami ini baik laki-laki dan perempuan, Muthahhari kemudian membagi hak-hak keduanya kepada hak khusus bagi laki-laki dan perempuan.
Pertama, hak-hak laki-laki dan perempuan yang berhubungan dengan hak-hak sosial di luar persoalan hukum keluarga, yaitu hak-hak sosial kemasyarakatan yang umum.
Menurut Muthahhari setiap pribadi memiliki hak yang sama dan identik. Karena setiap manusia lahir dengan sama, tidak ada yang memerintah dan diperintah, dan seterusnya. Setiap manusia berpotensi untuk mengambil peran dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan kemampuan, usaha dan kesungguhannya dalam mendapatkan peran ilmiah yang kemudian membedakan status sosial manusia.
Kedua, hak-hak laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Muthahhari berpendapat bahwa hak laki-laki dan perempuan memanglah berbeda. Seorang suami berkewajiban dan memiliki hak-hak tertentu, sedangkan menjadi istri juga membawa kewajiban dan hak-hak tertentu. Demikian juga ketika menjadi seorang ayah ataupun ibu.
Menurutnya, hal ini disebabkan karena kehidupan keluarga memiliki logika yang berbeda dengan logika kehidupan sosial umumnya. Tampaklah Muthahhari berupaya membangun sebuah konsep relasi gender dalam hukum keluarga yang tidak mengidentikkan laki-laki dan perempuan, sekaligus mengakui perbedaan keduanya.
Itulah pemikiran Murtadha Muthahhari mengenai relasi gender. Dalam menjelaskan konsep relasi kesetaraan kontekstual ini, Muthahhari mendasarkan pada metode pemikiran yang bersifat filosofis. Dengan metode filosofis ini berupaya mengemukakan secara logis makna (hakikat) di balik relasi yang membedakan laki-laki dan perempuan dalam hukum keluarga. Muthahhari menolak kesetaraan identik dalam hukum keluarga. Pemikirannya tidak sepenuhnya searah dengan wacana relasi gender yang berkembang di negara muslim seperti Turki, Iran dan Arab Saudi.
1 Comment