Ikuti Kami

Kajian

Apa Hukumnya Pernikahan Berbeda Suku?

Tidak Datang ke Pernikahan Teman

BincangMuslimah.Com – Allah menciptakan manusia berbeda-beda agar saling mengenal. Dan perbedaan itu tercipta untuk menunjukkan betapa besar kuasaNya. Dari perbedaan suku, bahasa, bahkan bangsa tersebut seringkali terjadi persatuan dua perbedaan melalui pernikahan. Sunda dengan Jawa, Batak dengan Bugis, dan lain-lain. Apakah dalam Islam ada ketentuan mengenai pernikahan berbeda suku? Lantas apa hukumnya?

Penciptaan manusia yang berbeda telah Allah sebutkan dalam surat al-Hujurat ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: Wahai Manusia! Sesungguhnya aku telah menciptakan kalian semua dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kamu jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.

Menilik negara kita sendiri yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, dan warna kulit, bisa dipastikan seringkali terjadi pernikahan dari berbeda suku. Apakah ini pernah terjadi di masa Rasulullah?

Dalam sebuah hadis dari sahabat Ali Ra disebutkan:

ثلاث لا تؤخر : الصلاة إذا أتت، والجنازة إذا حضرت، والأيم إذا وجدت لها كفائة

Artinya: Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhiri (ditunda): sholat apabila telah datang (waktunya), jenazah apabila telah hadir (segera diurus) dan gadis apabila telah ditemukan kafa’ah (segera nikahilah) (HR. Tirmidzi)

Dalam Fikih pernikahan, Islam mengajukan istilah Kafa’ah yang merujuk dari hadis tersebut. Syekh Wahbah Zuhaili mengemukakan definisi Kafa’ah dalam Mausuu’atu al-Fiqh al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah. Kafa’ah diartikan sebagai level kesetaraan antara dua pasangan dalam beberapa hal, yaitu agama, nasab, merdeka, pekerjaan, bahkan ulama mazhab Hanafi dan Hanbali menambahkan hal harta. Jadi, kafa’ah merupakan standar yang dipandang dari status sosial. Bisa jadi dari suku yang juga memiliki tingkatannya dalam adat Indonesia atau lainnya.

Baca Juga:  Macam-macam Wali Nikah dalam Islam

Kafa’ah ditentukan untuk mewujudkan kesetaraan dalam status sosial dan mewujudkan kebahagiaan, sehingga salah satu pihak baik laki-laki maupun perempuan tidak merasa rendah di pandangan masyarakat atau keluarga. Tapi apakah betul kafa’ah menjadi syarat dalam pernikahan?

Ada dua pendapat mengenai status Kafa’ah dalam pernikahan:

Pendapat pertama mengenai Kafa’ah dari sebagian ulama seperti Imam ats-Tsaury, al-Hasan al-Bashry, dan al-Kurhi dari ulama mazhab Hanafi berpendapat Kafa’ah tidak menjadi syarat yang fundamental dalam sebuah pernikahan. Ia tidak menjadi syarat sahnya dan syarat berlangsungya pernikahan. Pernikahan tetaplah sah dan tetaplah dianggap kemaslahatannya jika kedua mempelai berasal dari status sosial yang berbeda.

Mereka merujuk pada surat al-Hujurat ayat 13 yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tolok ukur kemuliaan manusia adalah dari takwanya, bukan status sosialnya. Dan bagi mereka, pada hakikatnya semua manusia itu sama dan sederajat sebab berasal dari Allah yang diciptakan dari unsur yang sama. Begitu juga ketika ulama tersebut merujuk pada hadis Nabi yang berbunyi:

ليس لعربي على عجمي فضل إلا بالتقوي

Artinya: Orang Arab tidaklah lebih mulia daripada orang Ajam (non Arab) kecuali (diukur) dengan takwanya. (HR. Ahmad)

Selain atas hadis tersebut, golongan ulama yang tidak menjadikan Kafa’ah sebagai syarat dalam pernikahan berkaca kisah Bilal bin Rabah. Disebutkan bahwa sang mantan budak berkulit hitam ini hendak melamar seorang perempuan dari kalangan Anshor lantas mereka menolaknya. Bilalpun mengadukan hal itu pada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda:

“katakan pada mereka! sesungguhnya Rasulullah memerintahkan kalian untuk menikahkan aku (Bilal)”

Sedangkan mayoritas ulama Fikih menjadikan Kafa’ah sebagai syarat berlangsungnya pernikahan, bukan syarat sah. Mereka merujuk pada hadis Nabi dan salah satunya mengenai 3 perkara yang tidak boleh ditinggalkan, hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Juga kepada hadis dari Abu Hatim al-Muzani:

Baca Juga:  Hak Perempuan dalam Memilih Pasangan

“Apabila datang kepada kalian seseorang yang engkau ridoi agamanya dan budi pekertinya, maka nikahkanlah, jika tidak maka akan terjadi kerusakan di muka bumi.” (HR. Tirmidzi)

Hadis tersebut berstatus hasan gharib.

Mayoritas ulama mensyaratkan Kafa’ah dalam pernikahan sebenarnya ingin mewujudkan kemaslahatan dalam pernikahan. Jika kita merujuk pada beberapa pendapat ulama dan dalil-dalil yang dipaparkan, standar kesetaraan lebih ditujukan dalam segi agama dan akhlaknya. Bukan sekedar harta dan pangkat yang sifatnya duniawi. Sebab kemaslahatan pernikahan akan terwujud jika pasangan memiliki ilmu agama dan perilaku yang sama baiknya.

Apabila terjadi pernikahan dari dua suku berbeda maka tetaplah sah. Hal yang paling penting adalah keridhaan di antara keduanya dan tidak adanya perasaan lebih rendah atau lebih tinggi satu sama lain.

Wallahu a’lam bishhowaab.

 

Rekomendasi

Mapan Dulu, Baru Nikah! Mapan Dulu, Baru Nikah!

Mapan Dulu, Baru Nikah!

Ingin Memantaskan Diri Menjelang Pernikahan? Simak Ulasan Berikut

suami suara tuhan suami suara tuhan

Pengertian Keluarga Sakinah dan Makna Perkawinan dalam Islam

Uang Panai, Wajibkah?

Ditulis oleh

Sarjana Studi Islam dan Redaktur Bincang Muslimah

Komentari

Komentari

Terbaru

Anak Meninggal Sebelum Hari Ketujuh, Masihkah Diakikahi?

Ibadah

Surah ar-Ra’du Ayat 28: Menjaga kesehatan Mental dengan Berzikir Surah ar-Ra’du Ayat 28: Menjaga kesehatan Mental dengan Berzikir

Surah al-Ra’du Ayat 28: Menjaga kesehatan Mental dengan Berzikir

Muslimah Daily

Dua Pendapat Imam As-Syafi’i Mengenai Air Musta’mal Dua Pendapat Imam As-Syafi’i Mengenai Air Musta’mal

Dua Pendapat Imam As-Syafi’i Mengenai Air Musta’mal

Ibadah

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Berita

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Berita

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Berita

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

ayat landasan mendiskriminasi perempuan ayat landasan mendiskriminasi perempuan

Manfaat Membaca Surat Al-Waqiah Setiap Hari

Ibadah

Connect