BincangMuslimah.Com- Dalam rangka menyambut Hari Santri Nasional (HSN), Kyai Imam Nakhei, komisioner Komnas Perempuan, memberikan keterangan dalam wawancara eksklusif dengan tema “Pendampingan Penyintas Kekerasan Seksual di Pesantren.”
Salah satu poin utama yang diangkat adalah pentingnya integrasi nilai-nilai anti kekerasan ke dalam kurikulum. Serta adanya kampanye sosial di pesantren sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Kyai Imam Nakhei juga menekankan perlunya pendampingan yang berkesinambungan bagi penyintas kekerasan seksual, serta pentingnya kolaborasi antara pesantren, lembaga perlindungan anak, dan pihak terkait untuk menyediakan mekanisme rehabilitasi dan pemulihan korban.
Apa saja Hambatan dalam Penanganan Kekerasan Seksual di Pesantren?
Salah satu kendala dalam menangani kasus kekerasan seksual di pesantren adalah pandangan yang menganggap kekerasan seksual sebagai hal tabu dan memalukan. Banyak yang khawatir jika membuka kasus ini ke publik, akan merusak reputasi lembaga pendidikan, baik di pesantren maupun di luar pesantren. Stigma ini, yang menganggap kekerasan seksual sebagai aib yang harus disembunyikan, menjadi akar permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren.
Kendala kedua adalah anggapan bahwa tidak perlu menangani kekerasan seksual dengan serius, karena menganggapnya sebagai hal yang wajar. Normalisasi kekerasan, sekecil apapun, justru memperkuat dan mempertahankan keberadaan kekerasan di lingkungan pendidikan. Hal ini menyebabkan kasus kekerasan seksual terus terjadi dan berkembang menjadi masalah yang lebih besar, seperti yang terlihat dari masih maraknya berita tentang kekerasan seksual di pesantren.
Selain itu, hambatan lainnya adalah belum adanya mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren. Hingga saat ini, belum ada peraturan yang khusus mengatur penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Sosialisasi mengenai hal ini juga belum maksimal di kalangan pesantren dan lembaga pendidikan lainnya.
Bagaimana Peran Komnas Ham dan Komnas Perempuan?
Dalam upaya mencegah kekerasan seksual di pesantren dan lembaga pendidikan lainnya, Komnas HAM dan Komnas Perempuan sebenarnya turut berperan dalam penyusunan regulasi. Termasuk Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73 Tahun 2022 tentang pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama. Mereka juga terlibat di Kemendikbudristek dalam merumuskan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Namun, tantangan utamanya adalah anggaran yang besar serta komitmen yang kuat untuk menjalankannya.
Meski realisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini cukup signifikan, terutama di perguruan tinggi—baik perguruan tinggi agama maupun umum—hambatan tetap ada. Beberapa perguruan tinggi dan Kemendagri sudah memiliki SOP yang berjalan, namun penerapannya di pesantren masih belum detail dan belum signifikan. Sosialisasi regulasi di lingkungan pesantren juga belum maksimal. Sosialisasi ini penting untuk mendorong agar pesantren memiliki mekanisme pencegahan, penanganan, dan evaluasi yang berkesinambungan.
Menurut Anda bagaimana Upaya untuk mewujudkan Pesantren bebas kekerasan?
Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi keagamaan negeri (PTKN) sudah berjalan dengan sangat aktif, terutama dalam hal sosialisasi. Hasilnya, hampir semua perguruan tinggi negeri memiliki aturan serta satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Namun, penerapan di lembaga pesantren masih belum signifikan. Sepertinya, ada jarak antara lembaga HAM dan pesantren. Oleh karena itu, harapan ke depan bagi Komnas Perempuan adalah dapat menjangkau lebih luas dan membantu dalam sosialisasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren.
Meskipun pesantren belum memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan yang terbentuk dengan baik, beberapa ruang untuk rehabilitasi atau pemulihan korban sudah tersedia. Baik melalui kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) maupun Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak di tingkat kabupaten.
Dengan Maraknya Kasus yang kekerasan Seksual, Apakah pesantren sudah terbuka akan fakta ini?
Saat ini, pesantren mulai lebih terbuka dalam menerima sosialisasi, dan diskusi untuk membangun mekanisme pencegahan kekerasan, bullying, dan intoleransi. Salah satu contohnya adalah Pesantren Salafiyah Situbondo, yang sering mengadakan kegiatan nasional bersama komunitas disabilitas dan melibatkan KPAI untuk memberikan pengetahuan tentang perlindungan dan keamanan bagi para santri.
Kebijakan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, bullying, dan intoleransi dapat disusun secara terbuka. Sehingga seluruh komunitas pesantren—termasuk santri dan keluarga besar pesantren dapat mengetahuinya.
Kebijakan tersebut juga harus tersosialisasikan secara efektif sehingga pesantren dapat menjadi lingkungan yang bebas kekerasan, bullying, dan intoleransi. Penting untuk menyerukan budaya anti kekerasan ini, karena melakukan kekerasan adalah dosa besar, dan bullying merupakan bentuk penghinaan terhadap martabat kemanusiaan.
Pesantren memiliki banyak ruang untuk menyuarakan budaya anti kekerasan. Salah satunya melalui integrasi ke dalam kurikulum lokal, misalnya dalam pelajaran akhlak dan fiqih. Selain itu, kampanye penghargaan terhadap kemanusiaan di lingkungan pesantren juga sangat penting. Mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus berfokus pada pemulihan martabat kemanusiaan, bukan pada pendekatan yang penuh kebencian atau penghukuman. Pendekatan hukuman terhadap anak justru dapat menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
Langkah pentingnya adalah membudayakan prinsip-prinsip anti kekerasan, toleransi, dan anti bullying melalui kurikulum dan kampanye sosial. Dengan begitu, hal ini dapat membantu menekan angka kekerasan, bullying, dan intoleransi di lingkungan pendidikan keagamaan, termasuk pesantren.
Melalui pendekatan ini, pesantren dapat menjadi tempat yang aman bagi semua santri. Serta memperkuat peran lembaga pendidikan agama dalam memberikan perlindungan yang komprehensif bagi para santri. Harapannya, dengan kebijakan dan sosialisasi yang efektif, pesantren dapat mewujudkan budaya non-kekerasan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.