Ikuti Kami

Tak Berkategori

Ratna Indraswari Ibrahim: Perempuan Difabel yang Berdaya

Ratna Indraswari Ibrahim: Perempuan Difabel yang Berdaya

BincangMuslimah.Com– Ratna Indraswari Ibrahim adalah nama yang tidak asing lagi dalam dunia sastra. Ia merupakan sastrawan difabel yang sangat produktif dalam menulis. Karya yang ia hasilkan cukup banyak, bahkan lebih dari 400 cerpen dan novel telah ia tulis.

Ratna lahir dari kedua orang tua yang berdarah Padang, namun ia lahir dan tumbuh di Jawa, tepatnya di Malang, Jawa Timur pada 24 April 1949. Ia adalah anak keenam dari sebelas bersaudara.

Rupanya kedua orangtua Ratna yang menurunkan kepiawaiannya dalam menulis. Ibunya, Siti Bidahsari Arifin, mempunyai kegemaran menulis dan melukis. Sedangkan ayahnya, Saleh Ibrahim selain menjadi hakim di masa kolonial Belanda, juga seorang penulis dan aktivis.

Tidak hanya kedua orang tuanya, kakek buyut Ratna juga terkenal sebagai pencerita cerita rakyat, menceritakan keindahan tanah airnya dengan budaya dan tradisi. Maka, tidak heran jika darah kepiawaian menulis ini mengalir kepada Ratna dan saudara perempuannya, yakni Farida, Sulfa, dan Nanik.

Terpuruk, Lalu Bangkit

Disabilitas fisik Ratna alami bermula saat itu terserang penyakit rachitic di usianya yang kesepuluh tahun. Penyakit itu membuatnya lumpuh total, tidak bisa menggerakkan tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya. Keadaan itu mengharuskan ia untuk melakukan banyak aktivitas di atas kursi roda.

Kondisi itu tentu tidak mudah dilewati oleh Ratna yang masih kecil. Terutama ketika ia menginjak usia remaja-dewasa, ia mulai mengerti dan menyadari bahwa kekurangan ini membuat geraknya menjadi terbatas.

Sama seperti halnya penyandang difabel yang lain, Ratna pernah mengalami perundungan, dan marah pada diri sendiri atas sakit yang menimpanya itu. Bahkan, di usia mudanya ia mengaku pernah ateis. Mungkin itu sebagai luapan emosi dalam dirinya.

Baca Juga:  Pandemi Covid-19: Beragam Hikmah Bagi Dunia Pendidikan di Indonesia

Akan tetapi, lambat laun Ratna mulai bisa berdamai dengan diri sendiri. Menerima segala apa yang telah terjadi. Seperti Prof. Djoko Saryono pernah menuturkan, bahwa Ratna pernah berkata, “Namun saya percuma menangisi ini. Semua sudah saya tanggalkan di belakang. Sekarang saya memikirkan bagaimana saya hidup berguna.”.

Itu disebut fase epifani, yakni fase kematangan seseorang setelah ia melewati tahap penyerahan diri atas ketidakberdayaan dirinya. Kemudian ia mulai memberdayakan diri serta memutuskan untuk fokus pada kemampuan dan pemikirannya yang cemerlang.

 

Berdaya, Sekalipun Hanya di Atas Kursi Roda

Saat ia mulai berdamai dengan dirinya, Ratna tidak lagi punya persoalan atau mempersalahkan terkait kondisinya itu. Sebab orangtua, saudara dan keluarganya memperlakukan seperti yang lain, tidak mengistimewakan.

Namun, ketika Ratna berada di luar lingkungannya, ia melihat banyak dari masyarakat yang belum sepenuhnya menerima orang-orang difabel. Mereka selalu menganggap bahwa orang difabel adalah obyek, bukan subyek, maka dari itu perlu untuk dikasihani.

Paradigma masyarakat yang sedemikian itu menggerakkan hati Ratna untuk menumbuhkan motivasi kepada rekan-rekannya sesama difabel, terlebih kepada masyarakat bahwa difabel adalah manusia biasa yang juga merupakan bagian dari warga negara.

Banyak tindakan Ratna lakukan sebagai pembuktian bahwa ia berdaya, bahkan melebihi orang yang normal fisiknya, sekalipun hanya dari kursi roda. Sebagai bentuk kritiknya terhadap masyarakat yang memandang sebelah mata penyandang disabilitas, terlebih lagi jika ia perempuan, Ratna menyuarakannya melalui karya tulis, cerpen maupun novel. Salah satunya yaitu, Lemah Tanjung (2003), Bajunya Sini (2004) dan Batu Sandung (2007), karya-karyanya ini masih kerap kali menjadi obyek penelitian.

Dalam kegiatan menulis, terkadang Ratna meminta bantuan teman dengan cara mendiktekannya. Namun itu tidak selalu, ia juga bisa mengetikkannya sendiri di komputer dengan menggunakan sepasang sumpit untuk menekan tombol-tombol di keyboard.

 

Baca Juga:  Viral Pembacaan Al-Qur’an di Pembukaan Piala Dunia 2022 Qatar

Seorang Aktivis

 

Tidak hanya aktif di dunia tulis menulis, Ratna juga seorang aktivis. Bermula sejak tahun 1977, ia menjadi ketua Yayasan Bhakti Nurani Malang, Disable Person Organization, serta sebagai Direktur 1 di LSM Entropic Malang tahun 1998.

Keaktifannya di bidang sosial mengantarkan Ratna untuk hadir dalam acara-acara seminar internasional. Di antaranya Disable People International, Sydney (1993), Leadership Training MIUSA, Eugene Oregon USA (1997), dan Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC (1997). Bahkan, ia juga mendapatkan penghargaan dari Pemerintah RI sebagai Wanita Berprestasi (1994).

Dedikasi dan semangat Ratna dalam dunia sastra menjadi alasan bagi Mendiknas untuk menganugerahinya penghargaan Kesetiaan Bersastra (Oktober 2004). Rumah kediamannya di Malang menjadi tempat banyak penulis belajar dan menggali informasi kepadanya. Karya terakhirnya adalah novel yang bertajuk 1998, terbit di posthumous.

Di usianya yang menginjak 62 tahun, Ratna menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 28 Maret 2011. Ia menderita penyakit jantung, diabetes, dan infeksi paru-paru. Persemayaman terakhirnya di Taman Pemakaman Umum Samaan, Kota Malang.

Ratna akan selalu terkenang sebagai penulis perempuan terbesar di Indonesia. Sebagaimana Sukowati Utami selalu menulis saat mengenang sosok Ratna, “Ia duduk di kursi roda dengan keterbatasan fisik. Namun spirit dan dedikasi sastranya menggelinding. Sejarah mencatat, aktivis, pejuang lingkungan, dan pengayom kaum difabel ini tidak dapat terpisahkan dari perkembangan kesusastraan Indonesia.”.

 

Sumber Bacaan:

1998

Yang Terlupakan dan Dilupakan

Jurnal Perempuan

Menembus Batas

Interseksi Gender

 

 

Rekomendasi

Ditulis oleh

Alumni prodi Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel, Surabaya. Minat pada kajian Islam dan Alquran. Kini juga aktif sebagai penulis di tafsirquran.id.

1 Komentar

1 Comment

Komentari

Terbaru

Anjuran Bagi-bagi THR, Apakah Sesuai Sunah Nabi?

Video

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

Kajian

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri? Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Ibadah

kisah fatimah idul fitri kisah fatimah idul fitri

Kisah Sayyidah Fatimah Merayakan Idul Fitri

Khazanah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Muslimah Talk

Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami? Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami?

Ummu Mahjan: Reprentasi Peran Perempuan di Masjid pada Masa Nabi

Muslimah Talk

Trending

Ini Tata Cara I’tikaf bagi Perempuan Istihadhah

Video

Ketentuan dan Syarat Iktikaf bagi Perempuan

Video

tips menghindari overthingking tips menghindari overthingking

Problematika Perempuan Saat Puasa Ramadhan (Bagian 3)

Ibadah

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid: Pelopor Pendidikan Perempuan dari NTB

Kajian

malam jumat atau lailatul qadar malam jumat atau lailatul qadar

Doa Lailatul Qadar yang Diajarkan Rasulullah pada Siti Aisyah

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

mengajarkan kesabaran anak berpuasa mengajarkan kesabaran anak berpuasa

Parenting Islami : Hukum Mengajarkan Puasa pada Anak Kecil yang Belum Baligh

Keluarga

Puasa Tapi Maksiat Terus, Apakah Puasa Batal?

Video

Connect