BincangMuslimah.Com – Perempuan Indonesia saat ini sudah semestinya berbahagia. Di mana negeri ini telah punya regulasi yang kokoh untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Lewat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 12 April 2022, pelaku kekerasan seksual dapat diproses secara hukum.
Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan pelaku tidak dapat berkelit dan dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat. Di sisi lain, dari pihak penegak hukum kini punya acuan untuk menerapkan sanksi sesuai regulasi di dalam UU TPKS.
Utamanya pada korban, kini dengan adanya UU TPKS diharapkan tidak lagi terbentur saat meminta keadilan. Tidak hanya dari sisi hukum, korban juga mendapatkan pendampingan secara psikis.
Namun, kehadiran UU TPKS bukan berarti perjuangan ini selesai sampai di sini saja. Masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan bersama-sama. Pengesahan regulasi terkait tindak kekerasan seksual merupakan pintu gerbang. Setelah pintu terbuka, maka yang diperlukan setelahnya adalah implementasi dari hukum tersebut.
Pertama, adanya edukasi serta literasi mumpuni terkait kandungan UU TPKS kepada masyarakat luas. Tidak dapat dipungkiri jika sebagian daerah di tanah air masih terbenam oleh budaya patriarki. Sehingga isu kekerasan seksual masih dianggap tabu atau tidak penting untuk diusut.
Mungkin pernah mendengar jika korban pemerkosaan malah berujung damai dengan memilih ‘jalan kekeluargaan’. Korban bukannya mendapatkan perlindungan secara fisik dan mental, malah dinikahkan oleh pelaku. Sebuah ironi yang harus segera diberantas.
Di sisi lain, masih ada masalah patriarki yang berurusan dengan relasi kuasa. Pihak pelaku, sebagian besar memiliki kekuatan atau kuasa yang lebih kuat dari korban. Dalam hal ini, suara laki-laki lebih didengar ketimbang perempuan.
Situasi ini terkadang menyurutkan keinginan perempuan untuk mengadukan ke pihak berwajib. Selain stigma menjadi korban adalah aib, beberapa oknum penegak hukum terkadang malah menyudutkan korban.
Sehingga selain dari masyarakat, pihak penegak hukum dan pejabat sudah semestinya mengubah sudut pandang terhadap korban. Sehingga tidak lagi sekadar membaca dan mengamati keberadaan UU TPKS. Namun juga memahami konteks dan mengimplementasikannya berdasarkan hati nurani.
Kedua, perlu adanya sosialisasi kerja bersama dengan mengajak berbagai macam lini untuk menyebarkan informasi terkait UU TPKS. Apa lagi Indonesia terdiri dari belasan 17 ribu lebih pulau. Beberapa daerah bahkan sulit dari akses transportasi dan internet. Belum lagi beragam budaya dan tradisi yang dipegang oleh masing-masing suku di Indonesia.
Selama ini kerja keras mensosialisasikan terkait hak keperempuanan mungkin diemban oleh para aktivis perempuan, lembaga swadaya masyarakat, hingga organisasi keperempuanan saja. Namun penulis merasa strategi ini kurang efektif jika hanya mengandalkan satu pihak saja.
Pemerintah perlu berkontribusi. Dalam hal ini bisa saja dengan membuat regulasi dengan menyandingkan data-data yang dimiliki teman-teman aktivis dan LSM. Tokoh masyarakat dan pemuka agama setempat juga harus dilibatkan.
Masyarakat kita pada umumnya menaruh kepercayaan amat tinggi pada tokoh masyarakat dan pemuka agama. Hal ini bisa dilihat ketika masyarakat kita sering mengadukan permasalahan dan meminta solusi pada tokoh masyarakat dan pemuka agama.
Ketiganya harus saling bahu membahu agar komunikasi lebih efektif dan bisa diterima oleh masyarakat. Jika salah satu pihak saja tidak terlibat, maka sosialisasi mungkin sulit berjalan sesuai harapan.
Sudah semestinya kita, sebagai orang-orang yang berada di dalam atap yang sama yaitu Indonesia untuk saling melindungi satu sama lain. Khususnya pada perempuan yang rentan menjadi korban.
UU TPKS pada dasarnya memiliki nafas yang sama dengan Islam. Al-Quran pun lebih dahulu menekankan untuk setiap manusia tidak melakukan tindakan keji. Dan kekerasan seksual sendiri merupakan perilaku keji yang merusak. Larangan ini tercantum di dalam Q.S Al-Isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Berkaca pada Tafsir as-Sa’di oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa-di pakar tafsir abad 14 H menjelaskan jika larangan berzina tidak sekadar melakukannya. Namun semua hal yang berkaitan dengan perzinaan.
Perzinaan dalam hal ini terjadi karena ada dorongan nafsu yang begitu kuat sehingga menutupi akal sehat. Dan perilaku kekerasan seksual berasal dari nafsu yang melahirkan dosa keji berdasarkan pada syariat.
Di mana dalam tindakannya telah melanggar hak dan merusak kehormatan dari korban. Selain itu kekerasan seksual disebut dapat melahirkan dosa yang keji dan menyebabkan kerusakan lainnya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan jika masih ada tugas rumah yang menanti usai UU TPKS hadir di tengah-tengah kita. Yaitu perlunya pengawalan dari implementasi regulasi ini. Dan semua ini membutuhkan kerja sama dari semua pihak. Yaitu masyarakat, pemerintah dan para tokoh masyarakat.