BincangMuslimah.Com- Aqabah adalah nama tempat yang terletak di wilayah Mina, sekitar 3 km dari arah timur Masjidil Haram. Dengan adanya bangunan Masjid aqabah yang posisinya sejajar arah utara jumrah aqabah menjadi tanda wilayah ini. Pada tahun ke-12 kenabian atau 621 M di tempat itu terjadi sebuah baiat, sumpah janji setia, 12 orang laki-laki kepada Nabi Muhammad Saw.
Sebelum peristiwa Perjanjian aqabah I terjadi, di tahun sebelumnya, Nabi Muhammad Saw. telah bertemu dengan enam orang laki-laki suku Khazraj dari Yatsrib yang sedang berziarah ke Mekkah. Pada satu malam, Nabi Saw. lewat di dekat mereka, dan mulai melakukan perbincangan.
Nabi Saw. menjelaskan kepada mereka tentang Islam, membacakan ayat Alquran, dan mengajak mereka untuk beriman kepada Allah. Enam orang tersebut sebenarnya sudah mengetahui status kenabian dari Muhammad Saw, sebab peristiwa kenabian itu sudah serig kali diucapkan oleh orang Yahudi.
Dan pada tahun ke-12 kenabian, mereka kembali melakukan ziarah ke Mekkah dan melakukan pertemuan dengan Nabi Saw. di aqabah. Keduabelas orang tersebut, lima orang adalah yang datang pada tahun sebelumnya, lima orang yang baru berasal dari suku Khazraj, dan dua lainnya dari suku ‘Aus.
Alasan perbedaan pendapat terkait nama lain dari Perjanjian aqabah I
Dalam Sirah Nabawiyah, ada perbedaan terkait nama lain dari Perjanjian aqabah I yang disebut juga dengan Bai’atun Nisa’ atau baiat kaum perempuan. Isi dari baiat tersebut termaktub dalam surah al-Mumtahanah ayat 12.
Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Bai’atun Nisa’, sebab tidak adanya baiat yang menyatakan terkait perang atau jihad. Dalam penjelasan Sa’id Ramadhan al-Buthy, baiat ini terjadi di Bukit Shafa setelah dilakukan baiat laki-laki; As’ad b. Zararah, Rafi’ b. Malik, ‘Ubadah b. Shamit, dan Abu al-Haitsam b. at-Taihan.
Menurut Sami bin Abdullah al-Maghluts, dinamakan Baiatun Nisa’ bukan karena diikuti oleh kaum perempuan, tapi karena baiat itu jauh dari segala bentuk perintah untuk berperang. Hal ini berbeda dengan pernyataan dari Faisal Ismail yang menyatakan bahwa pada saat itu ada seorang perempuan yang ikut serta berbaiat, yakni Afra b. Abid b. Tsa’labah.
Mengangkat Eksistensi Perempuan
Terlepas dari perbedaan latar belakang dari penamaannya, baiat tersebut menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad Saw telah mengangkat eksistensi keberadaan kaum peremuan. Baiat perempuan di awal penyebaran Islam adalah bukti bahwa kebebasan dan kemandirian mereka berperan penting dalam menentukan pandangan politik.
Sekalipun, menurut Siti Musdah Mulia, pandangan politik perempuan berbeda dengan laki-laki. Hal tersebut karena perempuan di zaman itu mempunyai latar belakang yang cukup melelahkan. Mereka harus berjuang melawan kekerasan dari laki-laki, baik itu suami, ayah, atau pun anggota keluarga laki-laki lainnya.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa Baiat aqabah Pertama ini termaktub dalam surah al-Mumtahanah ayat 12:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا جَاۤءَكَ الْمُؤْمِنٰتُ يُبَايِعْنَكَ عَلٰٓى اَنْ لَّا يُشْرِكْنَ بِاللّٰهِ شَيْـًٔا وَّلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِيْنَ وَلَا يَقْتُلْنَ اَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِيْنَ بِبُهْتَانٍ يَّفْتَرِيْنَهٗ بَيْنَ اَيْدِيْهِنَّ وَاَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِيْنَكَ فِيْ مَعْرُوْفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Wahai Nabi, apabila perempuan-perempuan mukmin datang kepadamu untuk mengadakan baiat (janji setia) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, terimalah baiat mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kapasitas Perempuan untuk Berkontribusi Secara Aktif di Masyarakat
Dalam Tafsir al-Mishbah (14/179) terkait proses baiat, Nabi Saw. tidak melakukan jabat tangan dengan perempuan. Seperti keterangan dari Asma’ b. Yazbid b. as-Sakan ketika ia meminta Nabi untuk mengulurkan tangannya, tapi Nabi bersabda, “Aku tidak berjabat tangan dengan wanita”.
Sekalipun, menurut M. Quraish Shihab, makna dari hadis tersebut masih menjadi perselisihan. Yakni, apakah Nabi tidak berjabat tangan dengan perempuan sebab hukumnya haram, kurang baik, atau karena alasan lain. Semisal letih sebab yang datang untuk berbaiat terlalu banyak.
Ada pula yang mengatakan bahwa Nabi berjabat tangan dengan menggunakan kain, agar tidak bersentuhan. Atau dalam riwayat lain juga menyebutkan bahwa Nabi menugaskan Umar b. al-Khaththab untuk mewakilinya berjabat tangan.
Menurut A’yuniyah, ayat di atas mencerminkan pengakuan terhadap kapasitas perempuan untuk berkontribusi secara aktif dalam masyarakat. Pertama, mengakui kesetaraan moral dan sosial, bahwa baiat dalam ayat di atas mencerminkan pengakuan kapasitas perempuan. Di samping itu, baiat ini juga berperan sebagai deklarasi tanggung jawab moral dan sosial perempuan yang setara dengan laki-laki. Karena pandangan perempuan sebagai anggota masyarakat yang setara dalam menjaga integritas moral komunitas.
Kedua, partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Dengan adanya larangan mencuri, memfitnah, dan membunuh anak menegaskan bahwa perempuan memiliki peranan penting dalam menjaga nilai-nilai social dan moral di masyarakat. Ketiga, egalitarianisme dan keberdayaan perempuan, bahwa ayat di atas mendukung prinsip egalitarianisme yang menghormai kesetaraan gender.
Rekomendasi

6 Comments