BincangMuslimah.Com – Tidak hanya pejuang laki-laki, banyak perempuan yang juga terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh perempuan yang turut serta maju ke garis terdepan dalam melawan penjajah, misalnya Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh, Nyai Ageng dari Jawa, dan Martha Christina Tiahahu dari Maluku.
Selain terjun dalam medan pertempuran, ada sejumlah pahlawan perempuan yang ikut berjuang dengan menyumbangkan gagasan (semangat) kemerdekaannya. Bahkan sejak awal abad ke-20, terdapat banyak organisasi, di mana para perempuan yang menginisiasinya dan terlibat aktif di dalamnya.
Melawan Penjajah
Selain yang telah disebutkan di atas, nyatanya masih banyak pejuang perempuan yang mungkin namanya tidak seterkenal pahlawan perempuan lain. Satu di antara mereka yang ikut bertempur di medan perang melawan penjajah ialah Laksamana Malahayati.
Pemilik nama asli Keumalahayati itu merupakan seorang pejuang dan pahlawan kelahiran 1599 yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ayahnya adalah Laksamana Mahmud Syah dan masih berkerabat dengan Sultan Aceh.
Ayah dan kakek Laksamana Malahayati dikenal berbakti di Kesultanan Aceh sebagai Panglima Angkatan Laut. Sehingga Malahayati juga turut bersemangat dalam kelautan dan mengikuti jejak ayah dan kakeknya.
Sebagai sosok yang mewarisi darah bahari ditambah tempaan Islam yang mengajarkan amar makruf nahi mungkar, Malahayati memiliki semangat tinggi untuk melawan penjajah. Dalam suatu pertempuran di Teluk Haru, Kesultanan Aceh berhasil menghalau Portugis. Namun sayang, suami Malahayati gugur di medan pertempuran bersama sekitar seribu orang Aceh lainnya.
Setelah suaminya gugur, Malahayati membentuk dan memimpin sekitar 2.000 pasukan perempuan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid). Ia berperang melawan kapal dan benteng Belanda dan membunuh Cornelis de Houtman. Peristiwa yang terjadi pada 11 September 1599 tersebut menunjukan keberanian Malahayati dan ia mendapatkan gelar Laksamana. Namun, ia gugur pada 1615 saat melindungi Teluk Krueng Raya dari serangan Portugis yang dipimpin oleh Alfonso De Castro.
Mengupayakan Kesetaraan
Di berbagai daerah, perempuan memang memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensinya di ranah publik, seperti perempuan Jawa yang bebas bekerja di sawah dan bakulan di pasar. Namun, jika dicermati lebih jauh, contoh-contoh tersebut belum memberi gambaran yang memadai bahwa perempuan Indonesia terbebas dari masalah ketimpangan gender.
Perempuan banyak yang bekerja, tetapi banyak pula di antara mereka yang mengalami diskriminasi upah, pelecehan, dan kekerasan di tempat kerja. Konsep perempuan sebagai konco wingking merupakan nilai budaya yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, baik di ranah domestik atau publik.
RA Kartini misalnya, dapat dianggap sebagai simbol perjuangan emansipasi perempuan. Ia juga merupakan simbol dari ketidakberdayaan perempuan melawan kultur patriarki, karena dia sendiri menyerah ketika dilarang ayahnya sekolah ke Belanda dan dipaksa kawin dengan laki-laki yang sudah beristri.
Namun, semangat Kartini tidak padam, ia terus memperjuangkan keseteraan perempuan. Melalui Kongres Perempuan, RA Kartini banyak menyampaikan tulisan-tulisannya yang sangat menginspirasi dan berhasil mengobarkan semangat perjuangan para perempuan Indonesia. Kegigihannya pun membuahkan hasil, yaitu didirikannya Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912.
Memajukan Pendidikan Perempuan Pribumi
Di ranah pendidikan, tentu kita mengetahui pada masa kolonial banyak perempuan, termasuk yang berasal dari kalangan bangsawan sekalipun, tidak memiliki akses ke pendidikan. Sehingga memunculkan tokoh-tokoh pemberdaya perempuan terutama di bidang pendidikan seperti RA Kartini dan Dewi Sartika.
Sebelum Sekolah Wanita milik Yayasan Kartini berdiri, Dewi Sartika telah membuat sekolah bernama Sekolah Istri di Pendopo pada 16 Januari 1904. Kemudian sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri pada 1910 dan berubah menjadi Sekolah Raden Dewi pada 1929.
Sekolah yang dikhususkan untuk kaum perempuan itu banyak mengajarkan para perempuan cara merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis. Sosoknya yang sangat berjasa dalam memperjuangkan pendidikan dengan mendirikan sekolah perempuan, Dewi Sartika dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau.
Kemudian, pada 1912, untuk pertama kalinya terbentuk organisasi perempuan pertama di Indonesia, yaitu Poetri Mardika. Organisasi perempuan ini dibentuk atas bantuan Boedi Oetomo.
Organisasi Poetri Mardika bertujuan untuk membina para perempuan dalam bidang pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan hidup para perempuan pribumi. Salah satu upaya yang dilakukan Putri Mardika guna memajukan pendidikan ialah program beasiswa untuk menunjang pendidikan kaum perempuan pribumi.
Organisasi dan Pergerakan Perempuan Indonesia
Setelah Poetri Mardika muncullah berbagai organisasi perempuan lain, seperti Jong Java Meiskering, Young Javanese Girls Circle, Wanita Oetomo, Aisyiah, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Wanito Muljo, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya. Kelahiran Poetri Mardika dan gerakan perempuan di Indonesia lainnya memang tidak bisa dipisahkan dari gerakan nasional bahkan internasional yang memperjuangkan emansipasi, nasionalisme, dan kebebasan dari kolonialisme.
Tonggak sejarah bersatunya gerakan perempuan Indonesia ialah dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) ke-1, pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Agenda pembicaraan kongres perempuan pertama meliputi pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda, perkawinan anak-anak, ‘reformasi undang-undang perkawinan Islam, pentingnya meningkatkan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa.
Dalam kesempatan itu, seorang perwakilan organisasi Poetri Indonesia, Sitti Soendari memberikan pandangannya terhadap perempuan Indonesia yang dinilainya perlu mendapat kemerdekaan seluas-luasnya. Secara tegas Soendari mengatakan “Kaum putri sekarang meminta pendidikan yang menuju kemerdekaan, dan kebebasan dalam pergaulan hidup. Pendidikan kita haruslah memperhatikan hal ini, supaya kita jangan menjadi umpan perkawinan saja.”
Di kesempatan yang sama, RA Soedirman, perwakilan Poetri Boedi Sedjati juga menguraikan bahwa perempuan perlu bergerak untuk memperbaiki nasib dan merebut hak-hak mereka dari peraturan perkawinan dan perceraian yang saat itu dinilai diskriminatif. Dengan begitu, mereka bersama laki-laki dapat menaikkan derajat bangsa dan tanah air mereka.
Mendirikan Surat Kabar Perempuan
Pada tahun 1912, berdiri pula sebuah surat kabar perempuan bernama Soenting Melajoe yang dipimpin Roehana Kuddus. Lewat Soenting Melajoe, orang-orang dapat menyampaikan kritik dan aspirasinya terhadap budaya patriarki, seperti menikah di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan untuk mengakses perekonomian.
Demikian peran kaum perempuan yang memperjuangkan kesejahteraan dan kemerdekaan bangsa. Mereka melakukan berbagai upaya tersebut dengan cara memajukan status perempuan pribumi di bidang sosial, politik, dan pendidikan.[]
2 Comments