BincangMuslimah.Com – Bukannya melahirkan empati, berita soal bunuh diri masih memantik masyarakat untuk mengeluarkan ejekan. Kalimat bernada sindiran dan canda yang dimaksud untuk ‘melucu’ masih ditemukan di dalam kolom komentar akun berita yang memberitakan korban bunuh diri.
Predikat ‘menyusahkan’ orang yang membantu, jauh dari agama hingga bermental lemah tidak jarang disematkan pada korban yang telah meregang nyawa. Mengintip kadar empat yang rendah juga bisa terlihat dari bagaimana masyarakat kita saat menyaksikan tindakan bunuh diri di depan publik.
Ketimbang memberi pertolongan atau meminta bantuan, masih saja ada yang berteriak dengan tujuan lelucon. Misalnya ‘loncat, jangan ragu’ atau ‘begitu doang kok’ sambil menyebut nama Tuhan berkali-kali.
Tidak hanya itu, masih saja ditemukan video detik-detik terakhir seseorang yang mengakhiri hidupnya tersebar dengan cepat, diiringi respons warganet yang tak kalah cepat. Mulai dari spekulasi, guyonan, hingga penghakiman moral. Empati seolah lenyap digantikan rasa penasaran dan hasrat menonton penderitaan manusia lain sebagai hiburan.
“Pantes aja bunuh diri, lemah banget sih. Dasar mental kerupuk.”
“Caper (cari perhatian) aja itu, kalau mau mati enggak usah live.”
“Kalau punya iman kuat, pasti nggak bakal bunuh diri.”
Begitulah beberapa komentar yang muncul, tak hanya dari akun anonim, tapi juga dari akun pribadi lengkap dengan foto keluarga dan kutipan religius di bio mereka.
Saat ini kita hidup di zaman di mana tragedi bisa berubah jadi konten. Rasa ingin tahu manusia yang alami berubah menjadi konsumsi yang kejam. Ketika seseorang memilih mengakhiri hidupnya dan menayangkannya secara langsung, publik malah memfokuskan kamera pada korban
Alih-alih bertanya “apa yang bisa kita pelajari dari ini?”, kita lebih sering bertanya “mana link-nya?”. Di sinilah letak kemunduran empati. Bukannya mendekap dalam doa atau memberikan pertolongan yang dibutuhkan, masyarakat malah berlomba membagikan, mengomentari, bahkan mem-bully keluarga korban yang sedang berduka.
Bunuh Diri Bukan Soal Iman yang Lemah
Sebagian orang masih menyederhanakan persoalan bunuh diri sebagai lemahnya iman. Padahal, sebagaimana banyak penjelasan dari psikolog, bunuh diri kerap menjadi puncak dari rangkaian panjang depresi, trauma, tekanan sosial, dan keterasingan. Bahkan sebagian orang menjuluki tindak bunuh diri sebagai tangisan paling sunyi yang tak tertangkap oleh telinga orang-orang terdekat.
Menuduh pelaku bunuh diri sebagai orang yang “kurang salat” atau “tak bersyukur” sama sekali tidak membantu. Bahkan dalam Islam pun, para ulama telah mengingatkan untuk berhati-hati dalam menyikapi orang yang wafat dalam kondisi semacam ini. Hukum tetaplah hukum, tetapi tugas kita sebagai manusia bukanlah menghakimi, melainkan merawat luka dan mencegah luka serupa kembali menganga.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Empati harus dilatih. Ia tidak otomatis tumbuh di tengah masyarakat yang terbiasa menyaksikan tragedi sebagai hiburan. Kita bisa memulainya dengan tidak menyebarkan konten sensitif, tidak mengomentari dengan nada penghakiman, dan belajar untuk diam ketika tak tahu harus mengatakan apa.
Saatnya kita bertanya pada diri sendiri. Apakah kita ingin menjadi bagian dari sistem yang menambah beban orang lain, atau menjadi bagian dari komunitas yang menumbuhkan harapan dan pemulihan?
Karena bisa jadi, hari ini kita menonton video orang lain yang menyerah. Tapi siapa yang tahu, besok kita atau orang terdekat kita bisa saja yang merasa lelah dan sendirian. Takdir, tidak ada yang tahu bagaimana jalannya.
7 Comments