BincangMuslimah.Com- Dalam upaya mendorong kesetaraan gender, kebijakan pajak 12% menjadi sorotan penting. Meskipun kebijakan ini dinilai sebagai solusi cepat untuk meningkatkan pendapatan negara, implementasinya justru berpotensi menjadi beban besar bagi masyarakat, terutama kalangan menengah kebawah.
Ketua Departemen Pemberdayaan Ekonomi dan Peningkatan Mutu Profesi Perempuan Penggerak Indonesia (Perak Indonesia) Ade Irma Setya Negara, menegaskan bahwa kebijakan ini memberatkan masyarakat kalangan menengah kebawah, yang selama ini menjadi tulang punggung konsumsi domestik Indonesia. Kenaikan tarif PPN akan mengenai biaya bahan baku untuk barang yang dikenakan pajak 12%, sehingga harga barang dan jasa melonjak akibat bertambahnya ongkos produksi.
Senada dengan hal tersebut, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar menggarisbawahi bahwa kenaikan PPN akan memengaruhi hampir semua komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Perempuan, yang lebih sering bertanggung jawab dalam pengelolaan rumah tangga, akan merasakan dampak langsung dari kenaikan harga barang dan jasa.
Berdasarkan data tahun 2024, sebanyak 9,20% perempuan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan, terutama dari kalangan menengah kebawah, sudah menghadapi tantangan ekonomi yang besar dan kompleks.
Meningkatkan Kerentanan Perempuan
Kenaikan tarif pajak memiliki dampak signifikan bagi perempuan, terutama bagi mereka yang berasal dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Dalam kelompok tersebut, perempuan memegang tanggung jawab utama dalam mengelola keuangan keluarga. Termasuk alokasi untuk kebutuhan konsumsi dasar seperti makanan, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Dengan kenaikan tarif pajak, harga barang dan jasa kebutuhan sehari-hari akan melonjak, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan.
Akibatnya, perempuan dari kalangan menengah ke bawah akan menghadapi kesulitan dalam mempertahankan daya beli keluarga. Sehingga, mereka terpaksa untuk melakukan pemotongan anggaran pada pengeluaran untuk hal-hal yang tidak terlihat langsung dampaknya, seperti pendidikan dan kesehatan.
Lebih jauh, dalam masyarakat tradisional, perempuan seringkali menjadi pihak yang kurang diutamakan. Dalam situasi krisis ekonomi akibat kenaikan tarif pajak, seringkali mengabaikan kebutuhan perempuan seperti pendidikan dan kesehatan demi kebutuhan dasar rumah tangga atau untuk mendahulukan anak laki-laki. Akibatnya, anak perempuan menjadi lebih rentan terhadap resiko putus sekolah hingga perkawinan anak.
Membatasi Akses Kebutuhan Esensial
Kenaikan tarif pajak juga berdampak pada akses perempuan terhadap kebutuhan barang pokok yang khusus untuk mereka, seperti pembalut dan tampon. Berdasarkan informasi dari situs Direktorat Jendral Pajak, segala jenis produk pembalut termasuk dalam kategori barang yang dikenakan PPN. Meskipun produk ini merupakan kebutuhan esensial, kenaikan harga akibat pajak dapat membatasi kemampuan perempuan, terutama dari kalangan menengah ke bawah, untuk mengaksesnya secara rutin berdasarkan kebutuhan.
Dampak langsung dari kenaikan harga barang-barang esensial ini adalah penurunan kualitas hidup perempuan. Ketika biaya produk kebutuhan menstruasi meningkat, perempuan seringkali terpaksa mengorbankan pengeluaran untuk kebutuhan lain yang juga penting, seperti makanan bergizi atau perawatan kesehatan lainnya.
Lebih jauh lagi, keterbatasan untuk mengakses pembalut akan berdampak serius pada masalah kesehatan reproduksi perempuan. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan fisik perempuan, tetapi juga berdampak pada produktivitas mereka, baik dalam pekerjaan maupun partisipasi dalam pendidikan. Hal ini memperparah ketimpangan gender yang sudah ada, dengan menghambat peluang perempuan untuk berkembang secara sosial dan ekonomi.
Menghambat Kemandirian Finansial
Kenaikan tarif pajak juga memiliki dampak signifikan terhadap kemandirian finansial perempuan. Ketika pengeluaran untuk kebutuhan dasar meningkat, perempuan dengan terpaksa menunda rencana untuk menabung atau berinvestasi. Ketiadaan tabungan memaksa perempuan menghadapi resiko finansial yang lebih besar, seperti ketidakmampuan untuk menutupi kebutuhan darurat, biaya kesehatan yang mendesak atau biaya pendidikan. Situasi ini menempatkan perempuan pada kerentanan terhadap utang ataupun ketergantungan finansial pada orang lain.
Padahal, kemandirian finansial perempuan memiliki dampak positif yang luas, tidak hanya bagi perempuan itu sendiri, namun bagi masyarakat secara luas. Perempuan yang memiliki kendali atas keuangan dapat berinvestasi pada pendidikan, kesehatan, dan dapat memberikan kontribusi sosial yang lebih besar.
Kenaikan pajak 12% bukan hanya persoalan ekonomi semata, tetapi juga isu yang berdampak langsung pada seluruh aspek kehidupan perempuan. Kebijakan ini berpotensi meningkatkan ketimpangan gender dan kerentanan perempuan. Oleh karena itu, penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan implikasi dari keputusan fiskal mereka terhadap perempuan. Dengan mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif dan responsif gender, akan tercipta lingkungan yang adil dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Semoga bermanfaat.