BincangMuslimah.Com – Kasus “tiga anak saya diperkosa” tengah viral di Twitter. Dua tagar tersebut, dalam beberapa hari ini merajai jagat maya atas kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu oleh ayah kandungnya. Pun kedua tagar tersebut menjadi bahan gunjingan nitizen dan masyarakat Indonesia.
Kedua tagar itu menceritakan kejadian memilukan. Pemerkosaan terhadap tiga orang anak. Pelakunya diduga ayah dari korban. Tagar itu juga berasal dari reportase projectmultatuli.org. Tulisan itu berjudul Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan, yang ditulis oleh Eko Rusdianto dan disunting oleh Fahri Salam.
Dalam tulisan itu diceritakan, seorang ibu bernama Lydia melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya—semuanya masih di bawah 10 tahun. Sialnya, terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung korban sendiri. Yang juga seorang aparatur sipil negara di kantor pemerintahan daerah.
Atas laporan itu, polisi menyelidiki pengaduannya, tapi prosesnya diduga kuat penuh manipulasi dan konflik kepentingan. Hanya dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan.
Bukan saja tidak mendapatkan keadilan, Lydia bahkan dituding punya motif dendam melaporkan mantan suaminya. Ia juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Serangan ini diduga dipakai untuk mendelegitimasi laporannya dan segala bukti yang ia kumpulkan sendirian demi mendukung upayanya mencari keadilan.
Lydia bukan namanya sebenarnya. Seorang ibu tunggal, setelah bercerai, ketiga anaknya ikut bersamanya. Mereka tinggal di Luwu Timur, sebuah kabupaten perbatasan di Sulawesi Selatan, 12 jam berkendaraan dari Kota Makassar.
Islam Mengutuk Keras Tindakan Pemerkosaan
Peristiwa pemerkosaan ayah terhadap anak yang terjadi di Sulawesi Selatan, mengingatkan kita pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) pada bulan Maret 2020. Dalam laporan terjadi lonjakan kekerasan terhadap anak perempuan dari 1.417 kasus menjadi 2.341 kasus— dari kasus kekerasan terhadap anak itu, sejumlah 571 kasus berupa kekerasan seksual terhadap anak perempuan.
Pun mengingatkan pada CATAHU pada Maret 2021, Komnas Perempuan mencatat telah terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari-Juli 2021. Angka itu melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus.
Yang menarik dalam catatan Komnas Perempuan tersebut menyatakan kejahatan seksual terhadap anak-anak, terlebih anak perempuan melibatkan orang terdekat korban. Bisa jadi kerabat korban, paman, atau tetangga korban. Pun sangat mungkin kejahatan kekerasan seksual itu melibatkan ayah kandung korban, seperti yang di Luwu Sulawesi, kasus tiga anak saya diperkosa itu.
Penting untuk dicatat tindakan rudupaksa terhadap anak-anak dan perempuan, merupakan tindakan kekerasan seksual yang menista terhadap nilai kemanusiaan. Untuk itu, penyelesaian kasus kekerasan seksual yang melibatkan orang sekitar atau mereka terdekat dengan korban membutuhkan penyelesaian secara komprehensif yang perlu melibatkan pelbagai stekholder yang ada di negeri ini.
Bagaimana tidak? Tindak kekerasan seksual ini akan mengakibatkan trauma mendalam secara bathin dan zahir terhadap korban. Terlebih bila korban pemerkosaan tersebut menimpa anak dibawah umur yang dilakukan oleh ayah kandung sendiri. Trauma yang akan dibawa sampai dewasa, dan kelak sampai tua. Itu masih menyisakan luka yang dalam.
Lebih dari itu, Selviyanti Kaawoan dalam jurnal berjudul Pemerkosaan Anak Kandung Oleh Orang Tua Dalam Pandangan Islam, menilai dari sisi penegakan hukum, hukuman yang dikenakan terhadap pelaku pemerkosaan masih belum seimbang dibandingkan dengan kerugian yang dialami oleh anak dan perempuan. Pasalnya, tindak pidana pemerkosaan yang menimpa para anak dan perempuan ini merupakan perbuatan yang melanggar norma sosial, norma agama bahkan melanggar hukum negara.
Mengkaji dampak binasa yang besar akibat pemerkosaan, terlebih terdapat anak- anak korban pemerkosaan (chield rape), maka hukuman yang besar pantas untuk pelaku. Korban bisa dipastikan menderita trauma yang membayangi kehidupannya hingga kelak dewasa.
Dalam Islam sendiri, disebutkan bahwa tindakan pelecehan dan kekerasan seksual tergolong dosa besar dan kejahatan kemanusiaan. Berangkat dari itu, Mufti Besar Lembaga Fatwa Mesir menyebutkan tindakan itu merupakan perbuatan keji, buruk dan bejat. Tindakan itu menjatuhakan, sekaligus merendahkan derajat kemanusiaan. Syekh Syauqi Alam berkata:
فالتحرُّش الجنسي بالمرأة من الكبائر، ومن أشنع الأفعال وأقبحها في نظر الشرع الشريف، ولا يصدر هذا الفعل إلا عن ذوي النفوس المريضة والأهواء الدنيئة التي تَتَوجَّه همَّتها إلى التلطُّخ والتدنُّس بأوحال الشهوات بطريقةٍ بهيميةٍ وبلا ضابط عقليٍّ أو إنسانيّ.
Artinya: Kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk dosa besar, dan tindakan yang paling keji dan buruk dalam tinjauan syari’at Islam. Kekerasan seksual hanya dilakukan oleh para jiwa-jiwa yang sakit dan birahi-birahi rendah sehingga keinginannya hanya menghamburkan syahwat dengan cara binatang, tanpa menggunakan nalar logika dan nalar kemanusiaan”.
Adapun Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa menerangkan bahwa pemerkosaan yang ia sebut sebagai i’tishab merupakan perbuatan yang tercela. Adapun hukumannya sebagaimana pelaku zina. Pelaku pemerkosaan dirajam, ataupun dicambuk 100 kali. Hukuman itu hanya berlaku pada pelaku, sedangkan korban tidak dikenakan sanksi.
Pakar Fiqih dari Universitas Al Azhar, Ishom Talimah menyebutkan dalam hukum Islam tindak pelaku pelecehan seksual, termasuk pelaku pemerkosaan maka layak dihukum mati. Terlebih bila korbannya anak-anak dan perempuan yang tidak berdaya, itu lebih berat hukumannya. Di samping itu, kekerasan seksual telah menghancurkan masa depan dan menyisakan trauma yang dalam bagi korban. Untuk itu, hukuman mati layak diberikan pada pelaku.
Syekh Ishom Talimah berkata;
أما الزنى بالإكراه، وهو الاعتداء الجنسي، فعقوبته في الشرع الإسلامي: الإعدام، وهو يدخل في باب (الحرابة) في الفقه الإسلامي، والذي قال فيه تعالى: (إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في الآخرة عذاب عظيم) المائدة: 33، فمن سعى في الأرض فسادا بالقتل أو الزنى بالإكراه فجزاؤه الإعدام، والأمر يزداد شدة في الشرع كلما كان المعتدى عليه ضعيفا لا يملك حق الدفاع عن نفسه، فإذا كان المعتدى عليه جنسيا طفلا، فتكون العقوبة مشددة هنا.
Artinya: Adapun zina terpaksa, yaitu kekerasan seksual, hukumannya dalam syariat Islam adalah pidana mati, dan itu termasuk dalam bab “Harabah” dalam fikih Islam, dasar ketetapan itu firman Allah:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (Q.S al-Ma’idah: 33).
Demikian pandangan Islam terhadap tindakan pemerkosaan terhadap anak-anak dan perempuan. Pemerkosaan itu adalah tindakan keji dan termasuk dalam dosa besar. Dan pelakunya layak dihukum sebagaimana pelaku zina. Dengan catatan, pelaku yang dihukum, sedangkan korban tidak. Termasuk kasus “tiga anak saya diperkosa” ini harus dikupas tuntas dan pelaku diberi hukuman yang setimpal.