BincangMuslimah.Com- Kajian tentang makna aurat sering kali didominasi oleh pemahaman fikih normatif yang kajiannya terbatas pada bagian-bagian tubuh yang harus atau tidaknya untuk ditutupi. Padahal, akar kata ‘aurat’ dalam bahasa Arab memiliki dimensi semantik yang lebih luas dan tidak hanya terbatas pada bagian tubuh saja.
Kata ‘aurat’ berasal dari kata triliteral A-W-R (ع و ر) yang berarti sesuatu yang cacat, lemah, terbuka, atau menyebabkan rasa malu. Dalam struktur semantik Qur’ani, aurat bukanlah sekadar objek yang harus disembunyikan, tetapi subjek yang harus dijaga dan dihormati.
Ayat pendukung bahwa kata ‘aurat’ tidak hanya terbatas pada konteks tubuh adalah QS. Al-Ahzab ayat 13 yang berbunyi:
إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ
Artinya: “Sesungguhnya rumah-rumah kami ʿaurah (terbuka, tidak aman).”
Ayat tersebut tidak sedang berbicara tentang aurat tubuh, melainkan tentang kerentanan rumah dari serangan musuh atau pencuri. Ayat itu turun pada saat Perang Khandaq. Ketika sebagian kaum munafik berdalih bahwa rumah mereka tidak aman dari serangan musuh atau pencuri agar mereka dapat menghindari jihad. Dengan demikian, kata ‘aurat’ pada ayat tersebut bersifat metaforis (majāzi) yang menunjukkan akan kerentanan sosial dan rasa takut palsu serta mencakup kepada konsep keamanan eksistensial—baik rumah, tubuh, maupun jiwa.
Artinya, penggunaan kata ‘aurat’ tidak hanya dalam persoalan pakaian yang menutupi tubuh, melainkan lebih dari itu, seperti menjadi simbol spiritual untuk melindungi martabat manusia. Pemaknaan ulang tentang aurat ini diperlukan untuk menghilangkan kaca mata pembatas atau penyempitan terhadap makna aurat.
Dalam Al-Quran surah Al-A’raf, ayat 26 Allah SWT menegaskan:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ
Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Sungguh, Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan. Tetapi pakaian takwa, itulah yang paling baik.”
Dua Dimensi Aurat
Ayat tersebut menegaskan akan dua dimensi aurat. Pertama: fisik, yakni yang tertutup menggunakan libās (pakaian). Kedua: spiritual: yakni yang ditutupi menggunakan libās at-taqwā (pakaian takwa).
Mengenai dimensi yang pertama, Iman At-Thobari dalam tafsirnya Jāmi‘ al-Bayān menegaskan bahwa ayat tersebut turun sebagai bentuk sindiran terhadap perempuan Jahiliah yang melakukan tawaf dalam keadaan telanjang, sehingga mereka menjadi tontonan para lelaki. Dalam hal ini, Allah SWT menganugerahkan pakaian untuk menutupi tubuh agar terhindar dari pandangan buruk lawan jenis, fitnah dan lain-lain.
Sedangkan mengenai dimensi yang kedua, Imam Ath-Thabari menjelaskan bahwa libās at-taqwā (pakaian takwa) adalah perasaan batin (jiwa) yang penuh ketakwaan kepada Allah. Yakni dengan melakukan segala yang perintah-Nya dan meninggalkan segala yang larangan-Nya.
Hal ini mencakup terhadap iman, amal saleh, rasa malu, rasa takut kepada Allah dan akhlak yang baik. Ini karena ketika seseorang sudah bertakwa kepada Allah maka ia akan selalu merasa di bawah pengawasan-Nya, sehingga timbul rasa malu untuk berbuat keburukan dan dorongan untuk senantiasa melakukan kebaikan.
Nabi Adam dan Siti Hawa sebagai leluhur manusia, berani mendekati pohon yang dilarang bahkan sampai memakan buahnya. Karena setan berhasil menanggalkan pakaian ketakwaan pada diri mereka. Namun, ketika Nabi Adam dan Siti Hawa bertobat kepada Allah, mereka pun memakai kembali pakaian takwa tersebut melalui penyesalan dan ketaatan kepada-Nya.
Pakaian Taqwa dalam Tafsir Rūḥ al-Ma‘ānī fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm wa as-Sab‘ al-Mathānī
Shihāb ad-Dīn Maḥmūd bin ‘Abd Allāh al-Ḥusaynī dalam kitab tafsirnya Rūḥ al-Ma‘ānī fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm wa as-Sab‘ al-Mathānī menjelaskan bahwa pakaian takwa merupakan sifat kehati-hatian dan kewaspadaan yang bersumber dari jiwa dan sifat ini merupakan yang terbaik di antara seluruh rukun syariat. Di samping itu, pakaian takwa adalah pakaian bagi hati, ruh, rahasia batin dan sisi terdalam diri manusia.
Syeikh Shihāb ad-Dīn Maḥmūd bin ‘Abd Allāh al-Ḥusaynī juga membagi pakaian takwa ke dalam empat macam. Pakaian pertama adalah kejujuran dalam mencari Tuhan, yang dengannya seseorang dapat menutupi aib keserakahan terhadap dunia dan seisinya. Kemudian pakaian kedua adalah cinta kepada Tuhan, yang dengannya tertutupi aib ketertarikan kepada selain-Nya. Pakaian ketiga adalah penyaksian terhadap Tuhan, yang dengannya tertutupi penglihatan selain-Nya baik di dunia maupun di akhirat. Pakaian ke empat adalah kekekalan dalam hakikat keberadaan bersama Tuhan, yang dengannya tertutupi identitas segala sesuatu baik yang di bumi maupun di langit.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makna aurat dalam Al-Quran lebih luas dari sekedar penutup tubuh. Ia adalah simbol integritas, kehormatan dan perlindungan spiritual manusia. Menutup aurat tidak hanya tentang menyembunyikan, melainkan juga tentang mengembalikan manusia pada fitrah kemuliaan. Kata libās at-taqwā dalam Al-Quran merujuk kepada pakaian batin, artinya bukan hanya menutupi ketelanjangan fisik tetapi juga menutupi ketelanjangan moral. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
1 Comment