BincangMuslimah.Com- Dalam tradisi fiqh klasik, ada pemahaman bahwa seorang istri harus mendapatkan izin dari suami sebelum meninggalkan rumah. Namun, di balik aturan tersebut, terdapat situasi-situasi tertentu yang membolehkan seorang perempuan keluar tanpa izin, demi kepentingan pribadi, keluarga, atau agama. Berikut adalah beberapa alasan memperbolehkan menurut pandangan ulama Fiqh klasik dan kontemporer:
Ketakutan atas Keselamatan Diri dan Rumah
Ulama klasik, seperti Imam Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in, menyebutkan bahwa istri boleh keluar rumah jika ada keperluan mendesak terkait keselamatan diri atau rumah. Ulama kontemporer Wahbah az-Zuhaili juga mendukung pendapat ini. Sebagaimana dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuh yang juga memperhatikan keselamatan sebagai prioritas dalam keadaan darurat.
وإذا خافت على نفسها من الضرر أو الضرورة، جاز لها الخروج من غير إذن الزوج، ما دام ذلك لا يتعارض مع مبادئ الشريعة
Artinya: “Dan jika seorang wanita takut terhadap bahaya atau keadaan darurat yang mengancam dirinya, maka diperbolehkan baginya untuk keluar tanpa izin suami. Selama hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.”
Menuntut Hak atau Mendapatkan Keadilan di Pengadilan
Menurut Syaikh al-Malibari dalam Fath al-Mu’in, istri dapat keluar tanpa izin untuk memperjuangkan hak-haknya di pengadilan.
منها إذا خرجت إلى القاضي لطلب حقها منه
Artinya: “Termasuk juga jika seorang istri keluar untuk pergi ke pengadilan untuk memperjuangkan hak-haknya.”
Menuntut Ilmu atau Berkonsultasi dengan Ahli Agama
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menyatakan bahwa perempuan boleh keluar untuk menuntut ilmu atau meminta fatwa terkait agama, terutama jika tidak ada orang di rumah yang bisa memberikan penjelasan. Hal ini juga selaras dengan pendapat Syekh Yusuf al-Qaradawi, yang mendukung pentingnya pendidikan perempuan.
التعلم والتعليم من حقوق المرأة، والخروج لهذا الغرض جائز شرعاً إذا كان وفقاً لأحكام الإسلام
Artinya: “Belajar dan mengajar merupakan hak-hak perempuan, dan keluar rumah untuk tujuan ini boleh secara syariat selama sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam.”
Kebutuhan Ekonomi dan Pekerjaan
Dalam Fath al-Muin menjelaskan, Dalam kasus di mana suami tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Maka istri boleh bekerja di luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga. Hal ini setara dengan teks di dalam Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah karya Syaikh Yusuf al-Qaradawi
خروج المرأة للعمل والتعليم جائز ما دام لا يتعارض مع أحكام الشريعة، بل قد يصبح ضرورة لظروف معينة، كحاجة أسرتها إلى دخلها أو لتطوير ذاتها.”
Artinya: “Keluarnya perempuan untuk bekerja dan belajar adalah diizinkan selama tidak bertentangan dengan syariat, bahkan dalam kondisi tertentu hal tersebut bisa menjadi suatu keharusan, seperti kebutuhan keluarganya akan penghasilannya atau untuk mengembangkan dirinya.”
Mengunjungi Keluarga atau Menjenguk Orang Sakit
Kunjungan kepada keluarga dekat, seperti orang tua atau saudara, masuk sebagai kepentingan yang syariat larang. Terutama jika kunjungan tersebut mendesak, seperti untuk merawat keluarga yang sakit. Seperti ucapan Syaik al-Malibari dalam Fathul Mu’in:
ومنها إذا خرجت على غير وجه النشوز في غيبة الزوج عن البلد بلا إذنه لزيارة أو عيادة قريب لا أجنبي أو أجنبية على الأوجه لان الخروج لذلك لا يعد نشوزا عرفا.
Artinya: Termasuk pula jika seorang istri keluar rumah tanpa maksud membangkang (terhadap suami) saat suaminya sedang tidak berada di kota, tanpa izin darinya untuk tujuan mengunjungi atau menjenguk kerabat, bukan orang asing atau perempuan asing menurut pendapat yang lebih kuat, karena keluar untuk tujuan tersebut tidak dianggap sebagai pembangkangan menurut kebiasaan.”
Kesimpulannya, Islam memberi ruang bagi istri untuk keluar rumah tanpa izin suami dalam keadaan darurat. Yakni demi kepentingan yang lebih besar, seperti keselamatan, hak, pendidikan, dan kebutuhan ekonomi. Ulama klasik maupun kontemporer menerima baik hal ini, selama tetap mengikuti prinsip syariat.