BincangMuslimah.Com- Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah. Karena bulan ini merupakan salah satu bulan yang di rahmati oleh Allah. Bahkan dalam beberapa hadis, menjelaskan kemuliaan bulan ini. Seperti satu hari puasa di bulan Muharram sama alnya dengan puasa 30 hari di hari biasa.
Tradisi Malam Suro
Dalam hitungan masyarakat Jawa bulan Suro bertepatan dengan bulan awal tahun hijriah atau Muharram. Di mana masyarakat meyakini bahwasannya Allah menurunkan sesuatu yang besar di bulan Muharram, seperti penerimaan taubat Nabi Adam ketika masih di surga. Nabi Musa mendapatkan wahyu di gunung Sinai. Nabi Yusuf bebas dari penjara Mesir karena dituduh berzina dengan Zulaikha dan masih banyak lagi keajaiban di bulan Muharram.
Maka dari itu, tidak hanya masyarakat Arab, masyarakat non-Arab khususnya Jawa juga mengamini bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat mulia dan mempunyai nilai spiritual yang tinggi. Untuk itu, mereka mengadakan sebuah upacara atau ritual sebagai bentuk atas syukur tersebut.
Pertama, tradisi bubur suro. Biasanya, bubur Suro ini hanya ada di bulan Suro, yang mana bubur ini terdiri dari dua jenis atau dua macam, biasa bubur putih dengan rasa yang cenderung gurih dan bubur merah atau bubur yang ditambah gula merah yang cenderung manis. Dua macam bubur ini sebagai penggambaran atas dua sisi yang berlawanan. Misalnyaa, laki-laki dan perempuan, siang dan malam, baik dan buruk.
Kedua, mandi di suatu tempat. Tradisi mandi di sungai, atau tempat-tempat khusus. Mandi ini bertujuan untuk mensucikan diri dari kotoran dan najis, yang mengisyaratkan bahwa pada malam Suro ini orang-orang harus mensucikan diri dari segala dosa dan segala perbuatan yang tidak disukai Allah.
Ketiga, festival Suro. Biasanya festival ini mengarak gunungan hasil bumi untuk mengelilingi desa dengan jarak yang tidak pendek. Tujuan dari festival ini adalah bentuk penghormatan kepada Tuhan atas segala karunia yang dari-Nya. Selain itu, festival Suro ini bentuk permohonan kepada Tuhan agar panen di tahun yang mendatang dapat lebih baik. Selain bentuk permohonan kepada Tuhan, festival Suro ini juga menyatukan antar warga dan sebagai media silaturrahmi antar sesama.
Tradisi Suro dalam Pandangan Islam
Dari beberapa tradisi Suro oleh masyarakat Jawa di atas, tentunya tidak terjadi di Islam sebelumnya. Lalu, bagaimana Islam melihat fenomena di atas?
Perlu diketahui, bahwasannya tradisi atau kebiasaan yang dianut masyarakat secara turun-temurun memang tidak bisa dipisahkan dalam waktu yang dekat. Karena hal tersebut sangat krusial bagi mereka. Tak hanya masyarakat Jawa yang mempuyai tradisi, bahkan jauh sebelumnya masyarakat Arab juga mempunyai tradisi. Ketika tradisi tersebut tidak bertentangan dengan akidah Allah, maka boleh melakukan tradisi tersebut, dan sebaliknya.
Maka dari itu, ketika Walisongo datang ke Tanah Jawa, mereka tidak semena-mena menghapus apa yang menjadi kepercayaan masyarakat setempat. Akan tetapi, mereka memasukkan akidah Islam di dalam tradisi tersebut.
Dari cara dakwah Walisongo tersebut akhirnya membuahkan hasil. Mengganti keyakinan masyarakat setempat bergeser dengan meyakini Allah sebagai Tuhan Yang maha Esa. Cara inilah yang sering disebut Islam rahmah lil-alamin atau kehadiran Islam di tengah masyarakat mampu membawa kedamaian dan kasih sayang bagi manusia dan alam.
Terakhir, tradisi Suro dengan niat kepada Allah atau tidak menyekutukan Allah tentunya boleh. Jikalau ada unsur menyekutukan Allah, maka tentu harus menghindari hal itu. Sebagaimana hadis nabi, bahwasannya segala sesuatu amal itu tergantung dari niatnya. Wallahu alam bi al-showab.
1 Comment