BincangMuslimah.Com – Sebelum adanya perintah puasa Ramadhan, Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura, sebagaimana hadis dari Sayyidah ‘A’isyah r.a:
عن عائشة ، رضي الله عنها ، أن قريشا كانت تصوم يوم عاشوراء في الجاهلية ثم أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيامه حتى فرض رمضان وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من شاء فليصمه ، ومن شاء أفطر
“Kaum Quraish pada masa Jahiliyah berpuasa di hari ‘Asyura dan Rasulullah juga ikut berpuasa. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau berpuasa di hari itu dan memerintahkan orang untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura, beliau berkata, “Siapa yang ingin silakan berpuasa, dan siapa yang tidak ingin, silakan tidak berpuasa.” H.R. Bukhari Muslim.
Kemudian, turun perintah kewajiban puasa Ramadhan secara berkala atau bertahap. Menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi, ini merupakan metode bijaksana yang diambil oleh Islam dalam menetapkan syariat-syariatnya, baik itu dalam menetapkan perkara yang wajib atau pun yang dilarang, dengan prinsip untuk memudahkan bukan menyulitkan. Berikut tahapan diwajibkannya puasa Ramadhan:
Pertama, puasa di bulan Ramadhan disyariatkan, namun disertai pilihan, yakni boleh berpuasa dan boleh tidak, baik karena ada udzur maupun tidak. Tapi, bagi yang tidak berpuasa maka wajib untuk memberi makan satu orang miskin sebanyak hari yang dia tidak berpuasa. Tapi jika mampu melakukan puasa, tentu itu lebih baik. Perintah ini berlandaskan pada Q.S al-Baqarah [2]: 184
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
… Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Hukum ini berlangsung hingga turunnya ayat yang menghapus ketentuan tersebut, yakni Q.S al-Baqarah [2]: 185
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
… Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,…
Kedua, puasa di bulan Ramadhan diwajibkan, namun dengan ketentuan apabila orang yang berpuasa tertidur sebelum berbuka, maka dia tidak boleh makan, minum, ataupun menggauli istrinya dan hal-hal lainnya yang dapat membatalkan puasa sampai waktu berbuka di keesokan harinya.
Dari al-Barra’ bin ‘Azib menuturkan terkait tradisi keislaman para sahabat. Yakni, jika mereka berpuasa, kemudian datang waktu berbuka, maka mereka melakukan shalat maghrib sebelum membatalkan puasanya. Namun, jika tertidur sebelum berbuka, maka dia tidak akan makan sepanjang malam, hingga esok waktu berbuka. Sebagaimana kisah yang terjadi pada Qais bin Shirmah. Peristiwa ini kemudian menjadi latar belakang turunnya Q.S al-Baqarah [2]: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu…
Ketiga, puasa Ramadhan diwajibkan secara mutlak. Penetapan hukum ini turun di bulan Sya’ban, tepatnya di tahun ke 2 Hijrah, sebelum Perang Badar Kubra. Dan berdekatan dengan dirubahnya arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, di awal 16 bulan pertama kedatangan Nabi Muhammad saw. di Madinah.
Selama Nabi Muhammad saw. hidup, beliau melakukan puasa Ramadhan sebanyak 9 kali. Dan, hukum puasa Ramadhan secara mutlak ini berlangsung dan berlaku hingga kapanpun. Sebagaimana firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S al-Baqarah [2]: 183)
Tujuan dari adanya tahapan diwajibkannya puasa Ramadhan adalah untuk mempersiapkan kaum muslim di zaman Nabi Muhammad saw. agar dapat menerima hukum puasa Ramadhan wajib mutlak. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim,
“Tatkala menundukkan jiwa dari perkara yang disenangi termasuk perkara yang sulit dan berat, maka kewajiban puasa Ramadhan tertunda hingga setengah perjalanan Islam setelah hijrah. Ketika jiwa manusia sudah mapan terhadap perkara tauhid dan shalat, serta perintah-perintah yang ada dalam al-Qur’an, maka kewajiban puasa Ramadhan mulai diberlakukan secara berkala. Keawajiban puasa Ramadhan ini jatuh pada tahun ke 2H. Tatkala Rasul saw. wafat, beliau sudah melaksanakan puasa Ramadhan sebanyak 9 kali”
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber:
Brilly el-Rasheed, Kubah Sejarah: Sejarah Syari’at dan Fiqih, 29-32.
Yusuf al-Qardhawi, Mukjizat Puasa, 35.
Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 2/29.