BincangMuslimah.Com – Thaharah dalam literatur fikih adalah istilah yang merujuk pada kebersihan dan kesucian. Istilah thaharah biasanya lebih identik dengan wudhu yang dilakukan sebelum shalat. Padahal, secara garis besar thaharah memiliki pengertian tersendiri dan macam-macamnya.
Pengertian Thaharah
Di dalam kitab al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah Zuhaili dijelaskan mengenai pengertian dari thaharah. Beliau berkata:
الطهارة لغة: النظافة والخلوص من الأوساخ أو الأدناس الحسية كالأنجاس من بول، وغيره، والمعنوية كالعيوب والمعاصي. والتطهير: التنظيف وهو إثبات النظافة في المحل. والطهارة شرعاً: النظافة من النجاسة: حقيقية كانت وهي الخَبَث، أو حُكمية وهي الحَدَث .والخبث في الحقيقة: عين مستقذرة شرعاً. والحدث: وصف شرعي يحل في الأعضاء يزيل الطهارة
Artinya: “Thaharah secara etimologi adalah bersih dan murni dari kotoran-kotoran, baik itu secara jasmani seperti bersih dari najis pipis dan lain-lain, maupun secara rohani yaitu bersih dari aib dan perbuatan maksiat. Sedangkan tathir adalah bersih artinya menetapkan kata bersih pada suatu tempat. Thaharah secara terminologi adalah bersih dari najis-najis, baik najis secara hakikat seperti khobats (secara istilah yakni sesuatu yang menjijikkan) ataupun secara hukmi yakni hadas (wasf yang bersifat syar’i yang menempel pada anggota tubuh dan dapat dihilangkan dengan thaharah).”
Imam Nawawi dan Imam Syafi’i juga menjelaskan mengenai pengertian thaharah,
وعرف النووي الشافعي الطهارة بأنها: رفع حدث أو إزالة نجس، أو ما في معناهما وعلى صورتهما
Artinya: “Imam Nawawi dan Imam Syafi’i mendefinisikan bahwa thaharah adalah menghilangkan hadas, najis,atau sesuatu yang semakna dan serupa dengan hadas dan najis.”
Dari keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa thaharah adalah menghilangkan atau membersihkan hadas dan najis.
Macam-macam Thaharah
Thaharah dari hadas mempunyai tiga macam:
Pertama, mandi
Mandi atau biasa disebut dengan mandi junub adalah mengalirkan air ke sekujur tubuh disertai dengan niat untuk menghilangkan hadas. Hal ini disyariatkan berdasarkan Q.S. Al-Ma’idah [5]: 6 berikut:
…وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ …
Artinya: “…dan jika kamu junub maka mandilah… {QS. al-Ma’idah: 6}
Dalam kitab Fathul Mu’in karangan syaikh al-Malibari dijelaskan bahwa mandi junub wajib dilakukan apabila keluar mani, selesai bersenggama (sekalipun tidak keluar mani), selesai haid atau nifas (yakni darah yang keluar sehabis melahirkan), baru masuk Islam, sesudah sadar dari pingsan atau gila, dan meninggal dunia. Sedangkan bagi orang yang junub atau wanita yang selesai haid, selama belum mandi besar diharamkan untuk shalat, thawaf, dan berdiam di masjid.
Adapun hal-hal yang disunnahkan untuk mandi adalah ketika hendak menunaikan shalat Jumat, shalat dua hari raya, atau ketika hendak wukuf di Arafah bagi yang berhaji, sesudah memandikan jenazah, dan hendak ihram.
Kedua, wudhu
Wudhu memiliki peran penting dalam praktek ibadah umat muslim karena menjadi dasar atau syarat bagi kesahihan ibadah, seperti shalat. Hal ini telah dijelaskan dalam hadis berikut ini:
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artinya: “Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu bila berhadas sampai ia berwudlu.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)
Hadist ini menjelaskan bahwa shalat yang dilakukan tanpa wudhu adalah sia-sia yakni tidak diterima oleh Allah.
Wudhu bertujuan untuk menghilangkan hadas kecil. Hadas kecil adalah suatu keadaan di mana seorang muslim tidak dapat mengerjakan shalat kecuali dalam keadaan wudhu atau tayammum. Yang termasuk hadas kecil adalah buang air besar dan air kecil, kentut, menyentuh kemaluan tanpa pembatas, dan tidur nyenyak dalam posisi berbaring.
Ketiga, tayamum
Tayamum menjadi opsi bersuci apabila mandi dan wudhu tidak dapat dilakukan. Seperti halnya karena sakit atau tidak ada air yang dapat digunakan untuk bersuci, misalnya karena musafir. Tayamum adalah mengusapkan debu yang suci ke wajah dan dua tangan hingga siku. Tayamum didasarkan pada ayat Alquran surat anl-Nisa [4]: 43 berikut ini:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” [QS. an-Nisa: 43]
Thaharah dari khobats (kotoran) atau najis juga memiliki tiga macam:
Pertama, mencuci (ghaslun)
Thaharah ini dilakukan untuk menghilangkan najis mughallazah (yaitu najis berat) dan najis mutawassithah yang ‘ainiyah (yaitu najis sedang yang tampak zatnya atau sifatnya seperti warna, bau, dan rasanya). Contoh najis mughallazah adalah babi dan air liur anjing. Hal ini berdasarkan Alquran surat Al-An’am: 145.
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, siapapun yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sementara najis anjing didasarkan pada hadis berikut.
Artinya: “Jika seekor anjing menjilat bejana salah satu daripada kamu sekalian, maka hendaknya kamu menuangkan bejana itu (mengosongkan isinya) kemudian membasuhnya tujuh kali.” (H.R. Muslim)
Contoh najis mutawassithah adalah nanah, darah, kotoran yang keluar dari qubul dan dubur manusia atau binatang, minuman keras, darah haid dan nifas, wadi dan madzi, juga bangkai (termasuk tulang dan bulunya). Bangkai manusia, belalang, dan ikan tidak dianggap najis.
Najis mutawasithah (‘ainiyah), maka cara mensucikannya yaitu dengan mencucinya hingga warna, bau, dan rasanya hilang. Kemudian dibasuh dengan air yang suci.
Sedangkan cara mensucikan najis mughallazah yaitu dengan mencucinya sampai tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan debu atau tanah. Tanah di sini tidak boleh diganti dengan bahan lainnya misal sabun, deterjen, atau yang lainnya. Kemudian membasuh atau mengalirkan air suci pada sesuatu yang terkena najis tersebut.
Kedua, membersihkan (mashun)
Thaharah ini dilakukan untuk menghilangkan najis mutawassithah (hukmiyah) yaitu najis sedang yang tidak tampak zatnya atau sifatnya, seperti air kencing atau arak yang sudah kering. maka cara mensucikannya yaitu dengan membasuh atau mengalirkan air suci pada sesuatu yang terkena najis.
Ketiga, memercikkan air (nadhun) air di atasnya.
Dilakukan untuk menghilangkan najis mukhaffafah. Contohnya air kencing bayi laki-laki yang belum makan sesuatu kecuali air susu ibunya. Jika sang bayi sudah pernah mengkonsumsi makanan selain air susu ibu, seperti susu kaleng buatan pabrik atau yang lainnya, maka air kencingnya dikatakan najis sedang.
Cara mensucikannya adalah dengan memercikkan air suci atau air mutlak pada benda yang terkena najis. Hal ini berdasarkan sebuah hadis:
Dari As-Sam’i r.a. berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air saja.” (H.R. Abu Daud, An-Nasai, dan Al-Hakim).
Demikianlah pengertian thaharah dan macam-macamnya. Setiap umat Islam sangat penting untuk memperhatikan thaharah karena menjadi wasilah sahnya suatu ibadah.