BincangMuslimah.Com – Kewajiban yang ada saat menjalankan ibadah puasa tidak hanya menahan nafsu perut berupa makan dan minum, tapi juga nafsu seksual berupa senggama dengan pasangan. Saat suami istri bersenggama di bulan Ramadhan, ada konsekuensi yang harus dijalani yaitu, membayar kafarat.
Apa itu kafarat? Kafarat adalah denda yang harus dibayar oleh seorang muslim jika melanggar salah satu aturan dalam Islam. Ada beberapa jenis kafarat di antaranya kafarat zihar, kafarat sumpah, kafarat pembunuhan, dan kafarat jima’ atau senggama di bulan Ramadhan.
Adapun macam kafarat yang harus ditebus oleh muslim saat bersenggama di bulan Ramadhan ada tiga tingkatan. Pertama, memerdekakan budak, kedua, berpuasa 60 hari berturut-turut, dan terakhir memberi makan setara dengan 1 mud makanan pokok kepada 60 orang miskin. Hal ini berdasarkan hadis Nabi riwayat Imam Bukhari melalui penuturan Abu Hurairah,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا شَأْنُكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ قَالَ تَسْتَطِيعُ تُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ اجْلِسْ فَجَلَسَ فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ الضَّخْمُ قَالَ خُذْ هَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ قَالَ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ قَالَ أَطْعِمْهُ عِيَالَكَ
Artinya: dari Abu Hurairah mengatakan, Seorang lelaki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar; ‘celaka aku! ‘ “kenapa denganmu?” Tanya Nabi, dia Jawab; ‘Aku menyetubuhi istriku di bulan Ramadhan.’ Nabi bertanya; “mampukah kamu membebaskan seorang budak?” ‘Tidak, ‘ Jawabnya. Tanya Nabi: “Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan secara berturut-turut?” ‘Tidak’ jawabnya. Tanya Nabi: “Apakah kamu bisa memberi makan enam puluh orang miskin?” ‘Tidak, ‘ Jawabnya. Nabi bersabda: “Kalau begitu duduklah.” Orang itu pun duduk, dan Nabi membawakan segantang penuh kurma dan berujar: “Ambillah kurma ini dan pergunakanlah untuk bersedekah!” Orang tadi menjawab; ‘Apakah kepada orang yang lebih miskin dari kami? ‘ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya dan bersabda: “berilah makan keluargamu dengannya!”
Jika menilik hadis ini, secara tekstual hadis ini menjelaskan dua hal. Pertama mengenai urutan membayar kafarat. Urutannya berdasarkan kesanggupan. Karena saat ini sistem perbudakan tidak ada, maka jenis membayar kafarat hanya berpuasa selama 60 hari berturut-turut dan memberi makan kepada 60 orang miskin.
Ulama sepakat bahwa adanya pilihan berikutnya ini sebagai alternatif jika pilihan pertama tidak disanggupi. Bukan untuk meremehkan dosa dari pelanggaran ini. Jika memang benar-benar tidak sanggup berpuasa 60 hari berturut-turut karena alasan kesehatan, misalnya, maka ia baru boleh membayar kafarat dengan memberi makan kepada 60 orang miskin.
Pembahasan kedua adalah siapa yang wajib membayar kafarat. Berdasarkan hadis tersebut, kewajiban hanya dibebankan kepada suami. Rasulullah membantunya untuk membayar kafarat dengan memberikan kurma tersebut kepada keluarganya karena laki-laki tersebut adalah orang yang paling miskin di Madinah.
Mengenai jawaban siapa yang wajib membayar kafarat saat suami istri bersenggama di bulan Ramadhan, ternyata ulama berbeda pendapat. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menuliskan bahwa pendapat paling populer dan paling shahih adalah kewajiban membayar kafarat dibebankan pada suami saja.
الأصح على الجملة وجوب كفارة واحدة عليه خاصة عن نفسه فقط، وأنه لا شيء على المرأة
“Pendapat paling sah di antara pendapat lainnya adalah kewajiban kafarat dibebankan kepada satu orang saja yaitu suami. Dan sesungguhnya tidak ada kewajiban kafarat bagi perempuan.”
Begitu juga Ibnu Qudamah, salah satu ulama mazhab Hanafi menyebutkan hal yang senada dengan Imam Nawawi. Sama juga pendapat beberapa ulama mazhab Maliki dengan Ibnu Qudamah dan Imam Nawawi karena melihat teks hadis ini.
Imam Nawawi dan Ibnu Qudamah dalam masing-masing karyanya juga menampilkan pendapat ulama lain meski pendapat ini tidak diunggulkan. Pendapat tersebut mengatakan bahwa kewajiban kafarat dibebankan kepada keduanya. Hal ini karena senggama dilakukan oleh keduanya, bukan salah satu pihak.
Jika mengikuti pendapat yang unggul, lalu apa konsekuensi yang harus dilakukan oleh istri? Maka jawabannya adalah sang istri harus mengqadha puasanya. Wallahu a’lam.
Demikian penjelasan tentang kewajiban kafarat bagi suami istri yang bersenggama saat puasa Ramadhan. Adanya kafarat ini bukan berarti kita boleh meremehkan aturan dalam Islam. Urusan ibadah ini tentunya berkaitan dengan pertanggungjawaban di sisi Allah. Kafarat menunjukkan konsekuensi yang ditanggung di dunia, sedangkan urusan dengan Allah harus disertai dengan taubat dan tidak mengulang dosa.
Catatan: Artikel ini ditulis karena karena muncul pertanyaan di komentar Youtube. Silakan bertanya mengenai isu keislaman melalui kolom pesan di media sosial kami.
3 Comments