BincangMuslimah.Com – Sebagaimana diketahui bahwasanya suami wajib menafkahi istri, baik untuk keperluan sandang, pangan, dan papan. Namun rumah tangga tidak selalu berjalan dengan mulus. Ada saja permasalahan yang menerpa. Sehingga istrilah yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Lantas bagaimanakah hukum seorang istri yang menafkahi suami?
Menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, jika seorang suami menolak dan mengabaikan kewajibannya dalam memberi nafkah kepada istri selama dua tahun, maka istri berhak menuntut cerai kepada suaminya. Namun jika istri kaya, menurut Ibn Hazm, adalah kewajiban seorang istri yang kaya untuk memberi nafkah kepada suami yang tidak mampu.
Ibn Hazm merupakan intelektual muslim Spanyol yang sangat produktif. Beliau seorang ulama dari mazhab Zhahiri yang memiliki nama lengkap Al-Hafiz Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Khalaf al-Farisi al-Yazid al-Qurtubi al-Andalusi az-Zahiri.
Dalam masalah suami yang tidak mampu menafkahi istri, mengutip pendapat dari Ibn Hazm menurut Abu Malik Kamal bin as Syaid Salim dalam kitab Shahih Fiqh Sunnah, ada 3 pendapat ulama mengenai hal ini:
Pertama, boleh menuntut fasakh (pembatalan akad nikah). Mayoritas jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, hanabilah berpendapat seperti itu.
Kedua, tidak boleh menuntut faskah, namun sang istri haruslah bersabar terhadap suaminya. Demikian pendapat dari Imam Syafi’i, begitu pula Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
Ketiga, tidak boleh menuntut fasakh, bahkan istri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang miskin.
Menurut Ibn Hazm, ketika suami berada dalam kesulitan hidup sementara istrinya termasuk orang yang kaya, istri wajib memberi nafkah kepada suami. Nafkah yang telah dikeluarkan istri tersebut tidak dianggap sebagai hutang yang harus dibayar meskipun suami telah berada dalam kondisi mampu.
Metode instibath yang diambil oleh Ibn Hazm ialah dalam Q.S. Al-Baqarah[2] ayat 233 :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.”
Pemahaman Ibn Hazm mengenai kalimat “wa ‘al al-warisi mislu zalika” merupakan kewajiban tersebut didasari pada adanya sebab saling mewarisi, istri ialah ahli waris suami. Maka, wajib baginya memberikan nafkah kepada suami yang tidak mampu. Oleh karena itu, hukum istri yang menafkahi suami adalah wajib jika suami tidak mampu memberikan nafkah padanya.
Kemudian jika suami sudah mampu dalam memberikan nafkah maka ia harus melaksanakan kewajibannya untuk memberi nafkah kepada istrinya. Dengan kata lain, kewajiban memberi nafkah tersebut tidak menjadi gugur.
Kewajiban yang belum dilaksanakan tersebut menjadi uang bagi suami kepada istrinya. Tidak ada perbedaan, apakah tidak dilaksanakannya kewajiban karena ada uszur atau tidak Ini menurut pendapat yang dikemukakan oleh Imam Al Hasan, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Ishaq serta Ibnu Al-Mundzir. Wallahua’lam.