BincangMuslimah.Com – Menikah merupakan salah satu fase penting dalam kehidupan setiap manusia. Umat nabi Muhammad khususnya dianjurkan untuk menikah berbagai tujuan. Selain mengikuti anjuran nabi, menikah juga dapat memperbanyak keturunan, dan menjadi salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan biologis. Muatannya yang bersifat anjuran banyak diartikan sebagai salah satu dalih bahwa nikah muda adalah bagian dari sunnah Nabi. Benarkah demikian?
Dalam konteks fikih, Prof. Dr. Wahbah Zuhaili menegaskan dalam kitabnya Fiqh al-Islam wa Adillatuhu bahwa hukum perkawinan dapat berubah-ubah tergantung pada situasi dan kondisi seseorang. Hukum nikah berubah menjadi sunnah manakala ia mampu, siap, dan tidak ada kemungkinan bahaya. Keadaan normal ini juga dapat menjadi mubah sebagaimana hukum asal dari pernikahan itu sendiri. Perubahan hukum inilah yang menjadikan pernikahan dalam pandangan Imam Syafi’i, terkategori dalam ranah muamalah (transaksi sosial) yang bersifat ta’aqquli.
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim memaknai kata sunnah pada redaksi hadis “an-nikahu sunnati” (nikah adalah sunnahku) dengan at-thariqah yang bermakna adat atau kebiasaan. Pemaknaan ini menunjukkan bahwa pernikahan adalah adat orang Arab yang dilakukan Nabi dan dianjurkan bagi ummatnya untuk mengikuti.
Di sisi lain, pernikahan muda yang terjadi pada zaman Nabi termasuk terjadi pada Sayyidah ‘Aisyah juga merupakan tradisi yang pada hakikatnya tidak menjadikan sunnah untuk diikuti. Dalam pendapat mayoritas ulama, usia Sayyidah ‘Aisyah pada saat menikah dengan Nabi Muhammad adalah 6 tahun dan baru digauli pada usia 9 tahun. Pernikahan ini berlangsung karena menikah muda pada waktu itu menjadi budaya yang lumrah. Meski demikian umur ketika Aisyah menikah juga menjadi perdebatan di kalangam ulama.
Pernikahan ‘Aisyah tidak lagi terulang pada anak Nabi Muhammad, Sayyidah Fathimah. Meskipun usia pernikahan Fathimah masih diperdebatkan antara 10, 12, 25, namun usia itu jauh dari usia pernikahan Nabi dengan Sayyidah ‘Aisyah. Dalam sebuah riwayat hadist dari ayah Abi Burdah, Nabi Muhammad bahkan pernah menolak pinangan Abu Bakar dan Umar dengan alasan “Fatimah masih kecil”.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: خَطَبَ أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَاطِمَةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّهَا صَغِيرَةٌ» فَخَطَبَهَا عَلِيٌّ، فَزَوَّجَهَا مِنْهُ (رواه النسائي)
Artinya; Dari Abdillah ibn Buraidah, dari ayahnya, Nabi Muhammad bersabda; Abu Bakar ra dan Umar ra pernah meminang Fatimah, kemudian Nabi Muhammad berkata, “sesungguhnya ia masih kecil”. Ali kemudian meminang Fatimah dan menikahinya (beberapa waktu kemudian). (HR. Nasai).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa nikah muda adalah tradisi, dan bukan alasan sunnah tasyri’i yang harus diikuti sebagaimana anggapan umum. Islam secara eksplisit tidak menjelaskan batasan ideal menikah karena hal ini berkaitan dengan “kemampuan”. Kemampuan untuk “bergaul” dengan suami bagi perempuan, dan kemampuan untuk menggauli sekaligus menafkahi bagi laki-laki.
Meski demikian, pernikahan tidak cukup dilangsungkan hanya berpatokan pada “kemampuan” saja. Faktor kematangan yang dipengaruhi oleh pendidikan dan juga pengalaman hidup akan berpengaruh pada kedewasaan yang menentukan keberlangsungan rumah tangga.
Rekomendasi
