BincangMuslimah.Com- Selain menjalankan masa iddah selama 4 bulan 10 hari, bagi perempuan yang suaminya wafat juga harus melakukan ihdad. Di dalam syariat Islam, ihdad ialah istilah untuk masa berkabung bagi seorang perempuan setelah wafat suaminya.
Islam memiliki ketentuan khusus dalam menjalani ihdad seperti tidak boleh berhias dan tetap berada di dalam rumah. Sehingga dalam masa ihdad, biasanya perempuan tidak menjalani aktifitas di luar rumah kecuali sebatas memenuhi kebutuhan. Namun pada zaman modern ini, perempuan masih bisa memperlihatkan aktifitasnya meskipun di dalam rumah karena adanya media sosial. Lantas bolehkah perempuan yang menjalani ihdad aktif di media sosial?
Untuk menjawab kita perlu mengetahui dulu bagaimana ihdad di dalam Islam dan apa tujuan dari syariat ihdad.
Cara Ihdad Di Dalam Syariat Islam
Cara ihdad atau berkabung atas kematian suami di dalam Islam satunya pendapat Syekh Zainuddin al-Malibary di dalam kitab Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain bi Muhimmat al-Din halaman 526 – 527:
الإحداد الواجب على المتوفى عنها زوجها ولو صغيرة ترك لبس مصبوع لزينة وإن خشن … وترك الاكتحال بإثمد إلا لحاجة وإن كانت سوداء ودهن شعر رأسها لا سائر البدن … وتجب على المعتدة بالوفاة وبطلاق بائن أو فسخ ملازمة مسكن كانت فيه عند الموت أو الفرقة إلى انقضاء عدة
“Ihdad yang wajib bagi perempuan yang ditinggal wafat suaminya sekalipun perempuan itu masih kecil adalah tidak memakai pakaian berwarna untuk berhias meskipun pakaian tersebut kasar… Tidak memakai celak itsmid kecuali karena butuh sekalipun perempuan yang memakainya berkulit hitam. Tidak boleh pula memakai minyak rambut bukan minyak yang dipakai diseluruh badan… dan wajib bagi perempuan yang melakukan iddah karena wafat dan talak bain ataupun fasakh untuk tetap tinggal di rumah yang ia tempati ketika suaminya wafat ataupun ketika berpisah sampai iddahnya selesai.”
Berdasarkan potongan redaksi tersebut, secara umum melarang berhias bagi perempuan yang menjalankan masa ihdad baik dalam berpakaian ataupun menghias wajah. Dan pada masa tersebut, perempuan harus menetap di dalam rumahnya. Sehingga si perempuan tidak melakukan aktifitas di luar rumah selain untuk memenuhi kebutuhan seperti membeli makanan dan berbicara kepada tetangga sebatas kebiasaan.
Fungsi Ihdad
Setiap syariat Islam pasti memiliki tujuan yang mengantarkan kepada maslahat termasuk ihdad. Di dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia halaman 305, Amir Syarifuddin menyebutkan bahwa tujuan dari ihdad adalah agar laki-laki tidak tergoda kepada perempuan yang sedang beriddah dan begitu sebaliknya. Keduanya ini dipandang Ibn Rusyd sebagai sad al-dzari’ah (menutup jalan menuju keharaman).
Keharaman tersebut maksudnya bisa berupa khitbah pada saat menjalani iddah. Selain itu ihdad juga mempunyai kaitan yang erat dengan tujuan iddah seperti mengetahui bibit yang ada di rahim perempuan agar tidak tercampur dengan laki-laki lain. Karena sebagai bentuk ta’abbud (menghamba) kepada Allah swt atas syariat yang sudah ada.
Di dalam literatur lain juga menyebutkan bahwa ihdad berfungsi untuk memberi waktu kepada perempuan untuk berduka. Hal ini juga untuk memelihara keharmonisan terhadap keluarga suami, menampakkan kesedihan atas kematian suaminya dan lain-lain.
Singkatnya, ihdad bertujuan agar perempuan bisa menjaga diri selama masa iddah agar terjaga dari laki-laki yang ingin meminangnya selama masa iddah sembari berkabung karena sang suami wafat. Karena hal ini kita perlu mengetahui tentang hukum aktif di media sosial saat sedang ihdad. Karena bisa jadi tujuan ihdad justru tidak tercapai karena perempuan aktif di media sosial meskipun tetap berada di dalam rumah.
Di dalam kitab al-Hawi al-Kabir juz 11 halaman 276 Imam Mawardi mengutip pendapat Imam Syafi’I tentang ihdad dengan redaksi:
قَالَ الشافعي رحمه الله تعالى: ” وَإِنَّمَا الْإِحْدَادُ فِي الْبَدَنِ وَتَرْكِ زِينَةِ الْبَدَنِ وَهُوَ أَنْ تُدْخِلَ عَلَى الْبَدَنِ شَيْئًا مِنْ غَيْرِهِ أَوْ طِيبًا يَظْهَرُ عَلَيْهَا فَيَدْعُوَ إِلَى شهوتها
“Imam Syafi’I rahimahullah berkata, ihdad itu hanya berlaku untuk badan dan tidak menggunakan perhiasan badan. Yaitu menggunakan sesuatu untuk badan atau memakai wangi-wangian. Karena hal ini terlihat jelas sehingga bisa mengundang syahwat kepada perempuan yang sedang ihdad.”
Hukum Aktif di Media Sosial Saat Ihdad
Dalam redaksi di atas, menyebutkan bahwa ihdad hanya berlaku untuk badan saja. Sehingga perempuan yang biasa menggunakan perhiasan apapun baik berupa parfum ataupun make up tidak boleh lagi memakainya.
Namun, di dalam kitab Is’ad al-Tafiq juz 2 halaman 105 Syekh Muhammad bin Salim menjelaskan bahwa tulisan itu merupakan ungkapan dari lisan sedangkan lisan merupakan bagian dari badan yang harus menjaganya pula. Sehingga apapun yang tidak boleh mengucapkan dan mengatakannya melalui lisan maka tidak boleh pula mengungkapkannya dengan tulisan. Dengan redaksi:
قال في البداية لأن القلم أحد اللسانين فاحفظه عما يجب حفظ اللسان منه أي من غنيمة وغيرها فلا يكتب به ما يحرم النطق به
“Di dalam kitab bidayah, Imam Ghozali berkata, hal ini dikarenakan tulisan termasuk dari salah satu dari 2 lisan. Sehingga hendaklah tulisan itu dijaga dari menulis sesuatu yang wajib dijaga secara lisan. Yakni dijaga dari ghanimah dan selainnya. Sehingga tidak boleh menulis sesuatu yang haram untuk diucapkan.”
Berdasarkan hal ini perempuan yang aktif di media sosial saat masa ihdad masih perlu merinci hukumnya. Perempuan tersebut boleh untuk aktif di media sosial selama masa ihdad selagi tulisan atau video yang ia unggah tidak mengandung unsur apapun yang mengundang syahwat.
Sebaliknya jika tulisan ataupun video yang ia unggah mengundang unsur syahwat maka hal terebut masuk menjadi bagian terlarang. Karena salah satu tujuan ihdad adalah menjaga perempuan agar tidak terhindar dari laki-laki yang ingin mengkhitbahnya pada saat masa iddah. Sehingga secara umum terdapat larangan untuk apapun yang bisa membuat perempuan menarik untuk laki-laki lain selama ihdad. Baik berupa make up, perhiasan, wangi-wangian, pembicaraan bahkan tulisan di media sosial.
1 Comment