BincangMuslimah.Com – Adalah Khaulah binti Tsa’labah, seorang sahabat di zaman Nabi yang menjadi perempuan di balik turunnya ayat tentang zhihar dalam QS. al-Mujadilah. Khaulah awalnya mengadu kepada Nabi Muhammad terkait dengan persoalan rumah tangganya. Karena tidak mendapatkan ‘solusi yang ia ingingkan’, Khaulah akhirnya mengadu langsung kepada Allah. Sehingga Allah menurunkan wahyu tersebut kepada Nabi Muhammad sebagai solusi atas problematika Khaulah dan juga rumah tangga umat Islam hingga saat ini.
Kajian Bahasa
Surat tersebut diawali dengan ta’kid (penegasan), “Qad sami’a Allah, Allah benar-benar mendengarkan dan menerima”. Seperti pada kalimat at-tasmiii, sami’a Allah li man hamiddahu, yakni mengijabah perkataan seorang perempuan yang mengajukan keberatan dan berdebat denganmu wahai Nabi menyangkut perkara suaminya yang menzhihar dirinya. “Qaula allati tujadiluka fi zaujiha wa tasytaki ila Allah,” dan dia mengadu curhat kepada Allah.
Kata ‘Tujadilu‘ adalah bentuk musyarakah yang menunjukkan keterlibatan dua pihak dalam sebuah aktifitas. Dalam hal ini adalah perdebatan antara sahabiyah bernama Khaulah binti Tsa’labah dengan Nabi Muhammad.
Sementara makna dari ‘Tasytaki‘, perempuan itu mengungkapkan pengaduannya, kesedihan, dan kegundahannya kepada Allah dengan meyakini bahwa Dia mendengar perbincangannya dengan Nabi saw, dan mendengar pengaduannya, serta menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang ia alami. ‘Wallah yasma’u tahawurakuma‘, Allah memang mendengarnya, di sini menggunakan bentuk kalimat orang kedua yang berdebat sebagai bentuk at-Taghliib.
Maksud Zhihar dalam ayat ini, adalah suami yang berkata kepada istrinya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” yakni haram baginya. Ini adalah sebuah bentuk talak yang paling keras dan berat pada masa jahiliyyah. Maka pengertian zhihar adalah suatu perbuatan suami terhadap istrinya yang dapat mengakibatkan haramnya istrinya tersebut bagi dirinya, seperti dalam kasus ini suami menyerupakan istri dengan mahramnya (ibu) dengan maksud pengharaman.
Menyebutkan kata ‘minkum, di antara kamu‘ di sini karena zhihar hanya terdapat dalam masyarakat Arab, bahkan menurut Ibn ‘Asyur hanya dalam masyarakat Madinah yang ketika itu bergaul dengan orang-orang Yahudi. (Tafsir al-Misbah 14/60-62)
“Tsumma ya’uduna lima qaalu“, kemudian mereka ingin menganulir dan mencabut kembali niat dan maksud pengharaman tersebut. Hal itu menurut Imam Syafi’i adalah dengan merujuk istrinya yang dizhihar dalam rentang waktu yang memungkinkan bagi suami untuk menalaknya.
Sedangkan pendapat madzhab Hanafiyah, dengan menghalalkan dirinya untuk bersenang-senang dengan istrinya, meskipun itu hanya dengan pandangan syahwat dan birahi. Imam Malik berpendapat adalah dengan berazam untuk menyetubuhi. Menurut Hasan al-Bashri dan Imam Ahmad, dengan menyetubuhi maka wajib membayar kafarat seperti salah satunya dengan memerdekakan budak. (Tafsir al-Munir 14/383-384)
Sebab Nuzul Ayat
Beberapa literatur kitab Tafsir dan sejarah memaparkan bahwa ayat tersebut turun terkait dengan kisah zhihar dari Khaulah binti Tsa’labah. Ia terkenal sebagai perempuan yang baik perangainya. Sebaliknya, suaminya, Aus bin Shamit tipe suami yang kasar kelakuan dan tutur katanya. Khaulah sering mendapat cacian, cercaan, dan hinaan dari sang suami, tetapi ia tetap bersabar.
Suatu ketika, terjadi perdebatan sengit antara Khaulah dengan suaminya, hingga pada puncaknya sang suami jengkel dan lalu menziharnya. Pada saat keadaan membaik, suaminya menyesal dan meminta rujuk. Khaulah juga menginginkannya namun di sisi lain ia menyadari konsekuensi zihar dari suaminya yang tidak memungkinkan rujuk.
Sampailah ia menghadap Nabi Muhammad dan protes atas realitas masyarakat Arab tersebut. Protes awalnya tidak mendapat respon yang ‘memuaskan’ dari Nabi Saw, maka ia protes langsung kepada Allah dan akhirnya turun ayat tentang zhihar dalam QS. al-Mujadilah (perempuan yang mendebat).
Ragam Tafsir
Wahbah al-Zuhaili (15/387) menerangkan bahwa al-Mujaadilah bermakna at-Tahaawur, yaitu diskusi untuk mencari jalan keluar dari masalah zhihar. Karena waktu itu, Nabi dan al-Mujadilah (Khaulah binti Tsa’labah) berharap Allah berkenan mendengarkan diskusi mereka berdua, dan berkenan mendengar pengaduan Khaulah serta menurunkan wahyu yang berisikan jalan keluar bagi dirinya.
Konsep zhihar di zaman Arab jahiliyah bermakna sabagai bentuk perceraian. Pada saat yang sama zhihar adalah bentuk kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan. Hegemoni patriarki sedemikian kuat, hingga nyaris tidak ada negosiasi.
Kemudian Allah mengecam orang-orang yang melakukan zhihar. Hal tersebut menunjukkan penghraman zhihar. Menurut ulama Syafi’iyyah itu merupakan salah satu kemaksiatan besar, sebab di dalamnya memuat sebuah sikap mengganti dan mengubah hukum Allah tanpa seizin-Nya. Selainnya, karena orang yang melakukannya telah berbuat kebohongan dan menentang syari’at, yaitu menyerupakan istri dengan ibu.
Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran (11/188) menambahkan, istri jelas bukan seperti ibu yang haram bagi laki-laki. Ibu ialah orang yang telah melahirkan, tidak mungkin seorang perempuan menempati kedudukan ibu hanya dengan sebuah ungkapan. Karena itu, menganggap ucapan zhihar sebagai ucapan munkar dan kebohongan, sebab tidak sesuai dengan fakta dan realita.
Ketentuan Kaffarah
Adapun suami yang melakukan zhihar ia wajib membayar kaffarah jika ia mencabut ucapan zhiharnya dan ingin kembali kepada istrinya. Sebagaimana dalam riwayat Qatadah dan Ikrimah, bahwa suami Khaulah harus memerdekakan budak. Namun karena tak mampu, ia (suami yang melakukan zhihar) harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Tetapi tak mampu juga, maka ia wajib memberi makan 60 orang miskin. (Tafsir Mafatih al-Ghaib 29/249)
Kaffarah yang Allah perintah itu sejatinya memilki tujuan (maqashid) seperti agar suami tidak bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya. Sedang dalam konteks isu gender, yakni untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan, memberi efek jera terjadap perlaku kezaliman dan kekerasan terhadap kaum perempuan.
Namun, dalam konteks hukum keluarga di Indonesia untuk menegakkan hukum zhihar sebagaimana menurut Quraish Shihab, wajib memperhatikan aspek bahasa dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan keluarga. Sebab tidak dapat selamanya menghukumi kalimat yang menyerupai istri dengan ibu sebagai perbuatan zhihar. Seperti jika menggunakannya untuk memuji dan menghormati serta menjaga keharmonisan dalam keluarga.
Dengan demikian gugur atau tidaknya zhihar tergantung pada niat yang mengucapkannya. Artinya belum tentu lafadz zhihar sebagaimana dalam literatur fiqh klasik dapat berimplikasi pada haramnya persetubuhan dengan istri. Karena untuk menentukan hukumnya harus memperhatikan aspek-aspek tertentu, terutama yang berkaitan dengan kebiasaan dan sosio-linguistik dalam masyarakat. Wallah a’lam.[]
4 Comments