BincangMuslimah.Com – Pelaksanaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II pada hari kedua bertepatan dengan dimulainya 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP). Setiap tahunnya, kampanye 16 HAKTP diperingati setiap tanggal 25 November sampai 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, menjelaskan bahwa tanggal itu dipilih untuk menegaskan bahwa hak asasi manusia berarti hak asasi perempuan pula. Begitupun sebaliknya, hak asasi perempuan berarti hak asasi manusia juga.
“Kita tahu, selama ini salah satu akar kekerasan perempuan adalah diskriminasi berbasis gender. Karena struktur dan relasi sosial menempatkan perempuan berada jauh di bawah laki-laki. Karena itu, dalam upaya penghapusan kekerasan, penting untuk mengkampanyekan kesetaraan yang substantif,” ungkap Andy.
Menurutnya, sejak diselenggarakannya kongres pertama, KUPI mengupayakan kepemimpinan perempuan yang setara dengan laki-laki dalam berbagai isu. KUPI juga mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Bagi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, lanjut Andy, upaya yang dilakukan KUPI sangat berharga.
“Tahun 2022, sampai hari ini, Komnas Perempuan telah menerima lebih dari 3.000 kasus kekerasan terhadap perempuan. Lebih dari setengahnya adalah kekerasan seksual. Upaya kita ini menjadi sangat penting, meski tantangannya banyak,” ujarnya.
Di sisi lain, Alissa Wahid, Direktur Jaringan GUSDURian sekaligus SC KUPI II mengungkapkan bahwa ia cukup berbahagia karena penyelenggaraan KUPI II bertepatan dengan HAKTP. Hal ini dikarenakan isu kekerasan terhadap perempuan termasuk isu utama yang dibahas di kongres ini.
“Kita tahu, kekerasan pada perempuan adalah wujud yang paling ekstrem dari ketidakadilan hakiki. Karena itu, segala wujud perilaku atau praktik yang membahayakan perempuan dan anak perempuan selalu kita lihat sebagai akibat dari perspektif yang tidak adil. Inilah yang oleh KUPI di-rethinking, dilakukan penyusunan mental model baru yang sesuai dengan dasar-dasar keagamaan,” tuturnya.
Alissa menambahkan bahwa KUPI II kali ini juga mengangkat pembahasan tentang harmful practices pada perempuan. Praktik berbahaya pada perempuan ini sering kali dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan justifikasi agama.
“Ini yang kita lawan. Agama tidak menempatkan laki-laki di atas perempuan. Ya, kita senang bisa berkontribusi pada HAKTP ini,” lanjut Alissa.
Pada kesempatan yang sama, Tia Istianah, perwakilan dari KUPI Muda, mengaku senang bisa mengikuti rangkaian acara KUPI II ini. Menurutnya, di KUPI ia melihat para pesertanya yang terdiri dari intergenerational. Tia mengaku, KUPI merupakan forum yang bisa mempertemukan anak muda dan orang tua untuk saling sharing knowledge tanpa memandang usia.
“Kita anak muda ini sering menjadi korban karena usia. Apalagi kalau ditambah kita perempuan, miskin, jadi semakin dipinggirkan. Anak muda juga sering menjadi korban KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Day to day kita merasakan itu. Di KUPI ini, keinginan anak-anak muda tidak hanya sekedar didengar, tetapi juga dicatat dan diimplementasikan,” ungkap Tia.
Ia menambahkan bahwa saat ini populasi anak muda di dunia telah mencapai 1,8 miliar sekaligus menjadi populasi terbesar di dunia. Banyak isu yang dihadapi anak muda saat ini, mulai masalah krisis iklim hingga lingkungan. Selain membahas isu kesetaraan gender, KUPI juga menjadi forum yang mengakomodir isu-isu yang dihadapi tersebut.
“Semoga ke depan ada acara-acara seperti ini. Kita mempunyai forum-forum intergenerational yang mau mendengar dan mengimplementasikan kebutuhan anak muda,” pungkasnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Misni Parjiati, salah satu peserta KUPI dari perwakilan difabel. Ia mengatakan, perempuan dengan disabilitas juga merupakan kelompok rentan. Di masyarakat, tambah Misni, kelompok ini cenderung tidak menguntungkan dan ditinggalkan.
“Ketika mengikuti KUPI, saya mengapresiasi KUPI karena melibatkan teman-teman difabel untuk mengikuti acara ini. Isu disabilitas ini menjadi sangat penting. Karena disabilitas atau tidak adalah hamba Allah yang setara,” terangnya.
Misni berharap, akan semakin banyak orang-orang non-difabel yang membersamai kelompok difabel. “Harapan saya, kesadaran ini menjadi lebih luas. Banyak yang mau menjadi teman-difabel, sehingga kesulitan-kesulitan yang menjadi halangan disabilitas bisa terkurangi,” tutupnya.
Dilihat dari sudut pandang global, Dwi Faiz dari UN Women menambahkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam tataran paling ekstrem adalah femisida. Femisida adalah pembunuhan yang dilakukan kepada perempuan karena ia perempuan.
“Jika tadi Mbak Alissa mengatakan bentuk paling ekstrem dari diskriminasi adalah kekerasan, maka bentuk paling ekstrem dari kekerasan adalah femisida,” ungkap Dwi.
Dwi melanjutkan, 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan. UN Women sendiri telah merilis sebuah studi tentang femisida. Angkanya mencapai 40.000 kasus. Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian tersebut, biasanya para korban dibunuh oleh anggota keluarga terdekat.
“Kami, UN Women, berharap ada sebuah gerakan untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang dipimpin oleh perempuan, di mana gerakan ini mampu memajukan peradaban. Dan ini sesuai dengan nilai yang diperjuangkan oleh KUPI,” tutupnya.
Narahubung:
Muna: 085 643 900 556
Pandu: 081 554 456 304
*Ditulis oleh Tim Media KUPI II
2 Comments