BincangMuslimah.Com- Nama awalnya adalah Barrah, kemudian berganti dengan Zainab, yang lengkapnya Zainab binti Jahsyi bin Riab. Ibunya adalah Umaimah binti Abdul Muthallib, yakni bibi Rasul dari jalur ayah. Rasul menikahinya ketika usianya kurang lebih 35 tahun, di tahun 3 H, ada yang mengatakan 4 H, dan 5 H.
Zainab binti Jahsyi: Perempuan Mulia
Zainab binti Jahsyi merupakan salah satu yang ikut serta hijrah pertama kali. Ia adalah sosok perempuan yang mulia, senang beramal saleh, sedekah, serta selalu menjaga diri, dan gemar berpuasa.
Bahkan istri Rasul Saw., Sayyidah ‘A‘isyah ,memuji Zainab, “Aku tidak melihat perempuan yang lebih baik dalam agama melebihi Zainab binti Jahsyi. Ia sangat bertakwa kepada Allah dan jujur dalam berkata, menyambung tali silaturrahmi, besar sadekahnya. Ia mencurahkan segenap tenaga untuk hal sedekah dan amalan yang mendekatkan diri kepada Allah. Selain sifat cepat marah karena kerasnya watak, namun ia cepat menarik kembali marahnya.”
Pernikahannya dengan Zaid b. Haritsah: Mengangkat Kesetaraan Sosial
Misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. bukan hanya persoalan akidah, namun juga pada sisi akhlak. Satu di antaranya adalah masyarakat jahiliyah masih menganut perbedaan dalam strata sosial. Rasul ingin menghapus hal itu dengan cara menikahkan Zaid dengan Zainab.
Sebagaimana yang sudah masyhur dalam sirah nabawiyah, bahwa Zaid bin Haritsah adalah anak angkat Rasul yang dulunya adalah seorang budak, kemudian Rasul memerdekakannya. Seorang budak tetap memiliki status sosial yang rendah sekalipun telah dimerdekakan. Maka dengan menikahkan Zaid dengan Zainab mengindikasikan bahwa Islam mengusung kesetaraan sosial.
Pernikahannya dengan Rasul Saw: Mengubah Prinsip Tradisi Adopsi Anak
Pernikahan Zaid dengan Zainab tidak berlangsung lama, hanya satu tahun, karena adanya ketidakcocokan di antara keduanya. Lalu, Zaid mengadukan permasalahannya itu kepada Rasul, bahwa ia ingin cerai dengan Zainab. Tapi, Rasul melarang, dan menyuruhnya untuk memertahankan pernikahnnya, dengan alasan untuk menghindari makar-makar orang-orang munafik, musyrik, dan Yahudi yang mungkin saja bisa terjadi, dan itu bisa membuat lemah kaum muslim.
Tindakan Rasul itu ditegur oleh Allah dengan turunnya ayat 37 surah al-Ahzab.
وَاِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْٓ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللّٰهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٰىهُۗ
(Ingatlah) ketika engkau (Nabi Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankan istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti.
Dengan demikian, Rasul akhirnya mengiyakan aduan Zaid untuk menceraikan Zainab, dan Rasul pun menikahi Zainab. Pernikahan dengan Zainab ini berdasarkan perintah wahyu dalam surah al-Ahzab ayat 37
فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًاۗ زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْٓ اَزْوَاجِ اَدْعِيَاۤىِٕهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا
Maka, ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila mereka telah menyelesaikan keperluan terhadap istri-istrinya. Ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Dengan turunnya ayat ini, ada dua persoalan yang langsung terjawab yakni jumlah istri Rasul dan status dari anak angkat. Bahwa pada saat itu, orang-orang munafik menyebarkan desas-desus terkait pernikahan Rasul dengan Zainab, yang kenyataannya itu adalah pernikahan kelima yang dilakukan oleh Rasul.
Mengubah Tradisi Pernikahan di Arab
Mereka mempertanyakan ketentuan pernikahan dalam Islam. Kenapa Rasul menikah lebih dari empat kali? dan pernikahannya dengan Zainab, menurut mereka adalah perbuatan yang keji. Anggapan yang keliru itu ingin diluruskan melalui wahyu, maka tidak sepatutnya menuduh Rasul Saw. merebut mantan istri anak angkatnya sendiri.
Lebih lanjut, Syeikh Shafiyurrahman Mubarakfuri memaparkan bahwa bangsa Arab jahiliyah memiliki tradisi seorang ayah angkat mempunyai hak dan larangan (diharamkan) kepada anak angkatnya, sebagaimana anak kandung. Kepercayaan ini sudah mengakar dan sulit untuk dihapus.
Tradisi tersebut berpengaruh pada ketentuan-ketentuan yang lain, seperti pernikahan, pembagian waris, cerai, dan lain-lain. Bukannya memberikan manfaat, malah mendatangkan hal-hal negatif dan kerusakan. Maka, untuk menghapus tradisi itu, bukan lagi dengan perkataan. Tapi Rasul langsung melakukan praktik atau melakukannya dengan tindakan, yakni dengan menikahi Zainab binti Jahsy.
Menurut Said Hawwa, pernikahan Rasul Saw. dengan Zainab menjadi awal dihapuskannya kaidah adopsi anak dalam tradisi masyarakat Arab yang tidak berdiri pada dasar yang benar dan tidak dapat diterima akal.
Ayat itu turun, di samping memang membenarkan keputusan Zaid menceraikan Zainab, juga sebagai perintah bahwa Rasul Saw. harus menikahi Zainab. Dengan adanya wahyu tersebut, maka batallah tradisi masyarakat Arab yang menganggap bahwa status anak angkat sama dengan anak kandung yang melarang pernikahan laki-laki (ayah) dengan mantan istri anak angkatnya.
3 Comments