BincangMuslimah.Com- Mengutip dari laman indonesiabaik.id, mayoritas pernikahan pertama di Indonesia terjadi di rentan umur 19-21 tahun dengan persentase 33,76%. Sedangkan persentase pemuda yang menikah di usia 16-18 tahun mencapai 19,24% dan kurang dari 15 tahun hanya sekitar 2,26%. Sekilas, bisa kita simpulkan bahwa total pemuda yang menikah pada umur kurang dari 15 tahun sampai 21 tahun melebihi setengah populasi pemuda di Indonesia yakni 55,26%.
Jika kita cermati, usia 15-18 tahun adalah masa di mana para pemuda selayaknya menggali ilmu di sekolah SMP dan SMA. Sedangkan di usia 19-21, adalah waktu para pemuda menganyam pendidikan untuk meraih gelar S1. Jika mayoritas pemuda Indonesia memilih untuk melakukan pernikahan pada usia tersebut, kemungkinan besar mereka sudah tidak melanjutkan pendidikan mereka karena memilih untuk bekerja demi menafkahi keluarga.
Dari kasus ini, kita bisa berspekulasi bahwa rata-rata remaja yang melakukan pernikahan di masa tersebut tidak memiliki kesiapan secara mental dan finansial. Belum banyaknya pengalaman yang mereka miliki membuat mental pasangan muda mudi tersebut mudah goyah sehingga rumah tangga tidak berjalan lama. Juga putus sekolah membuat mereka susah mendapatkan pekerjaan yang dapat memenuhi nafkah. Hal ini terkadang juga membuat para remaja berpikir lebih baik nikah dulu atau mapan dulu?
Tinjauan Dari Perspektif Islam
Menurut Imam Sulaiman Al-Bujairomi, pada dasarnya hukum melakukan pernikahan adalah mubah atau boleh tanpa memandang siapa yang mengerjakan dan dengan latar belakang seperti apa. Namun, ketika pernikahan tersebut sudah meninjau siapa yang mengerjakan dan atas dasar apa melakukan pernikahan itu. Status atau hukum menikah bisa berubah yang semula ibahah atau boleh bisa menjadi sunah, makruh, dan wajib. “Imam Sulaiman Al-Bujairomi, Hasyiyah Al-Bujairomi juz 3 halaman 356”
Jika kita kaitkan dengan permasalahan di atas, dengan adanya remaja yang ingin menikah namun masih belum mapan dalam finansial, bagaimana status pernikahhannya?
Mengutip dari keterangan Imam Nawawi, hukum pernikahan bisa berubah sesuai dengan kondisi apa yang sedang remaja tersebut alami. Setidaknya ada 3 hukum yang muncul sesuai pelakunya.
هو مستحب لمحتاج إليه يجد أهبته فإن فقدها استحب تركه ويكسر شهوته بالصوم فإن لم يحتج كره إن فقد الأهبة وإلا فلا لكن العبادة أفض
Artinya: Menikah itu hukumnya wajib bagi orang yang membutuhkannya (memenuhi hasrat) dan memiliki bekal pernikahan (meliputi mahar, nafkah harian, pakaian dan semacamnya). Seandainya orang tersebut tidak memiliki bekal untuk menikah, sedangkan dia ingin melakukan pernikahan, maka lebih baik dia menunda pernikahannya dan memalingkan keinginan atau nafsunya dengan berpuasa.
Adapun ketika dia tidak ingin melakukan pernikahan bersamaan tidak memiliki bekalnya, maka hukumnya makruh. Sedangkan ketika dia tidak ingin melakukan pernikahan dan memiliki kesiapan ekonomi, maka pernikahan tersebut tidak makruh. Tetapi lebih baik mengalokasikan waktunya untuk beribadah. “Imam Nawai, Minhaj At-Thalibin halaman 204 & Imam Al-Khatib As-Syirbini, juz 4 halaman 203”
Dari keterangan di atas, kesunahan menikah berlaku untuk orang-orang yang ingin melakukan pernikahan dan memiliki finansial yang matang. Sedangkan orang yang tidak memiliki finansial yang mapan lebih baik untuk menunda pernikahannya. Dengan ini, bisa kita simpulkan bahwa agama Islam sendiri lebih memilih mapan terlebih dahulu dari pada nikah terlebih dahulu.
Mari Berpikir dengan Tenang!
Mungkin kita banyak mendengar orang yang berpendapat nikah dulu berkata “jangan terlalu mempermasalahkan rezeki, itu urusan tuhan”. Sebenarnya mudah untuk menjawab hal seperti ini, kita kembalikan saja ke inti permasalahan, nikah dulu atau mapan dulu? Memang benar rezeki sudah diatur Tuhan. Tapi jika yang kita bahas lebih baik mana nikah dulu atau mapan dulu, jelas mapan adalah pilihan terbaik.
Selain itu ada juga yang berargumen “yang mapan dulu saja banyak yang rumah tangganya tidak awet, jadi kenapa harus susah-susah menikah ketika mapan?”. Hei…. kita benar-benar menemukan logika fallacyi di sini. Coba kita renungkan, jika yang mapan dulu saat melakukan pernikahan ada yang tidak awet, apalagi yang tidak mapan, jauh lebih banyak bukan?
Jika tetap memaksa menikah dulu itu lebih baik, coba kita posisikan diri sebagai orang tua. Kita memiliki anak perempuan yang sudah kita rawat dari kecil sampai usia matang menikah, apakah kita rela melepaskan putri tercinta kita kepada pria yang mana memenuhi kebutuhan pribadi saja masih bingung? tidak bukan?