BincangMuslimah.Com – Fatimah as-Samarqandi adalah ahli fikih perempuan yang lahir pada abad ke-12 di kota Samarkand, Uzbekistan. Ia terkenal sebagai perempuan cerdas, karena sejak kecil telah mengaji secara intensif kepada ayahnya sampai menguasai banyak ilmu. Bahkan, ia dapat menghapal kitab yang ditulis ayahnya, At-Tuhfah al-Fuqaha. Fatimah as-Samarqandi juga aktif menyebarkan ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat luas ketika itu sehingga ia menjadi Ahli fikih perempuan pada zamannya.
Selain menjadi ahli fikih, Ia juga seorang ahli hadis, zahidah yang bersahaja, dan sangat terhormat. Ia menulis sejumlah buku dalam bidang ilmu Fiqih dan Hadits yang mana kitab-kitab tersebut menjadi rujukan dan banyak dipelajari oleh para ulama dan masyarakat.
Dalam kitab Syakhshiyah al-Mar’ah al-Muslimah karya Muhammad Ali Hasyimi disebutkan bahwa Fatimah binti Alauddin bin Ahmad as-Samarqandi adalah anak seorang ulama besar, yaitu Syekh Alauddin as-Samarqandi. Fatimah sering dimintai jawaban oleh ayahnya saat banyak masyarakat meminta fatwa pada ayahnya.Â
Tidak hanya masyhur dengan kecerdasannya, Fatimah as-Samarqandi memiliki paras wajah yang cantik dan menawan bagi banyak orang. Masyarakat menyebutnya sebagai bunga desa atau perempuan paling elok di negara tersebut. Karenanya, dalam perjalanan hidupnya, tidak sedikit lelaki yang datang ingin meminang dirinya bahkan yang datang kepadanya adalah orang-orang yang terpandang seperti beberapa pangeran dari Bangsa Arab dan Romawi.Â
Tetapi sang ayah berulang kali menolak lamaran tersebut. Hingga pada akhirnya Syekh Alauddin as-Samarqandi memilih salah satu dari muridnya untuk dijadikan menantu untuk putrinya, ia bernama Alauddin al-Kasani
Al-Kasani adalah santri kesayangan ayahnya karena keluasan ilmunya terutama dalam menguasai ilmu Ushul Fiqih dan cabang-cabangnya. Namun, di satu sisi al-Kasani justru merasa dirinya tidak layak dan tidak pantas menikahi putri gurunya yang sangat dimuliakannya. Apalagi, ia hanya seorang santri yang tidak punya kekayaan harta yang melimpah.
Para ahli fikih berkata bahwa Alauddin al-Kasani mampu mensyarahi kitab Tuhfatu Al-Fuqaha karya ayah Fatimah. Kitab tersebut diberi judul Bada’i al-Shana’i. Karya inilah yang membuat Ayah Fatimah merasa bahagia sehingga ia menikahkan putrinya dengan santri kesayangannya dan menjadikan karya Al-Kasani tersebut sebagai mahar pernikahan untuk Fatimah.
Selain beberapa karya tercipta, Fatimah as-Samarqandi beserta ayah dan suaminya juga mengembangkan keilmuan yang mereka miliki kepada masyarakat. Berkembang dan majunya ilmu pengetahuan tiga orang tersebut terlihat dari sinergitas mereka dalam menyebarkan ilmu pengetahuan.
Namun hal itu juga dilakukan oleh Fatimah sejak ia belum menikah, di mana ia turut andil dalam aktivitas keilmuan ayahnya. Ia sering membantu Syekh Alauddin as-Samarqandi memberikan fatwa kepada kaum muslimin yang bukan hanya secara lisan, tetapi fatwanya tersebut tertulis dalam kitab dengan nama dirinya dan ayahnya.
Kemudian setelah pernikahannya, Fatimah as-Samarqandi menuliskan fatwa yang diterbitkan, atas nama suami dan ayahnya. Mereka bertiga bahu-membahu dalam mengembangkan keilmuannya dan tidak segan untuk saling mengoreksi. Pernah sang suami salah dalam menulis, kemudian Fatimah pun membenarkannya.
Dari kisah hidupnya, Fatimah as-Samarqandi sejatinya memberikan kita inspirasi bahwa sebagai seorang perempuan jangan pernah patah semangat untuk belajar. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Fatimah yang senantiasa mempelajari ilmu pengetahuan kepada ahlinya. Sehingga ia mampu menguasai banyak ilmu dan menjadi faqihah.
Selain itu tidak ada salahnya menjadikan orang terdekat sebagai partner dalam mempelajari ilmu. Sebagaimana kedekatan Fatimah dengan ayah dan suaminya. Mereka tidak hanya sekedar memiliki kedekatan secara biologis dan psikologis, tetapi mampu menjalin ikatan keilmuan serta bersinergi dalam memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Demikian biografi singkat Fatimah As-Samarqandi, seorang ahli fikih perempuan dari Uzbekistan.