BincangMuslimah.Com – Qurratul Uyun adalah sebuah nama kitab syarah nadzom Ibnu Yamun, yang dikarang dari buah pikiran Syekh Muhammad al Tihamy bin Madany. Beliau adalah ulama besarahli fiqih madzhab Maliki dari Faas, sebuah daerah di Negara Maroko atau Maghribi, tepatnya di daerah Tonjah.
Dalam kesehariannya, beliau dikenal sebagai seorang da’i dan berkiprah dalam berbagai kegiatan keagamaan. Disamping sebagai ulama daerah Tonjah, beliau juga terkenal sebagai penulis yang produktif pada masanya.
Kitab tersebut dikenal sebagai kitab yang banyak dikaji santri salaf yang membahas persoalan-persoalan tentang relasi suami-isteri dalam pernikahan menurut Islam. Lantas, seperti apakah pemikiran Syekh Muhammad al Tihany tentang sosok perempuan?
Membaca pikiran Syekh Muhammad al Tihany dalam Qurratul Uyun tentang sosok perempuan, yang nampak adalah perempuan ada dalam posisi kelas dua. Itu dapat dilihat ketika membaca syarah beliau, khususnya dalam huquq az-zawjayn (hak-hak suami istri). Laki-laki ada dalam posisi yang dominan dalam ranah domestik maupun publik dalam menentukan kebijakan. Ini dapat difahami karena kehidupan sosial mushonif ada dalam beberapa abad yang lampau, sebuah zaman yang tidak memihak perempuan.
Situasi perempuan yang berkutat hanya dalam lingkup domestik, sebagaimana yang tertuang dalam teks-teks tulisannya pada akhir bab seperti: hendaknya perempuan jangan membuka pintu bagi tamu laki-laki, berpergian harus dengan muhrim, atau mencari jalan yang sepi sekaligus menyamarkan diri dengan pakaian paling jelek yang dipunyainya jika terpaksa keluar rumah.
Pendapat ini, senada dengan apa yang diucapkan Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin: “Kalaupun harus keluar dan diizinkan, hendaknya istri berpakaian lusuh, mencari lorong-lorong yang sepi, tidak melewati jalan raya atau pasar, tidak membiarkan suaranya didengar orang lain, apalagi oleh teman suaminya, demi menjaga diri dan kehormatan suaminya”.
Yang demikian adalah hasil ijtihad ulama pada masa itu, yang bersentuhan dengan realitas kehidupan kala itu juga. Sebuah kondisi yang mensiratkan budaya dan geografi masyarakat Arab yang tidak memberi ruang pada perempuan.
Bahkan lebih detailnya lagi, Syekh Muhammad al Tihany menuliskan bahwa perempuan mana saja yang menunaikan shalat dan puasa tanpa izin suami akan menanggung dosa dan pahalanya beralih pada sang suami. Dalam kitabnya dituliskan:
أيما إمرأة تصلي وتصوم بغير إذن زوجها الاّكانت صلا الإ ثم
“Perempuan manapun, yang mengerjakan shalat (sunnah) dan berpuasa (sunnah) tanpa seizin suaminya, niscaya pahala shalat dan puasanya bagi suaminya, dan ia menanggung beban dosa”.
Potret perempuan yang dalam pemikiran beliau itu tidak sejalan dengan apa yang difirmankan Allah. ayat ke empat puluh dalam Surat al Mukminun menjelaskan bahwa siapa saja, laki-laki maupun perempuan yang mengerjakan amal kebaikan dalam keadaaan beriman akan berhak masuk surga dan mendapatkan rejeki tanpa hisab.
Begitupun intisari dari buku “Melacak Akar Ketidakadilan Gender Dalam Islam” mengungkan bahwa surga dan neraka bukan semata-mata karena suami, melainkan karena amal shalih dan rahmat Allah. jadi bukan menjadi laki-laki otomais menjadi lebih mulia karena jenis kelaminnya.