BincangMuslimah.Com – Sebelum membahas mengenai hijab dan perempuan pra-Islam, mari kita pahami terlebih dahulu makna hijab. Hijab dalam bahasa Arab berakar dari tiga huruf, yakin ح ج ب . Dalam beberapa kamus bahasa Arab ia memiliki makna yang sama, yakni pembatas. Misal dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith karya Syauqi Dhaif, حجاب (Hijaab) diartikan dengan kata الساتر (as-Saatir) yang dalam bahasa Indonesianya bermakna pembatas.
Sedangkan dalam kamus al-Muhith katya Fairuz Abadi hijab bermakna “sesuatu yang menutupi”. Dalam Lisan al-Arab karya Ibnu Manzhur ia juga dimaknai sebagai batasan (as-Satr). Dalam kamus al-Lughah al-Arabiyyah al-Mu’ashirah (Bahasa Arab Modern) yang ditulis oleh Ahmad Mukhtar Umar kata hijab bermakna “sesuatu yang menutupi”, jika disandingkan dengan lafaz al-Mar`ah menjadi Hijab al-Mar`ah maka ia bermakna penutup yang dikenakan di kepala, leher, dan bahu. Maka term hijab yang digunakan saat ini sudah jelas mengarah pada kerudung.
Dalam peradaban manusia, mereka sudah menggunakan penutup pada tubuhnya untuk melindungi diri dari sengatan matahari, serangga, dan debu. Kali ini, penulis meringkas tentang sejarah hijab sebelum datangnya Islam yang dirangkum dari buku Dr. Ayyub Abu Dayyah dikenal sebagai ahli filsafat, arsitek, dan pemerhati lingkungan.
Buku yang berjudul al-Hijab fii Tarikh (Hijab dalam Tinjauan Sejarah) pada mulanya ditolak untuk diterbitkan dan diedarkan di beberapa negara Arab hingga pada akhirnya buku ini diterbitkan di Beirut, Lebanon.
Penelusurannya tentang jilbab dimulai dari peradaban negara-negara yang berada di aliran sungai Efrat, dan Tigris pada tahun 4000 SM. Lalu menelusuri sejarah peradaban kuno, Asia, ajaran Yahudi, Yunani Kuno, Nabathih, Roma, dan ajaran Kristen. Jadi, tinjauan yang dilakukan dalam buku berdasarkan letak geografi, bukan tahun.
Dalam ilmu sejarah seperti yang disebut oleh Dr. Ayyub, terdapat 3 klasifikasi periode yakni, zaman batu, tembaga, dan perunggu. Dan penelusurannya dimulai pada peralihan zaman tembaga ke zaman perunggu yaitu, tahun 4000 SM. Sebelum beranjak pada penelusuran bangsa Sumeria, Dr. Ayyub menampilkan patung-patung dewi pada peradaban Yunani Kuno yang dimulai tahun 3000 SM.
Patung-patung dewi Yunani yang ditemukan dalam penelusuran sejarah selalu ditunjukkan tanpa busana bahkan memperlihatkan kemaluan dan payudara. Seperti dewi cinta dan dewi kesuburan yang menonjolkan bagian payudara dan pinggul sebagai tanda kesuburan. Patung dewi-dewi dianggap sebagai manifestasi perempuan pada umumnya. Ini menunjukkan bahwa hijab atau jilbab yang lebih kita kenal tidaklah penting dan belum menemukan perannya.
Di belahan negara lain, orang-orang Sumeria yang tinggal di sekitaran Mesopotamia dan Mesir terbiasa mengorbankan keperawanan perempuan demi menghormati para dewa. Pengorbanan ini dilakukan dengan cara menyerahkan diri kepada pendeta yang dianggap sebagai wakil dewa di bumi. Jika perempuan menikah, dan setelahnya tertangkap melakukan zina, mereka akan dikenai hukuman berat dengan cara dijerat atau lengannya diikat. Sedangkan laki-laki tidak mendapatkan hukuman apapun. Betapa sejarah menunjukkan tahun 4000 SM status perempuan sangatlah rendah.
Lalu beralih ke masa selanjutnya saat masuk ke periode Sumeria II yang dimulai tahun 3000 SM dan memasuki puncak keemasan sampai periode Kerajaan Akkadia di Mesopotamia dan negara sekitaran sungai Tigris dan Efrat, ditemukan bukti akan munculnya hiasan pada kepala perempuan.
Di sinilah akar kemunculan adanya hijab, menurut Dr. Ayyub. Ditemukan pada patung-patung dan naskah bahwa perempuan bangsa Sumeria II mengenakan sorban pada kepalanya dan rambutnya tampak bergelombang.
Juga pada patung-patung dewi kesuburan milik bangsa Babilonia sekitar tahun 2200-2100 SM mengenakan semacam bando di kepala mereka. Kata عصابة jika ditelusuri melalui kamus selalu digambarkan dengan bando di era modern saat ini yang digunakan oleh perempuan sebagai hiasan. Tidak hanya para dewi, tetapi juga para perempuan biasa ditemukan mengenakan hiasan pada kepalanya.
Lalu masuk ke periode selanjutnya sekitar tahun 1250-600 SM di peradaban bangsa Asyir yang masih bermukim di sekitaran aliran sungai Tigris dan Efrat. Saat itu hijab dijadikan sebagai penanda kelas sosial. Seorang ratu tampak mengenakan mahkota, seorang budak sedikitpun tak boleh mengenakan hiasan pada kepalanya.
Sedangkan perempuan merdeka yang bukan bagian dari kerajaan mengenakan semacam jubah yang hanya membuka bagian wajahnya saja saat mereka keluar. Penggunaan jubah tersebut untuk membedakan perempuan merdeka dengan budak. Maka jelaslah hijab yang menjadi bagian dari jubah tersebut berfungsi sebagai pembeda kasta sosial.
Peraturan tersebut muncul sejak masa ekspansi bangsa Asyuri ke wilayah yang lebih luas di sekitar negara aliran sungai Tigris dan Efrat. Masa-masa tersebut, bangsa Asyuri menjadi tidak aman sehingga perempuan-perempuan pada saat itu ditahan di dalam rumah dan tidak diperbolehkan keluar kecuali menggunakan hijab bagi para perempuan merdeka.
Jika ada seorang budak tawanan yang keluar menggunakan hijab maka ia akan dikenai hukuman yang sangat berat. Selain itu terdapat juga riwayat lain dalam sejarah yang menyebutkan alasan penggunaan hijab bagi perempuan di bangsa Asyuri karena ditemukan perintah mengenakan hijab dalam kitab Taurat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan hijab pada masa bangsa Asyuri dan masyarakat kuno di wilayah lainnya disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut ialah:
- Perintah agama yang berkaitan dengan mitos, kepercayaan, dan ritual.
- Pembeda kelas sosial.
- Situasi yang tidak aman dan merosotnya peradaban.
- Peperangan yang mengorbankan para perempuan dan rusaknya ras pasukan yang kalah. Sehingga terjadi percampuran antar ras yang berkaitan dengan kelas sosial.
- Kebutuhan yang meningkat akan pasukan perang laki-laki sehingga menyebabkan eksploitasi (termasuk pembunuhan) kepada perempuan. Karena kehadiran perempuan saat itu tidak diharapkan.
- Munculnya fenomena patriarki dan kepemilikan khusus yang mana perempuan dianggap sebagai barang dan bagian dari kepemilikan itu.
Selanjutnya, masih di negara sekitaran sungai Tigris dan Efrat yaitu, Babilonia pada tahun 600-539 SM. Ditemukan dewi ibu (Mami) sebagai lambang kehidupan, ruhani, dan spiritual. Keyakinan ini juga diikuti oleh masyarakat di perdaban Suku Indian di Amerika Utara. Para perempuan kembali mendapatkan hak-haknya.
Dalam sejarah disebutkan, bahwa perempuan Babilonia mengenakan pakaian mewah dan berwarna serta menunjukkan kecintaannya kepada dunia. Mereka mengenakan mutiara sebagai perhiasan yang diletakkan di pundak mereka terutama pada hari raya. Perubahan ini terjadi karena keamanan dan stabilitas pada periode itu sudah membaik. Artinya, perempuan tidak lagi terkungkung oleh peraturan-peraturan yang disebabkan oleh peperangan dan perilaku laki-laki yang tidak bermoral.
Setelah selesai menelusuri sejarah hijab dan perempuan pada peradaban di beberapa negara aliran sungai Tigris dan Efrat, kita akan beranjak pada penelusuran peradaban Mesir kuno dan Asia pada tulisan selanjutnya.