BincangMuslimah.Com – Dalam Problematika Perempuan Saat Puasa Ramadhan (Bagian 1) dan Problematika Perempuan Saat Puasa Ramadhan (Bagian 2), kita telah membahas problem perempuan saat puasa Ramadhan yakni hamil dan menyusui serta alat kontasepsi. Dalam artikel ketiga yang merupakan bagian terakhir ini, kita akan membahas soal permasalahan istihadah, pil penunda haid, dan hukum mencicipi makanan saat puasa.
1. Istihadah
Istihadah adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan, tapi tidak pada waktu-waktu yang normal seperti haid atau nifas. Ia adalah darah penyakit. Umumnya, istihadah terjadi pada perempuan di bawah usia haid yakni 9 tahun atau darah yang keluar dalam waktu kurang dari sedikit-dikitnya masa haid atau melebihi selama-lama masa haid dan juga masa nifas.
Tidak ada halangan apa pun bagi para perempuan yang mengalami istihadah dalam melaksanakan ibadah, baik ibadah yang wajib dan sunnah. Ada beberapa hadits Rasulullah Saw. yang melandasi hal tersebut, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, hadits dari Aisyah r.a. yang menyatakan bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah Saw.: “Aku perempuan istihadah, aku tidak suci, apakah kutinggalkan shalat?” Rasulullah Saw. pun menjawab: “Istihadah itu bukan haid, jika engkau kedatangan haid, tinggalkan shalat, maka jika ukuran biasanya telah selesai, mandilah dan shalatlah.” (Asy-Syaukani, Nail al-Autar, Juz I, halaman 268).
Kedua, ada hadits Nabi Muhammad Saw. yang memerintahkan Hamnah binti Jahsy untuk berpuasa dan shalat pada waktu istihadah. (H.R. Abu Daud, Ahmad dan at-Tirmizi).
Dari dua hadits di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa perempuan haid atau nifas yang bersambung dengan istihadah hanya meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam masa haidnya saja, kemudian ia mandi dan beribadah seperti biasa.
Dalam Al-Fiqh Al-Islamy, Az-Zuhaily menuliskan bahwa menurut Malikiyah, perempuan yang istihadah disunnahkan berwudhu setiap kali akan melaksanakan ibadah shalat dan jika darah istihadahnya telah berhenti dan disunnahkan untuk mandi. Sedangkan menurut jumhur ulama, perempuan yang istihadah wajib berwudhu setiap kali masuk waktu shalat setelah terlebih dahulu membersihkan dan membasuh kemaluannya dan memakai pembalut.
2. Pil Penunda Haid
Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan, para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah yang sedang haid diwajibkan untuk tidak berpuasa. Namun, diwajibkan baginya untuk mengqadanya pada bulan yang lain. Hal ini adalah kemurahan dari Allah Swt. dan rahmatNya kepada perempuan yang sedang haid, sebab kondisi badan seorang perempuan sedang lelah dan urat-uratnya lemah, perasaan tidak enak dan lain-lain.
Maka dari itu, Allah Swt. mewajibkan untuk berbuka dan bukan sekadar dibolehkan tidak puasa. Jika mereka berpuasa, maka puasanya tidak sah dan tidak diterima. Perbuatan meninggalkan puasa saat masa haid telah dilakukan para muslimah sejak masa Rasulullah Saw. Ummahat al-Mukminin dan para Shahabiyah dan para Muslimah yang mengikuti mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan bila mereka mengalami haid. Aisyah r.a berkata: “Kami diperintahkan mengqada puasa dan tidak diperintahkan mengqada shalat.” (H.R. Bukhari).
Lantas, bagaimana apabila seorang perempuan menggunakan pil penunda haid saat puasa? Setiawan Budi Utamo menulis dalam bukunya Fiqih Aktual (2003) yang selaras dengan pendapat Yusuf Qardhawy bahwa lebih afdal apabila segala sesuatu berjalan secara alamiah sesuai dengan tabiat dan fitrahnya. Darah haid adalah perkara tabi’i, yakni proses alamiah biologis yang fitri dan sebaiknya dibiarkan berjalan sesuai dengan tabiat dan fitrahnya sebagaimana ia diciptakan Allah Swt.
Meski demikian, penggunaan pil ini tidak dilarang. Hal ini berlaku apabila pil tersebut tidak membawa efek samping medis yang membahayakan bagi penggunanya. Untuk itu, para perempuan yang ingin menggunakannya mesti melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter ahli kandungan. Quraish Shihab dalam Panduan Puasa (2000) tidak cenderung membolehkan penggunaan pil tersebut dengan alasan bahwa pil tersebut hanya menahan keluarnya darah tapi tidak menghilangkan dampak psikis haid.
3. Mencicipi Makanan
Memasak dan menyediakan makanan untuk orang yang berpuasa di bulan Ramadhan umumnya dilakukan oleh perempuan. Agar rasa makanan tersebut pas dan tidak berlebihan atau kurang, biasanya makanan tersebut dicicipi terlebih dahulu sebelum dihidangkan. Mencicipi makanan pada saat berpuasa tidaklah membatalkan puasa. Syaratnya adalah makanan yang dicipipi tersebut tidak sampai tertelan. Tapi sebaiknya tidak dilakukan sebab hukumnya makruh. Hal ini dikarenakan mencicipi makanan membuka peluang batalnya puasa.
Poin-poin Penting
Perempuan hamil dan menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, apabila ia mengkhawatirkan keselamatan diri dan bayinya. Untuk tata cara pembayaran puasanya, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mewajibkan untuk mengqada puasa dan membayar fidyah, ada pula yang mewajibkan qada saja dan apabila sangat memberatkan, maka boleh dengan membayar fidyah saja.
Jumhur ulama menyatakan bahwa pemasangan alat kontrasepsi spiral di bulan Ramadhan membatalkan puasa, tapi ulama dari mazhab Maliki mengatakan tidak batal, sementara pengontrolan spiral, mayoritas ulama selain Syafi’iyah mengatakan bahwa pemasangan alat kontrasepsi tidak batal.
Darah yang keluar dari kemaluan perempuan selain haid dan nifas disebut istihadah dan tidak ada rukhsah bagi para perempuan istihadhah untuk tidak berpuasa atau bisa dibilang bahwa wajib berpuasa. Sedangkan memakai pil penunda haid tidak dianjurkan untuk digunakan di bulan Ramadhan, sebab dikhawatirkan ada efek samping yang berbahaya bagi perempuan. Tapi, jika menurut dokter yang ahli dan dapat dipercaya bahwa penggunaan pil yang digunakan tidak menimbulkan bahaya, maka tidak ada larangan untuk memakainya.
Terakhir, mencicipi makanan bagi orang yang puasa sebaiknya dijauhi. Sebab, hal tersebut dapat mengakibatkan batalnya puasa. Tapi, apabila tidak sampai tertelan, maka puasanya tidak batal. Demikian seri tulisan tentang problematika perempuan saat puasa Ramadhan. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.[]