BincangMuslimah.Com – Siapa tak kenal Kalis Mardiasih? Tak banyak anak muda yang mampu berpikir kritis sekaligus berjuang. Sebagai aktivis sekaligus penulis muslimah, Kalis lantang bersuara. Selain bergerak di media sosial, ia juga menulis. Bulan April tahun 2019 yang lalu, ia membukukan esai-esainya yang telah terbit di berbagai media dengan judul Muslimah yang Diperdebatkan.
Kita bisa membaca bukunya sambil minum kopi dan bersantai sebab isinya sangat kontemplatif. Tulisan tidak terlalu berat tapi berisi pesan-pesan yang sangat mendalam. Kehadiran buku ini tentu semakin mengukuhkan optimisme bahwa masih banyak anak-anak muda yang cemerlang di zaman penuh hoaks ini. Masa depan Indonesia akan baik-baik saja di tangan mereka.
Keseluruhan tulisan dalam buku dikemas dari sudut pandang kesetaraan gender. Kalis menulis dengan santai dan mudah dipahami (semi curhat) sehingga mudah dimengerti terutama oleh anak-anak muda zaman now. Secara garis besar, esai-esai naratif yang ditulis bercerita soal Islam keseharian, berfokus pada kehidupan para muslimah milenial dalam beragama, khususnya Islam.
Ada dua hal yang sangat lantang Kalis suarakan yakni soal kesetaraan dan keadilan, dua nilai dasar dan utama dalam ajaran Islam. Ada pembahasan tentang poligami, nikah siri, pernikahan usia dini, dan kekerasan dalam rumah tangga. Yang menarik, tulisan-tulisan Kalis tidak berangkat dari terori-teori besar, tapi dari pengalaman empirisnya, apa yang dilakoninya dalam kehidupan sehari-hari dalam beragama.
Konon, kebiasaannya menulis ditekuninya sejak zaman kuliah lantaran desakan ekonomi. Saat diwawancarai Mojok.co, ia mengatakan bahwa bapaknya adalah orang yang kurang peduli dengan anaknya. Bapaknya membiarkan sang anak kehabisan uang dan selalu menguji ketahanan hidup Kalis.
Kalis menulis tentang keislaman dan perempuan, terutama tentang islam sehari-hari dan pengalaman perempuan saja sebab ia merasa tak punya latar belakang studi keislaman ataupun kajian perempuan. Ia juga merasa bahwa pengalaman adalah modal yang paling penting dalam menulis dibandingkan teori yang ada di buku apa pun.
Ia menyatakan bahwa kebebasan perempuan dalam berekspresi di Indonesia itu sudah jauh lebih maju daripada negara-negara lain. Ia tergabung dalam pergerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Di situ, ia mendapat banyak input bahwa Indonesia keren dalam menjamin kemerdekaan perempuan.
Perempuan bernama lengkap Kalis Mardiasih yang lahir di Blora pada 16 Februari 1992 ini memang hobi menulis sejak kecil. Ia adalah lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), program studi Pendidikan Bahasa Inggris. Ia jago public speaking dan menulis karya ilmiah. Saat kuliah, ia aktif di berbagai komunitas kepenulisan ilmiah, pendidikan dan pengabdian masyarakat.
Tulisannya berupa karya ilmiah, artikel dan esai sempat beberapa kali memenangkan kompetisi menulis tingkat nasional. Baginya, menulis di media massa adalah senjata persuasif kebenaran paling ampuh. Cita-cita terbesarnya mempunyai rumah belajar untuk mereka yang tak berkesempatan menagih hak pendidikannya.
Dalam bukunya yang lain yakni Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar! yang terbit pada bulan Oktober 2019, Kalis menyadarkan kita bahwa sikap beragama yang ramah, moderat, dan berfokus pada bagaimana menyebarkan kebaikan kepada sesama manusia adalah titik yang paling penting.
Beragama semestinya tidak dipenuhi kebencian, amarah, dan kekerasan. Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk di mana ada berbagai macam umat beragama yang tinggal berdampingan. Untuk itu, sikap yang lebih dibutuhkan saat ini adalah sikap saling menghormati. Sebab, kita akan bisa bersama-sama mengatasi berbagai persoalan dengan saling menghormati dan menjaga persaudaraan.
Lewat buku-buku Kalis, kita bisa belajar bagaimana menangkap kegelisahan dan ide anak muda yang menerjemahkan fenomena di zamannya dan mengekspresikannya dalam bentuk tulisan. Tak banyak anak muda, apalagi perempuan, yang konsisten, kritis dan cerdas membaca apa yang terjadi di zamannya sendiri.
Tulisan-tulisan Kalis dianggap bukan tulisan opini biasa dan bergaya kolom kontemplatif, bernuansa satire-sarkas, tapi tetap renyah dikunyah. Tapi, Kalis perlu menimbang. Sudah saatnya ia menjadi akademisi perempuan yang mengedepankan Islam yang inklusif dan toleran. Sebab, Indonesia sangat kekurangan cendekiawan perempuan yang fokus dalam diskursus keislaman yang ramah.[]