BincangMuslimah.Com- Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memiliki spirit untuk memberikan maslahat kepada manusia. Untuk mewujudkan hal ini, Islam hadir dengan aturan-aturan atau syariat yang mengarahkan manusia untuk menjaga stabilitas kehidupan di dunia. Aturan tersebut juga menjauhkan manusia dari mafsadat terutama mafsadat yang dapat mencelakakannya di akhirat. Sehingga setiap manusia dapat hidup damai dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat apabila mematuhi syariat tersebut.
Salah satu syariat dalam mewujudkan maslahat bagi manusia tersebut adalah penanganan terhadap orang-orang terlantar. Islam bukan hanya fokus terhadap ibadah personal antara hamba dan Tuhannya saja. Melainkan juga memberikan perhatian terhadap interaksi sosial sesama manusia dengan menanamkan spirit tolong menolong terhadap sesama. Termasuk memberikan kepedulian terhadap orang-orang terlantar.
Definisi Orang-Orang Terlantar di Dalam Fikih
Di dalam literatur fikih, orang-orang terlantar dikenal dengan istilah laqith. Secara terminologis bermakna anak kecil yang ditemukan di jalan namun tidak diketahui ayah, ibu ataupun identitasnya. (Ibn Manzhur, Lisanul ‘Arab [Beirut: Dar Shadir, 1993], jilid 7, 393).
Namun, sebagian ulama fikih mendefinisikan istilah laqith dengan makna yang lebih luas. Sebagaimana definisi oleh Syekh Ibn Qasim berikut:
{فصل} في أحكام اللقيط. وهو صبيٌّ منبوذٌ لَا كافِلَ له من أب أو جد أو ما يقوم مقامهما. ويلحق بالصبي – كما قال بعضهم – المجنون البالغ
“Pasal tentang hukum laqith. Laqith adalah anak kecil yang terlantar yang tidak memiliki siapapun yang bisa merawatnya baik ayah, kakek atau siapapun yang bisa menggantikan posisi ayah atau kakeknya (juga tidak memiliki wali). Sebagian ulama menganalogikan orang gila yang baligh kepada anak kecil dalam definisi ini sebagai orang yang terlantar.” (Ibn Qasim, Fathul Qarib Mujib fi Syarh Alfazhit Taqrib [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], 211)
Berdasarkan definisi ini, diketahui bahwa yang dimaksud dengan orang-orang terlantar adalah setiap orang yang sejatinya masih memerlukan penanggung dalam menjalani kehidupan, seperti anak kecil ataupun orang yang baligh namun gila, akan tetapi orang-orang ini justru terlantar di jalan tanpa diketahui identitasnya dan orang yang berkewajiban merawatnya.
Melihat ketidak-adilan dan kesenjangan yang dirasakan oleh orang-orang terlantar ini, Islam hadir dengan memberikan ketentuan terhadap penanganan yang seharusnya dilakukan oleh orang Muslim khususnya ketika melihat orang-orang terlantar.
Kewajiban Merawat Orang-Orang Terlantar
Fuqaha berpendapat bahwa menjamin dan merawat orang-orang terlantar adalah fardhu kifayah. Ketika sudah ada orang yang kompeten yang bersedia merawat orang terlantar ini, maka dosa yang lainnya juga ikut gugur. Sebaliknya jika tidak ada yang mau merawat orang terlantar tersebut, maka semua orang yang mengetahui keberadaan orang tersebut dan mampu untuk merawatnya juga akan mendapatkan dosa.
Beda halnya jika yang mengetahui keberadaan orang terlantar tersebut hanya satu orang. Maka orang itu saja yang tertentu untuk merawat dan menjamin orang terlantar yang ia jumpai. (Ibn Qasim, Fathul Qarib Mujib fi Syarh Alfazhit Taqrib [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], 211)
Ketentuan Merawat Orang-Orang Terlantar
Ketika seseorang bersedia untuk merawat dan menjadi penjamin dari orang-orang yang terlantar, maka harus memperhatikan beberapa ketentuan.
Pertama, orang yang merawat orang yang terlantar ini harus amanah, merdeka, Muslim dan cerdas. Dengan kata lain orang yang berhak untuk merawat orang terlantar ini harus amanah, bukan budak dan sudah mencapai usia di mana ia mampu dan bijak dalam mengatur keuangan.
Kedua, ketika menemukan orang yang terlantar dalam kondisi membawa harta, maka hakim yang akan mengelola harta tersebut untuk memenuhi kebutuhan orang yang terlantar tersebut.
Ketiga, ketika orang yang terlantar tidak ditemukan dalam kondisi membawa harta, maka nafkahnya ditanggung oleh Baitul mal (kas negara) seperti dari dana wakaf untuk orang-orang terlantar. (Ibn Qasim, Fathul Qarib Mujib fi Syarh Alfazhit Taqrib [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], 212)
Hal ini mengisyaratkan bahwa sejatinya penanganan terhadap orang-orang terlantar bukan hanya kepada Muslim perorangan saja. Melainkan juga menganjurkan negara untuk hadir dalam menangani orang-orang terlantar dan menjamin kebutuhannya seperti makanan, pakaian, tempat tinggal bahkan pendidikan jika yang terlantar tersebut adalah anak kecil yang sejatinya memiliki hak untuk mengenyam pendidikan.
Penanganan Orang-Orang Terlantar di Dalam Hukum Positif
Bukan hanya di dalam fikih saja, negara sejatinya juga sudah membuka ruang untuk memberikan penanganan dan jaminan dalam mensejahtekan orang-orang terlantar. Sebagaimana yang tertuang di dalam UUD 1945, Pasal 34 ayat 1 yang berbunyi: ‘Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.’
Undang-undang ini menunjukkan komitmen negara untuk bertanggung jawab mengurus dan merawat orang fakir miskin dan anak-anak terlantar. Baik dalam hal jaminan kehidupan, pendidikan, kesehatan maupun perlindungan sosial. Salah satu cara negara dalam mewujudkan komitmen ini adalah dengan membentuk dinas sosial yang di antara fungsinya adalah memberikan jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan penanganan fakir miskin.
Dengan demikian, di dalam fikih, umat Muslim dianjurkan untuk turut andil dalam mensejahterakan dan memberikan maslahat kepada orang yang membutuhkan. Salah satunya seperti memberikan bantuan dan turut merawat orang-orang terlantar ketika memungkinkan. Jika tidak, orang yang menemukan orang terlantar ini bisa membantu dengan membawanya ke dinas sosial. Hal ini agar ia memiliki penjamin untuk memenuhi kebutuhannya. Sebab, negara sejatinya sudah menyiapkan dinas sosial untuk turut membantu dan merawat orang-orang terlantar.
Rekomendasi

1 Comment