Ikuti Kami

Muslimah Daily

Malak Hifni Nasif, Pejuang Kesetaraan Perempuan Mesir Melalui Syair

Malak Hifni Nasif

BincangMuslimah.Com – Lahir di Mesir pada tanggal 25 Desember 1886, Malak Hifni Nasif atau yang akrab dikenal dengan Bahitsa al-Badiyah, merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara pasangan suami istri dari keluarga Mesir kelas menengah. Ayahnya bernama Hifni Bahitsa seorang lulusan Azhari dan mahasiswa Jamal al-Din al-Afghani, yang memiliki hubungan dekat dengan beberapa pembaharu Islam pada masanya. Sementara ibunya bernama Saniyya Abd al-Karim Jalal (gemar membaca dengan kecerdasan yang tajam), adalah sosok perempuan yang telah menerima pendidikan lebih tradisional di rumah.

Nasif mengenyam pendidikan formal di sekolah perempuan bernama The Saniyya School of Cairo. Kemudian ia menjadi salah satu lulusan pertama di sekolah tersebut tepatnya pada tahun 1990. Setelah memperoleh gelar, ia berprofesi sebagai seorang guru pada tahun 1903, tetapi melepas profesi tersebut untuk kembali ke almamaternya dan mengabdikan menjadi tenaga pendidik dan menikah pada tahun 1907. 

Sayangnya, tanpa sepengetahuan banyak anggota keluarga terdekatnya, ternyata pernikahan Nasif tidak bahagia dan terlambat mengetahui bahwa suaminya sudah menikah sebelumnya bahkan mempunyai anak. Pengalaman yang ia terima di kehidupan rumah tangganya inilah yang memberi dampak terhadap dirinya untuk semakin memperkuat pandangannya tentang poligami dalam praktik pernikahan. 

Pada tahun 1907, Nasif melebarkan sayap menjadi seorang penulis untuk koran liberal/nasionalis al-Jarida, sebuah penerbitan yang dipimpin oleh Ahmad Lutfi al-Sayyid. Ahmad Lutfi al-Sayyid yang merupakan salah satu pendiri Partai Umma, sebuah partai yang berkiblat kepada pemikiran Muhammad Abduh dan Sa’ad Zaghloul, seorang nasionalis Mesir dan bapak politikus yang turut memperjuangkan kemerdekaan Mesir dari Eropa. 

Semboyan yang dimiliki media al-Jarida ialah “Feminisme adalah bagian penting dari nasionalisme sejati”. Kombinasi semangat nasionalis dan feminisme Nasif sangat konsisten dan selaras dengan pemikiran tersebut. Dia menggunakan nama samaran “Bahitsa al-Badiyah” yang bermakna  pencari gurun dan mulai secara konsisten berkontribusi dengan komentar blak-blakan, juga berani tentang berbagai masalah perempuan, termasuk terkait isu-isu pendidikan, tenaga kerja, pengasingan perempuan, pernikahan, dan poligami. 

Baca Juga:  Sekolah Perempuan, Sebuah Harap dari Kampung Sawah

Pada tahun 1909, Nasif diundang untuk menjadi pembicara dan menjadi salah satu perempuan pertama yang berpidato dalam serangkaian kuliah khusus perempuan yang diselenggarakan di markas besar Partai Umma. Tahun berikutnya, pidato-pidato Nasif, beberapa surat-suratnya, dan serangkaian artikelnya dari al-Jarida muncul menjadi sebuah antologi karya dengan berjudul al-Nisa’iyat (Wacana Feminis/Feminin).

Malak Hifni Nasif tidak hanya sosok perempuan yang aktif menulis essay atau media penerbitan saja, ternyata ia juga banyak melahirkan bait-bait syair atau puisi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah Mesir pada masa tersebut. Beberapa potongan bait puisi yang dilahirkannya seperti: 

 

في الشرع ليس بمعضل

 

أما السفور فحكمه

 

ن نحرم و محلل

 

ذهب الأئمة فيه بي

 

هم عند قصد تأهل

 

ويجوز بالإجماع من

 

Adapun sufur (cadar), maka hukumilah dalam syariat tanpa mempersulit 

Para imam berpendapat (sufur) antara haram dan halal 

Dan diperbolehkan ber ijmak dari mereka (para imam) saat merasa cocok

Sebagaimana isu-isu perempuan yang banyak diperbincangkan pada ranah tradisi dan budaya, perempuan kerap kali dipersepsi sebagai makhluk domestik, sehingga ruang geraknya sangat terbatas. Ketimpangan gender terus diterima perempuan akibat dampak masih melekatnya stigma masyarakat bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, penilaian sosial yang diterima perempuan yakni tidak jarang mereka dianggap sebagai sumber fitnah, kekacauan, serta sumber penyebab petaka bagi nafsu laki-laki. Hal tersebut menyebabkan perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi oleh mahram. Terkhusus di Mesir sendiri, Nasif menyoroti problematika golongan perempuan yang  tidak diperbolehkan menampakkan wajahnya, sehingga melahirkan peraturan terkait kewajiban menggunakan cadar. Hal tersebut juga ia tuangkan melalui bait berikutnya yakni:

ة لا محال لمقولي

 

من بعد أقوال الأئم

 

لة للنساءٌ فأجملي

 

لا أبتغي غير الفضي

 

Tidak ada ruang untuk ucapanku dari sebagian argumen para imam

Saya tidak berharap selain keutamaan perempuan, maka percantiklah

Pada bait ini, Nasif menyiratkan terkait adanya diskriminasi dan patriarki terhadap kaum perempuan pada masa tersebut, ditunjukkan dengan kalimat  لا محال لمقولي. Kalimat tersebut juga membuktikan bahwa masih ada ketimpangan terkait suara perempuan di ranah publik.

Sebagai salah satu perempuan yang berpendidikan pada masa tersebut, tentu saja Nasif tidak bisa hanya diam dan menginginkan adanya gerakan kesetaraan gender,  terkhusus terkait penampilan perempuan saat berada di ruang publik. Ia memperjuangkan diperbolehkannya golongan perempuan menampakkan wajah atau melepas cadar. Hal tersebut didasari dengan anggapan Nasif yang meyakini bahwa antara hijab dan cadar adalah dua hal yang berbeda, sebagaimana yang ia sebutkan melalui bait: 

ب فقصري أو طولي

 

ليس النقاب هو الحجا

 

هما فدومك فاسألي

 

فإذا جهلت الفرق بين

 

Niqab bukanlah hijab, maka pendekkanlah ataupun panjangkan

Jika kamu tidak mengetahui antara keduanya, maka tanyakan kepadaku

 

Sayangnya, perjuangan Malak Hifni Nasif untuk memperoleh hak-hak bagi golongan perempuan harus berhenti pada 17 oktober 1981, ia wafat karena terserang penyakit influenza. Laha, al-fatihah.

Rekomendasi

Mariam al-‘Ijliya al-Asturlabi Mariam al-‘Ijliya al-Asturlabi

Mariam al-‘Ijliya al-Asturlabi: Ilmuwan Muslimah Berpengaruh di Balik Astrolab

Tafsir pembebasan perempuan Tafsir pembebasan perempuan

Tafsir Pembebasan Perempuan: Jalan Menuju Kesetaraan Gender dalam Islam

Zakiah Memberdayakan Peran Domestik Zakiah Memberdayakan Peran Domestik

Upaya Zakiah Daradjat dalam Memberdayakan Peran Domestik Perempuan

CariUstadz Dakwah Perspektif Perempuan CariUstadz Dakwah Perspektif Perempuan

Berkolaborasi dengan KUPI, CariUstadz Tingkatkan Dakwah Perspektif Perempuan 

Ditulis oleh

Mahasiswi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan Pegiat Sastra Arab dan Gender Islam.

Komentari

Komentari

Terbaru

Tafsir Surah al-Ahzab Ayat 21: Rasulullah Teladan Bagi Manusia

Khazanah

Etika Mengadakan Acara di dalam Masjid

Kajian

Ummu Sulaim Ummu Sulaim

Ibu Sempurna dalam Pandangan Masyarakat

Diari

Kisah Nabi Muhammad Bergurau Dengan Istrinya Kisah Nabi Muhammad Bergurau Dengan Istrinya

Kisah Nabi Muhammad Bergurau Dengan Istrinya

Keluarga

Hukum Menguntit dalam Islam dan Undang-Undang

Kajian

Bolehkah Menjamak Shalat Bukan Karena Uzur Syar’i?

Kajian

Kisah cinta Zainab binti Rasulullah Kisah cinta Zainab binti Rasulullah

Maulid Nabi dan Revolusi Kemanusiaan Perempuan

Khazanah

Syekh Ahmad Thayyib dan Paus Fransiskus Role Model Dalam Beragama

Khazanah

Trending

Hukum Masturbasi dalam Islam Hukum Masturbasi dalam Islam

Hukum Menghisap Kemaluan Suami

Kajian

doa baru masuk islam doa baru masuk islam

Doa yang Diajarkan Rasulullah pada Seseorang yang Baru Masuk Islam

Ibadah

Doa Nabi Adam dan Siti Hawa saat Meminta Ampunan kepada Allah

Ibadah

Doa menyembelih hewan akikah Doa menyembelih hewan akikah

Doa yang Diucapkan Ketika Menyembelih Hewan Akikah

Ibadah

Murtadha Muthahhari: Perempuan Butuh Kesetaraan, Bukan Keseragaman

Kajian

Mengeraskan Bacaan Niat Puasa Mengeraskan Bacaan Niat Puasa

Doa Qunut: Bacaan dan Waktu Pelaksanaannya

Ibadah

mona haedari pernikahan anak kdrt mona haedari pernikahan anak kdrt

Suami Boleh Saja Memukul Istri, Tapi Perhatikan Syaratnya!

Kajian

Resensi Buku: Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah

Diari

Connect