BincangMuslimah.Com- Mungkin satu atau dua kali saat berselancar di media sosial, kamu pernah membaca sebuah komentar di sebuah konten seorang ibu yang membagikan momen singkatnya mengantar anak sekolah sebelum bergegas ke kantor. Akan ada komentar bernada cukup tajam seperti “punya anak kok masih sibuk cari karir? Lebih baik resign, anak lebih butuh ibunya daripada uang.”
Komentar seperti ini jamak ditemukan dan seolah menjadi pola pikir umum. Tidak sedikit pula yang menjadikan konten ibu pekerja sebagai ajang ‘membandingkan nasib’. lalu menyayangkan keputusan ibu yang tetap bekerja itu.
Fenomena ini tentu amat disayangkan. Karena media sosial, yang seharusnya bisa menjadi ruang berbagi dan saling menyemangati, justru menjadi tempat ibu-ibu pekerja sering kali merasa tidak cukup baik.
Standar Ibu Ideal yang Tidak Realistis
Kita hidup di era ketika standar “ibu ideal” sangat tinggi. Harus sabar, harus selalu hadir, harus kreatif mengurus anak, harus pintar masak, dan bila mungkin, juga tetap produktif secara finansial. Namun ironisnya, ketika seorang ibu mencoba menyeimbangkan peran tersebut dengan memilih bekerja justru cibiran yang datang lebih dulu.
Fenomena ini tumbuh subur di media sosial. Dalam narasi-narasi singkat, potongan video, atau komentar di kolom-kolom publik figur, kita sering menemukan suara-suara sinis: “Anaknya diasuh asisten, ibunya sibuk sendiri.” Atau: “Kalau kerja terus, kapan waktu buat anak?” Komentar semacam ini lumayan tidak mengenakkan hati.
Padahal, realitas setiap ibu berbeda. Tidak semua ibu punya pilihan untuk tinggal di rumah. Ada yang menjadi tulang punggung keluarga. Ada pula yang bekerja untuk kesehatan mentalnya sendiri karena merasa lebih utuh saat bisa menyeimbangkan peran domestik dan profesional.
Atau, ada juga yang pasangan suami dan istri yang giat-giatnya bekerja karena kondisi ekonomi. Keduanya mungkin tengah membulatkan tekad untuk memenuhi kebutuhan sang buah hati. Mulai dari sandang, pangan hingga pendidikan di masa depan.
Antara Realitas dan Romantisisme Peran Ibu
Tidak salah bila kita memuliakan peran ibu rumah tangga. Namun, menjadi keliru ketika memuliakan satu peran dengan merendahkan yang lain. Karena faktanya, ibu bekerja pun mencintai anak-anaknya. Mereka tetap hadir dalam doa, dalam perhatian yang tak kasat mata, dalam upaya menyediakan masa depan yang lebih baik.
Islam sendiri sangat menghargai perempuan yang berperan di berbagai ranah, selama tetap menjaga nilai-nilai utama sebagai ibu dan istri. Bekerja bagi perempuan bukan hal baru dalam sejarah Islam. Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah, adalah seorang pengusaha sukses dan bahkan pendukung utama dakwah Rasul di awal kenabiannya.
Ia berdagang, mengatur bisnis, dan tetap menjadi istri serta ibu yang dicintai. Rasulullah tidak pernah menyuruh Khadijah untuk berhenti bekerja. Sebaliknya, beliau amat menghormati dan mencintai Khadijah.
Ini menjadi bukti bahwa perempuan bekerja bukanlah bentuk pengabaian terhadap keluarga, melainkan bisa menjadi bentuk kontribusi dan kekuatan yang membangun keluarga itu sendiri. Lalu, mengapa hari ini kita begitu mudah menyudutkan ibu pekerja?
Media Sosial dan Kurangnya Ruang Empati
Media sosial sering kali hanya memperlihatkan potongan kecil dari kehidupan seseorang. Satu unggahan tidak cukup untuk menjelaskan perjuangan seorang ibu: berangkat pagi, menyiapkan sarapan, memastikan anak sekolah dengan baik, lalu bekerja sepanjang hari dan kembali menyempatkan diri menemani anak belajar di malam hari.
Sayangnya, yang tampak hanyalah permukaan. Dan dari situ, lahirlah berbagai asumsi yang kemudian berubah menjadi penghakiman. Kita lupa bahwa setiap ibu sedang berjuang dengan versinya masing-masing. Kita lupa bahwa komentar bisa melukai lebih dalam daripada yang kita bayangkan.
Saatnya Berhenti Membandingkan, Mulailah Mendukung
Menjadi ibu adalah proses panjang. Tidak ada satu jalan yang sempurna. Yang ada hanyalah jalan yang dipilih dengan penuh pertimbangan, doa, dan cinta. Maka, sebelum jari kita menuliskan komentar, mari ingat satu hal, kita tidak tahu seluruh kisahnya.
Alih-alih menghakimi, lebih baik kita bertanya: “Apa yang bisa aku lakukan agar ibu pekerja merasa didukung, bukan disudutkan?” Satu kalimat penyemangat bisa menjadi penopang hari bagai yang sedang lelah. Mari ciptakan media sosial yang lebih berempati. Tempat di mana ibu baik yang bekerja di kantor maupun di rumah merasa aman, dihargai, dan dikuatkan.