BincangMuslimah.Com- Ummu Kultsum merupakan putri bungsu dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah. Ia lahir pada tahun ke-6 H dengan nama kecil Zainab as-Sughra. Nama kunyahnya, Ummu Kultsum tersebut diberikan oleh Rasulullah sebab mirip dengan putri beliau, Ummu Kultsum istri Utsman bin Affan. Ummu Kultsum menikah dengan Khalifah Umar bin Khattab dan menjadi ibu negara yang terkenal kepeduliannya terhadap rakyatnya.
Kehidupan Ummu Kultsum
Tidak seperti saudaranya yang lain, kebersamaan Ummu Kultsum dengan kakeknya berlangsung sangat singkat, Rasulullah wafat ketika usianya masih lima tahun. Enam bulan kemudian ibundanya tercinta wafat menyusul kakeknya. Karenanya, sejak kecil ia hidup dalam asuhan dan bimbingan ayahanda Ali bin Abi Thalib dan kakaknya Hasan, Husain, serta Zainab al-Kubra. Sebagai permata hati tidak hanya bagi keluarga Sayyidina Ali namun juga seluruh kaum muslimin.
Dari keluarga yang mulia dan lingkungan yang baik itu, Ummu Kultsum ra tumbuh dengan kehidupan penuh ketaatan dan sifat yang bersahaja. Ia adalah teladan dengan banyak keutamaan yang teguh mengemban agamanya. Di usianya yang masih belia, ia merupakan seorang perempuan yang memiliki kapasitas kecerdasan yang luar biasa, kedewasaan yang matang, pemahaman dan pengetahuan agama yang mendalam.
Kemuliaan yang dimiliki Ummu Kultsum ini membuat Umar bin Khattab tertarik padanya. Khalifah kedua ini pun akhirnya meminangnya dan menikahinya pada bulan Dzul Qa’dah 17 Hijriah. Kala itu, Umar bin Khattab tengah menjabat sebagai amirul mukminin.
Menurut riwayat dari Abdullah bin Zaid bin Aslam, Khalifah Umar bin Khattab menikahi Ummu Kultsum dengan mahar sebesar 40 ribu dirham sebagai bentuk penghormatan padanya. Dari pernikahan dengan amirul mukminin ini, Ummi Kultsum dikarunia dua orang anak, yakni Zaid bin Umar dan Ruqayyah binti Umar. Namun kedua anaknya wafat dan garis keturunanya tidak bertahan hingga saat ini.
Ibu Negara yang Peduli kepada Rakyatnya
Ketaatan kepada Allah dan Rasulullah bagi Ummu Kultsum harus menjadi pondasi dasar atas segala sesuatu. Beliau selalu ingin menjadi yang pertama dalam melakukan kebaikan semata hanya karena Allah dan RasulNya. Salah satu buktinya ialah kepedulian dan tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Satu kisah menarik dari Ummu Kultsum dan suaminya, Khalifah Umar. Suatu malam, seperti biasa, Amirul mukminin melakukan inspeksi keliling Madinah dan sekitarnya untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Tatkala Khalifah melewati tanah lapang Madinah, ia mendengar suara rintihan perempuan dari dalam kemah. Di depan kemah itu ada seorang laki-laki yang sedang duduk kebingungan. Sayyidina Umar lalu menyapa laki-laki itu dan menanyakan apa yang sedang terjadi.
Laki-laki itu pun memperkenalkan diri sebagai seorang Badui yang ingin mendapat kemurahan hati Amirul mukminin yang terkenal sangat mengayomi dan mementingkan kebutuhan rakyatnya. Karena penasaran dengan rintihan yang didengarnya, Sayyidina Umar bertanya perihal perempuan tersebut.
Tanpa mengetahui bahwa lelaki yang didepannya adalah Amirul mukminin yang dimaksud, laki-laki itu berkata kepadanya, “Pergilah! Semoga Allah merahmatimu sehingga mendapatkan hal yang kau cari dan janganlah bertanya tentang sesuatu yang tidak ada gunanya bagimu.”
Khalifah Umar kembali mengulang pertanyaannya agar ia dapat membantu kesulitan laki-laki itu. Akhirnya ia menjawab bahwa perempuan yang merintih kesakitan tersebut adalah istrinya yang hendak melahirkan dan tidak ada seorang pun di sampingnya untuk membantu.
Mendengar hal itu, Sayyidina Umar langsung teringat pada istrinya, Ummu Kultsum yang dapat membantu persalinan. Ia pun segera bergegas kembali ke rumahnya dan meninggalkan lelaki itu, ia berjanji akan kembali dengan seseorang yang bisa membantu mereka.
Sesampainya di rumah, ia temui istrinya, Ummu Kultsum yang saat itu tengah tidur pulas. Khalifah pun membangunkan istrinya, dan berkata, “Apakah kamu ingin mendapatkan pahala yang akan Allah limpahkan kepadamu?” Ummu Kultsum menjawab penuh antusias dan berbahagia dengan kabar gembira tersebut, dan merasa mendapatkan kehormatan karenanya. “Apa bentuk kebaikan dan pahala tersebut, wahai Amirul Mukminin ?”
Maka Sayyidina Umar memberitahukan kejadian yang ia temui, kemudian Ummu Kultsum segera bangkit dan mengambil peralatan dan kebutuhan bagi bayi. Sedangkan Amirul Mukminin membawa periuk yang di dalamnya ada mentega dan makanan. Keduanya berangkat hingga sampai di kemah tempat perempuan badui itu merintih kesakitan.
Membantu Seorang Perempuan yang Melahirkan
Ummu Kultsum kemudian masuk ke dalam kemah dan membantu perempuan yang hendak melahirkan. Layaknya seorang bidan, ia cekatan dan bersemangat memenuhi tugasnya mengurus ibu dan calon bayi. Sedangkan Sayyidina Umar menunggu di depan kemah bersama lelaki itu, sambil memasak makanan yang ia bawa tadi.
Hingga akhirnya, perempuan di dalam kemah berhasil melahirkan anaknya. Ummu Kultsum segera keluar dari kemah dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kabarkan berita gembira kepada lelaki itu, karena Allah telah mengaruniai seorang bayi laki-laki dan ibunya dalam kondisi baik!”
Ketika mendengar panggilan Amirul Mukminin kepada orang yang bersamanya, sontak, laki-laki Badui tersebut terperanjat karena ternyata orang yang sedang memasak dan meniup api di sampingnya adalah Amirul mukminin. Begitu pula dengan sang istri yang tidak kalah terkejut bahwa orang yang membantunya melahirkan adalah perempuan mulia, cucu Rasulullah yang menjadi istri Amirul mukminin.
Masyarakat pun kagum dan takjub mendengar bahwa sang khalifah dan istrinya tidak segan membantu rakyatnya yang meminta bantuan. Tanpa melihat suku dan ras asal mereka, Sayyidina Umar dan Ummu Kultsum tidak pernah ragu membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Kedunya telah mencontohkan kepada kita potret kesalingan suami-istri yang penuh dukungan dan kerjasama dalam menjalankan peran dan tanggungjawab untuk masyarakatnya. Wallah a’lam.[]
3 Comments