BincangMuslimah.Com – “Kalau kamu good looking, kamu memiliki separuh kesuksesan untuk apapun”, kira kira begitu sebuah kalimat yang tersebar di berbagai linimasa media sosial, mulai dari instagram, facebook hingga twitter. Nyatanya ini menjadi benar adanya ketika aktris senior yang sohor dengan film “45 Years” (2015) pada jurnalis Huffington Post. “Jika Anda cantik, pintu terbuka untuk Anda; orang tersenyum pada Anda; Anda diterima di tempat-tempat yang tidak bisa dimasuki orang lain,” tuturnya.
Kita kemudian mengenal sebuah “Beauty Previllege” (red: berkah kecantikan). Barangkali ini bisa buktikan di berbagai tempat umum, atau sebuah perkenalan dengan seorang laki-laki, orang cantik memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang biasa. Di tempat umum, tempat parkir di bank misalnya. Perempuan cantik selalu menempati nilai istimewa bagi orang-orang yang melihatnya. Dari fenomena ini akhirnya beauty previllege membuat banyak orang terobsesi dengan kecantikan.
Tidak hanya itu, ruang tersebut masuk dalam kehidupan kampus. Perempuan cantik selalu punya nilai lebih di depan dosen, atau di depan teman-teman mahasiswa. Tidak jarang, mereka memperoleh nilai tinggi sebab kecantikan yang dimiliki. Apalagi ketika ditopang dengan intelektual yang bagus. Merekapun bisa menguasai separuh dunia kampus dengan hal tersebut.
Akan tetapi, apa yang saya sampaikan bukanlah sebuah bentuk penghinaan terhadap orang cantik, melainkan sebuah anugerah yang patut disyukuri akan salah satu dari sekian nikmat Allah yang begitu luas. Disamping kelebihan yang demikian, “Beauty Previllege” juga bisa menjadi boomerang bagi sebagian orang.
Mahasiswi cantik, misalnya. Tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan seksual di kampus yang dilakukan oleh dosennya, apalagi ketika menjadi dosen pembimbing. Tidak sedikit dosen genit yang memiliki pengetahuan seharusnya bisa bijaksana dan professional dalam bertindak,
Tidak hanya itu, dalam dunia kerja tidak sedikit kualifikasi pelamar pekerjaan mengutamakan good looking dibandingkan kemampuan yang dimiliki. Ini yang bisa tarik keismpulan bahwa, “Beauty Previllege” adalah sesuatu anugerah bagi orang-orang yang dianugerahinya.
Dari berbagai kelebihan dan kekurangan pada setiap sesuatu, kecantikan adalah sebuah relatifitas yang tiap orang menilainya dengan cara berbeda. Orang Madura di masa silam, menganggap perempuan cantik adalah mereka yang memiliki tubuh berisi warna kulit sawo matang dll.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Richard M. Perloff dari Cleveland State University menunjukkan bahwa perspektif tentang tubuh berubah disebabkan oleh komentar orang lain di media sosial (mediaindonesia.com). Perkembangan media yang tanpa batas, industri kecantikan menggambarkan sebuah kecantikan dengan sangat apik dengan tubuh langsing, badan tinggi (red: body goals) dan kulit putih yang harus dimiliki oleh seorang perempuan menjadi standart kecantikan yang diamini.
Kejadian ini tidak bisa kita negasikan akan kehadiran tulisan Naomy Wolf, yang berjudul “Mitos Kecantikan”, secara apik ditulisnya sebagai sebuah kritik terhadap perempuan yang tidak bisa menikmati tubuhnya lantaran berbagai stigma yang dibentuk oleh sosial perihal kecantikan yang harus dimiliki seorang perempuan.
Padahal jika menilik sejarah di masa silam, dilansir dari Kumparan.com, pada zaman Yunani Kuno (sekitar 500-300 Masehi), cantik dilihat dari bentuk tubuh yang montok. Semakin montok, maka semakin cantiklah dia.
Saat Renaissance Italia (sekitar tahun 1400-1700), cantik bukan lagi montok namun betul-betul gemuk dan berisi. Syarat yang begitu meanstream, karena untuk disebut cantik perlu punya kulit yang terang.
Pada era Ratu Victoria memimpin Inggris (1837-1901), perempuan berisi jua masih dipuja. Meskipun sebagian dari mereka gemar menutupinya dengan korset demi pinggang yang terlihat sangat ramping. Terutama jika cerdas dan berwawasan luas, wanita montok tipe ini paling diidamkan.
Di berbagai periode, standart kecantikan memanglah tidaklah sama. Namun, setiap perempuan itu unik, setiap perempuan memiliki keistimewaan, setiap perempuan memiliki kekurangan dan kelebihan yang harus ditanamkan dalam diri agar tidak terobsesi dengan kecantikan yang dibuat oleh media sosial. Apalagi merasa bahwa tidak memiliki ruang untuk tumbuh akibat tidak memiliki “Beauty Previllege” seperti kebanyakan orang dan membuat sebagian orang terobsesi dengan kecantikan.
Upaya-upaya kecil seperti mengapresiasi diri, menemukan diri dengan berbagai kegiatan, berkarya atau mengasah kemampuan yang dimiliki bisa menjadi sebuah treatment “self healing” agar selalu bisa mensyukuri segala nikmat yang ada. Wallahu A’lam.
1 Comment