BincangMuslimah.Com– Tahirih Qurrat al-Ayn, seorang penyair teolog dan aktivis hak-hak perempuan, lahir di Iran tahun 1814. Ia menggunakan bahasa Persia Tahere (yang murni) atau Qurrat al-Ayn dalam bahasa Arab. Aktivis hak-hak perempuan Iran ini adalah anak sulung dari empat anak perempuan keluarga Mulla Muhammad Salih Baraghani. Tahirih lahir dari keluarga yang masyhur pada zaman tersebut. Ibunya berasal dari keluarga bangsawan Persia dan saudara laki- lakinya adalah imam di masjid Shah di Qazvin.
Salah Satu Perempuan Berpengaruh di Timur Tengah
Tahirih, yang mendapat julukan Qurrat al-Ayn (Pelipur Mata), merupakan salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah Timur Tengah abad ke-19. Lahir di Qazvin, Persia (kini Iran), ia tumbuh dalam lingkungan keluarga religius yang sangat mementingkan pendidikan agama. Ayahnya sendiri yang menjadi guru pertamanya, dan sejak kecil sudah terlihat bakat Tahirih dalam menulis serta kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan.
Meskipun hidup dalam masa ketika akses pendidikan bagi perempuan sangat terbatas, Tahirih mempelajari teologi, hukum Islam, sastra Persia, dan puisi. Ia bahkan mendapat izin untuk mendengarkan pelajaran ayahnya untuk murid laki-laki dari balik tirai sebuah langkah yang tidak lazim pada masa itu.
Pendidikan yang ia peroleh membuat Tahirih tumbuh menjadi perempuan cerdas dan berpikiran terbuka. Kecintaannya terhadap ilmu tidak hanya membentuknya sebagai sarjana agama, tetapi juga menjadikannya tokoh yang berani mengajarkan ajaran baru di tengah masyarakat yang sangat konservatif. Ketika masih muda, ia dijodohkan dengan sepupunya, Muhammad Baraghani, dan menikah pada usia 14 tahun. Dari pernikahan itu, ia mendapat karunia tiga anak. Namun, perbedaan pandangan tentang agama dan peran perempuan menimbulkan konflik dalam rumah tangganya.
Pada tahun 1840-an, Tahirih mulai berhubungan secara intelektual dengan pemimpin spiritual Shaykh Ahmad dan kemudian Sayyid Kazim Rashti. Melalui surat-menyurat yang intens, ia memperdalam pengetahuan teologi dan menjadi pengikut ajaran Bab (ajaran yang meyakini bahwa penciptaan manusia sama dan harus menerima perbedaan budaya dan ras sebagai sebuah kehormatan).
Sebuah gerakan keagamaan yang menekankan kesetaraan manusia tanpa memandang ras dan budaya. Ajaran ini mendorongnya untuk aktif mengajar dan menyebarkan gagasan kesetaraan dalam berbagai kesempatan. Pandangan progresifnya membuat para ulama Persia merasa terancam, dan ia kerap menghadapi ancaman penjara serta tekanan agar kembali kepada keyakinan keluarganya.
Memperjuangkan Hak Perempuan
Tahirih terkenal karena keberaniannya menentang norma sosial yang mengekang perempuan. Dalam sebuah konferensi penting di Badast, ia berbicara terbuka di depan umum. Sebuah tindakan yang dianggap kontroversial pada masa itu. Keberaniannya ini membuatnya ditangkap dan dijatuhi tahanan rumah di Teheran. Namun, tekadnya untuk memperjuangkan kesetaraan tidak pernah surut.
Pada usia 27 tahun, Tahirih menjadi salah satu pengikut paling berpengaruh dari ajaran Babisme. Ia mengajarkan prinsip kesetaraan manusia, martabat universal, dan pentingnya menerima keberagaman sebagai kehormatan. Di tengah tekanan sosial dan politik, ia tetap konsisten menyebarkan gagasan tersebut. Keteguhannya pada keyakinan akhirnya membawa konsekuensi tragis: pada pertengahan 1852, Tahirih dieksekusi karena menolak meninggalkan ajaran yang diyakininya. Sejak saat itu, ia mendapat julukan sebagai “perempuan pertama yang menjadi martir dalam perjuangan hak-hak perempuan” dan menjadi simbol keberanian dalam literatur Baha’i.
Kecerdasannya, kecantikannya yang memesona, serta semangatnya untuk terus belajar membuat Tahirih dihormati bahkan oleh sejarawan modern. Julukan “wajah seperti bulan purnama” sering tersemat padanya, menunjukkan pesona luar biasa yang ia miliki. Meski hidup di masa ketika suara perempuan nyaris tidak terdengar, Tahirih membuktikan bahwa ilmu, keberanian, dan keyakinan dapat menembus batas tradisi.
Warisan intelektual dan spiritualnya tetap hidup hingga kini, menjadi inspirasi bagi perjuangan kesetaraan dan hak-hak perempuan di seluruh dunia. Tahirih tidak hanya terkenang sebagai penyair dan cendekiawan, tetapi juga sebagai simbol perjuangan tanpa kompromi demi keadilan, kebebasan berpikir, dan kemanusiaan.
Rekomendasi
