BincangMuslimah.Com – Pada hakikatnya, setiap manusia adalah pembelajar sebagaimana sabda Nabi Muhammad bahwa wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu. Jika melihat kehidupan di masa Rasulullah, bukan hanya laki-laki yang memiliki semangat belajar, tapi juga sahabat perempuan.
Itu artinya, Islam memberi peluang dan kesempatan yang sama bagi umatnya dalam mencari ilmu. Sebagaimana Rasulullah, dalam hal belajar beliau tidak membeda-bedakan jenis kelamin yang ingin menggali ilmu darinya. Maka siapa saja yang saat ini masih berpikiran bahwa perempuan tidak harus, atau menghalangi, serta melarangnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, itu tidak sesuai dengan tindak lampah Nabi Muhammad.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitabnya, ia menulis satu bab khusus tentang semangat belajar perempuan 14 abad yang lalu, yang ia beri judul, “Akankah ada waktu belajar khusus bagi perempuan bersama Rasulullah.” (Shahih al-Bukhari h. 37)
Salah satu pembahasan tersebut ia mengutip riwayat Abu Sa’id al-Khudri, yang mengatakan bahwa para sahabat perempuan mengadu kepada Nabi Saw. karena kalah dari kaum muslim laki-laki yang lebih banyak mendapat kuliah dari beliau dan meminta untuk meluangkan hari untuk mengajari mereka. Nabi pun menyanggupi dan menentukan satu hari khusus untuk mengajari mereka.
Di pertemuan pertama, Rasulullah memberi nasehat dan memerintahkan mereka agar bersedekah, kemudian beliau bersabda, “Setiap perempuan yang banting tulang menafkahi tiga anaknya, pasti amalnya akan menjadi tirai penghalang dari api neraka.” Lalu, Ummu Sulaim bertanya, “Bagaimana kalau dua?” Rasulullah menjawab, “Iya, dua anak juga demikian”.
Dari hadist di atas, dapat dilihat jelas semangat para muslimah di masa Rasulullah dalam menuntut ilmu. Mereka tidak mau kalah dengan laki-laki yang punya banyak kesempatan mengaji kepada Nabi. Hal ini menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama sebagaimana laki-laki dalam pendidikan.
Anjuran Nabi tentang kewajiban menuntut ilmu itu tanpa pandang bulu dan tak terbatas tempat dan waktu. Dengan demikian (meskipun tulisan ini berbicara dari sudut pandang perempuan), baik laki-laki dan perempuan seharusnya menyambut seruan Nabi untuk semangat dalam thalabul ‘ilmi seperti para sahabat muslimah di zaman Rasulullah.
Menghilangkan rasa kurang percaya diri dalam belajar juga sangat penting, karena itu merupakan tindakan yang merugikan. Bahkan sejatinya bertindak berani dalam belajar dan menuntut ilmu adalah perbuatan terpuji. Sebagaimana Sayyidah Aisyah pernah menegur muridnya seorang laki-laki yang belajar kepadanya, yaitu sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Ia berkata kepada Ummu al-Mukminin tersebut, sebenarnya ia ingin bertanya kepadanya tentang sesuatu, namun merasa malu. Kemudian, Siti Aisyah meresponsnya. “Tanyakan saja, tidak perlu malu. Saya ini ibumu.”
Islam memang menempatkan perasaan malu sebagai bagian dari keimanan. Namun bagi seorang pembelajar memiliki rasa malu justru malah tidak dianjurkan, terutama saat bertanya tentang ilmu. Kita bisa berkaca kepada semangatnya sahabat perempuan di masa Rasulullah dalam belajar. Itu dikarenakan pula, Nabi Saw. sangat merestui perempuan dan mendorong mereka untuk berpengetahuan serta berpendidikan tinggi, sehingga siapa saja yang menutup akses belajar untuk perempuan, hal itu tidak sesuai ajaran Rasulullah.[]