BincangMuslimah.Com- Kekuasaan sering kali identik dengan kemewahan, istana, dan jarak yang jauh dari rakyat biasa. Tapi tidak bagi Sayyidina Umar bin Khattab. Sosok khalifah kedua dalam sejarah Islam ini justru menunjukkan bahwa kekuasaan bisa menjadi jalan untuk membela yang lemah dan memastikan tidak ada satu pun rakyat yang terabaikan.
Berpatroli Malam Hari untuk Memastikan Rakyatnya Tidur Kenyang
Terkenal dengan keteguhan prinsip, ketegasan, keadilan dan keberanian sebagai pemimpin, Sayyidina Umar dianggap menjadi pemimpin ideal kaum Muslim. Kisah hidupnya begitu penuh makna dan disegani serta dihargai oleh rakyat kala itu karena sikapnya yang sangat berani menegakkan kebenaran dan hak-hak rakyat.
Kisah-kisah khalifah berjuluk Al-Faruq ini bukan hanya potongan sejarah, tapi juga hikayat yang sarat hikmah. Bayangkan, seorang pemimpin tertinggi sebuah kekhalifahan besar, justru seringkali berkeliling malam-malam hanya untuk memastikan rakyatnya tidur kenyang.
Ada satu kisah populer, tentang beliau yang berpatroli di tengah malam yang ditemani oleh Zaid bin Aslam. Mereka berdua mengelilingi kota Madinah dan sekitarnya. Hingga mendapati seorang ibu dengan anak-anaknya yang sedang menangis. Wanita itu sedang memasak sesuatu di panci sambil menyumpahi Sayyidina Umar, “Wahai Tuhanku, berilah balasan terhadap Umar. Ia telah berbuat dzalim. Enak saja, kami rakyatnya kelaparan sementara dia hidup serba kecukupan”.
Mendengar ucapan wanita itu, beliaupun menghampirinya dan mengucap salam. “Bolehkah aku masuk?” kata beliau dengan lembut. “Silahkan”, kata si ibu. ia tidak tahu bahwa lelaki yang menghampirinya adalah sang khalifah. Sayyidina Umar menanyakan tentang kondisi mereka.
“Kami datang dari jauh dan kami kelaparan. Aku tidak punya apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa”, terang ibu tersebut dengan nada sendu. “Lalu apa yang kau masak di panci ini?”. ”Itu hanya air dan batu. Agar anak-anak mengira aku sedang memasak makanan, dan dengan begitu mereka akan terhibur”.
Mendengar semua itu, beliau sangat malu, sedih dan tentu merasa sangat berdosa. Beliaupun pamit dan menuju Baitul mal. Tanpa banyak bicara, beliau langsung mengangkat sendiri karung berisi gandum untuk keluarga tersebut.
Saat Zaid menawarkan bantuan, beliau menjawab, “Apakah kau akan menanggung dosaku di hari kiamat? Biarkan aku saja yang membawanya”. Sesampainya di rumah wanita itu, beliau memberikan sembako itu dan bahkan memasakkannya juga untuk mereka. (‘Abda Ali Manha, Tharaiful Khulafa wal Mulk, 2017:16).
Membelas yang Lemah Adalah Tugas Utama Pemimpin
Itulah Sayyidina Umar. Beliau tidak menjadikan jabatan sebagai simbol kehormatan, tapi sebagai beban tanggung jawab yang berat. Bagi beliau, kemaslahatan rakyat bukan teori semata, tapi aksi nyata. Pemimpi menurut beliau adalah orang pertama yang merasakan ketika negara kesulitan, dan orang terakhir yang merasakan ketika negara makmur.
Banyak pemimpin zaman sekarang yang mungkin bisa belajar dari Khalifah Umar bin Khattab. Bukan soal cara berpakaian atau gaya hidup sederhana semata, tapi soal visi kepemimpinan yang membumi. Beliau tidak memimpin dari balik meja, beliau memimpin dari jalanan, dari masjid, dari rumah-rumah rakyat biasa yang bahkan tidak tahu bahwa lelaki yang datang malam itu adalah pemimpin mereka.
Dari kisah-kisah Umar, kita belajar bahwa membela yang lemah bukan tugas tambahan seorang pemimpin. Itu adalah inti dari kepemimpinan. Umar bin Khattab percaya bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak. Dan ketika kekuasaan dijalankan dengan penuh kejujuran dan ketulusan, maka yang terjadi bukan hanya sekedar keadilan, tapi juga kesejahteraan.
Hikayat Khalifah Umar bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk diteladani. Di tengah dunia yang semakin individualis dan banyak pemimpin yang lebih sibuk memoles citra dari pada menyapa realita, kisah Umar bin Khattab jadi oase. Beliau menunjukkan bahwa seorang pemimpin bisa kuat, tegas, tapi tetap lembut dan penuh empati kepada rakyat.
Di mata beliau, tidak ada rakyat kecil, yang ada hanya pemimpin yang kurang peka. Dan dalam sistem kepemimpinan yang ideal, seperti yang ditunjukkan Sayyidina Umar, pemimpin bukan dilayani, tapi melayani.
Kisah tanggung jawab Khalifah Umar ini menjadi tamparan keras bagi sebagian pemimpin negeri ini yang kadang mengabaikan kepentingan rakyat, sementara kebutuhan pribadi menjadi prioritasnya. apakah dia pernah berpikir di akhirat kelak, bagaimana nanti saat dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt?
Rekomendasi
