BincangMuslimah.Com – Tahun 2016 seorang anak laki-laki dari ulama terkemuka di Indonesia yang belum berusia 19 tahun menikah dengan seorang mualaf. Pada awalnya mereka mendaftar di KUA tapi ditolak, karena usia mempelai laki-laki baru 17 tahun sehingga harus mengajukan permohonan dispensasi kawin ke pengadilan agama. Lalu apa sebenarnya dispensasi kawin ini?
Batas usia perkawinan sudah jelas diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Untuk laki-laki dan perempuan keduanya sama, yakni 19 tahun. Berkat adanya putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 yang menaikan batas usia perkawinan bagi perempuan, yang kemudian dituangkan dalam UU No. 16 Tahun 2019. Namun, memang secara legal masih ada upaya yang bisa ditempuh jika, yaitu melalui mekanisme dispensasi kawin.
Dalam UU Perkawinan, dispensasi kawin merupakan upaya legal yang bisa dilakukan agar pernikahan anak tetap bisa dicatatkan. Secara definisi dispensasi kawin adalah pemberian izin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Melalui dispensasi kawin maka orangtua calon pengantin harus meminta permohonan ke pengadilan. Bagi yang beragama Islam maka bisa mengajukan ke pengadilan agama, sedangkan untuk agama lainnya bisa mengajukan ke pengadilan negeri.
Pada prinsipnya dispensasi ini diberikan karena memang adanya keadaan yang mendesak sehingga terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Selain melengkapi persyaratan, orangtua juga harus membayar biaya perkara. Meskipun terdapat peningkatan angka permohonan dispensasi kawin tahun 2020 sebanyak 35.441 perkara (Badan Peradilan Agama), angka ini hanya mencerminkan orangtua yang mampu untuk membayar biaya perkara. Berarti masih banyak kemungkinan perkawinan yang dilakukan oleh anak tetapi tidak dicatatkan karena tidak adanya biaya.
Beruntungnya, setelah adanya putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 yang menaikan batas usia perkawinan bagi perempuan, yang kemudian dituangkan dalam UU No. 16 Tahun 2019. Melahirkan pula Peraturan Mahkamah Agung Nomor (Perma No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Di dalam PERMA No. 5 Tahun 2019, badan peradilan berperan sebagai benteng penjaga dan pintu terakhir bagi pencegahan perkawinan anak dengan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan atas pendapat anak, non-diskriminasi, kesetaraan gender dan persamaan di depan hukum dalam penyelesaian perkara dispensasi kawin.
Dalam Perma No. 5 Tahun 2019 ini dimungkinkan adanya pembebasan biaya perkara bagi orangtua yang tidak mampu. Sebelum adanya Perma ini, dalam memutus perkara dispensasi kawin tidak ada pedoman yang seragam bagi hakim, artinya tidak acuan yang pasti bagi hakim sehingga setiap putusan yang dihasilkan akan sangat berbeda. Persidangan juga tidak mendengarkan keterangan dari anak sebagai calon pengantin. Kehadiran anak yang akan menikah tidak menjadi pertimbangan kuat hakim dalam menetapkan permohonan.
Tidak ada pedoman yang seragam bagi hakim dalam memutus perkara ini menjadikan luputnya pertanyaan seperti, apakah benar kamu ingin menikah? apakah ada paksaan dalam pernikahan ini? Hakim juga harus menjelaskan terkait konsekuensi atas sebuah pernikahan. Bahaya keadaan organ reproduksi yang belum siap, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kerentanan pernikahan anak lainnya. Sehingga dispensasi sebagai benteng terakhir untuk perkawinan anak tidaklah efektif untuk mencegah dan menekan angka perkawinan anak di Indonesia.
Sebagai benteng terakhir perkawinan anak, aturan yang ada saat ini sudah jauh lebih baik karena mementingkan dari sudut pandang anak sendiri. Pada hari sidang pertama, anak yang dimintakan permohonan dispensasi kawin haruslah hadir. Jika anak yang dimohonkan dispensasi tidak hadir maka hakim akan menunda sidang dan memanggilnya kembali secara sah. Dan jika sampai sidang kedua anak yang dimohonkan juga tidak hadir maka permohonan dispensasi dinyatakan gugur.
Kehadiran anak yang dimohonkan dispensasi kawin sangatlah penting untuk didengar keterangannya oleh hakim, sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan penetapan. Hakim harus memeriksa dan mengidentifikasi bahwa benar jika anak yang dimohonkan dispensasi mengetahui rencana perkawinan. Bagaimana kondisi psikologis, kesehatan dan kesiapan anak untuk melakukan perkawinan. Apakah ada paksaan fisik, psikis, seksual, maupun secara ekonomi pada anak/keluarga dalam rencana perkawinan tersebut.
Hakim harus bisa menggali latar belakang dan alasan perkawinan anak. Menelaah informasi terkait persetujuan anak untuk menikah. Mendengarkan pemohon atau orangtua anak dan yang terpenting adalah mempertimbangkan kondisi psikologis, sosiologis, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi anak dan orangtua dari rekomendasi berbagai pihak.
Hakim bisa meminta rekomendasi dari bidan, dokter, psikolog, pekerja sosial, pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak (P2TP2A), komisi perlindungan anak (KPAI). Dalam memberikan keterangan di pengadilan, anak juga boleh mendapatkan pendamping. Disediakan juru bahasa isyarat ataupun penerjemah jika dibutuhkan.
Perkawinan anak di Indonesia masih banyak terjadi, masih banyak upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk menekan terjadinya perkawinan anak. Selain merevisi peraturan, penting juga memberikan edukasi dan sosialisasi pada masyarakat akan bahaya perkawinan anak, seks diluar nikah, dan perkawinan yang tidak dicatatkan. sehingga lingkaran kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, serta kematian ibu dan bayi karena perkawinan anak dapat berkurang.