Setiap masa, dunia selalu melahirkan perempuan hebat dengan peranannya masing-masing.
BincangMuslimah.Com – Baik dahulu dan sekarang, selalu ada perempuan hebat pada zamannya. Pergerakan perempuan terus bertumbuh dan berkembang. Literasi terus meningkat dan pemahaman akan hak mulai menguar. Sadar bahwa diskriminasi dan stigma yang merugikan bagi kemajuan setiap perempuan harus diberantas. Fenomena pergerakan perempuan tidak hanya di dunia barat yang terkenal dengan kemajuan yang pesat. Kesadaran perempuan untuk bangkit dan mengambil peran turut membanjiri tanah air, Indonesia.
Beberapa tokoh perempuan yang mempunyai peran penting mungkin sudah khatam terdengar oleh para pembaca. Najwa Shihab misalnya. Putri dari ulama besar Qurasih Shihab yang melegenda itu mengharumkan namanya bukan berkat ayahnya, namun lewat peran yang ia ambil sedari awal. Yaitu sebagai seorang jurnalistik yang memegang prinsip pada kebebasan untuk berbicara lantang soal kebenaran.
Ia mengawali karirnya sebagai seorang jurnalis di sebuah televisi swasta. Liputan yang membuatnya namanya mencuat pertama kali adalah saat peliputan bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004. Kegigihan dan ideologi yang masih tetap ia pegang membawa Najwa konsisten untuk berkiprah di dalam media hingga sekarang.
Jika tertarik dengan pergerakan perempuan sekarang ini, pasti nama Kalis Mardiasih tidaklah asing bagi kita. Seorang penulis dan aktivis muda dari Nahdlatul Ulama kental. Ia aktif di dalam organisasi Gusdurian dan mengecam orang-orang yang menyebarkan ujaran kebencian. Selain itu Kalis juga sebagai tokoh perempuan yang konsen terhadap isu gender lewat perspektif Islam. Hasil pemikirannya itu lalu dituangkan dalam bentuk tulisan dan disebarluaskan kepada khalayak.
Dua nama di atas adalah segelintir dari banyaknya perempuan yang memutuskan untuk mengambil peran. Selain mengambil peran, mereka turut mengajak perempuan lainnya untuk mengambil keputusan yang sama. Tentunya lewat jalan yang nantinya dipilih oleh masing-masing pribadi.
Tapi benarkah pergerakan perempuan dan keinginan untuk mendapatkan hak yang sama baru muncul dalam satu abad sekarang ini saja? Apakah perempuan dahulu pada abad pertengahan benar-benar berada di dalam kegelapan tanpa lentera ilmu pengetahuan? Terinjak dan terus menjadi sasaran sebagai objek setiap harinya? Nyatanya hal ini tidak sepenuhnya benar.
Siapa bilang suara perempuan terdahulu tidak diperhitungkan dan langkah dibatasi? Faktanya pergerakan itu sudah ada walau dalam keterbatasan. Di awal masuknya Islam saja misalnya, perempuan telah aktif terlibat dalam permasalahan sosial dan kehidupan umat. Aisyah binti Abu Bakar, biasa menjadi tempat umat untuk mempertimbangkan setelah Rasulullah wafat.
Ia turut terlibat membahas permasalahan yang muncul dari tradisi dan lainnya. Aisyah yang selalu mendampingi Rasulullah menjadi satu-satunya perawi hadist perempuan dan berada di posisi keempat sebagai orang yang meriwayatkan hadist. Posisi itu diambil setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar dan Anas bin Malik.
Masih di zaman Nabi Muhammad, ada Ummu Atiyah yang turut ikut dalam sejumlah peperangan sekaligus merawat orang-orang yang terluka. Di dalam buku Annemarie Schimmel yang berjudul My Soul is Woman: Aspek Feminim dalam Spritual Islam, di tanah India, seorang penguasa Delhi kelahiran Turki telah mengukuhkan puterinya Razia sebagai pemimpin di tahun 1236. Selain perempuan juga telah mengambil peranan penting dalam ilmu tasawuf. Rabi’ah Al-Adawiyah asal Basrah menjadi titik awal munculnya gerakan tasawuf dengan mazhab kecintaan kepada Sang Pencipta.
Di Indonesia sendiri pun sama. Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika. Namanya termasyhur dan harum sepanjang masa. Awal terbukanya pendidikan bagi perempuan di bumu pertiwi. Tidak perlu diperpanjang pun, semua orang sudah tahu bagaimana kisahnya.
Ada lagi perempuan yang menjadi pelopor kedaerahan yaitu Siti Manggopoh. Meski namanya tak melegenda Raden Ajeng Kartini, Siti Manggopoh akan selalu melekat di dalam sanubari masyarakat Sumatera Barat. Ia merupakan legenda bagi masyarakat Minangkabau. Seorang ibu dari dua anak sekaligus pejuang perintis kemerdekaan Indonesia asal Sumatera Barat. Dalam satu malam, dari 55 tentara yang berjaga 53 di antaranya tewas di tangan Siti Manggopoh.
Jika masyarakat daerah sampai saat ini masih berpikir jika perempuan hanya punya kewajiban untuk menguasai ranah domestik saja. Faktanya adat Minangkabau sendiri memegang erat tradisi mangaji, bapasambahan dan ilmu bela diri. Bapasambahan merupakan salah satu sastra klasik yang dibawakan dalam bentuk pantun.
Tiga tradisi inilah yang membentuk kharakter Siti Manggopoh menjadi pejuang dalam perebutan kemerdekaan dari penjajah. Nyatalah sudah sedari dahulu perempuan Sumatera Barat tidak pernah membatasi diri untuk mengeksplor diri ke arah kemajuan dan pergerakan.
Karena belajar dan meraup ilmu pengetahuan sebanyak mungkin merupakan kewajiban bagi setiap umat tanpa kecuali. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Pelarangan perempuan untuk tidak berkelana di bumi Allah, membatasi hak dan memerintahkan untuk berdiam di rumah menjadi sesuatu yang tidak berdasar. Karena pada dasarnya, saat Islam turun ke muka bumi hak perempuan dikembalikan dan stigma negatif pun dipatahkan.
Namun memang tidak dapat menafikkan bahwa dibandingkan saat ini, masa dahulu jauh lebih sulit. Izin bepergian, mengambil peran dan hak mendapatkan kesempatan yang sama tentu lebih terbuka lebar. Semua ini adalah upaya keras yang dipelopori oleh perempuan-perempuan terdahulu. Karenanya, kita mempunyai andil untuk melanjutkan perjuangan mereka dimulai dari diri sendiri, tentunya.