BincangMuslimah.Com – Dalam dunia pesantren, kita disuguhi oleh berbagai macam ilmu di bidang agama. Seperti ushuluddin, tasawuf, hadits, hingga tafsir Alquran. Biasanya, ilmu-ilmu tersebut tertulis dalam bentuk literatur kitab klasik dengan menggunakan tatanan bahasa Arab. Nah, untuk dapat memahami makna serta tatanan konsep gramatikal bahasa Arab yang digunakan dalam semua ilmu tersebut para santri perlu terlebih dahulu untuk mempelajari ilmu alat, yakni Nahwu dan Sharaf. Untuk itulah, belajar ilmu gramatikal Arab menjadi sangat penting untuk memahami ilmu agama.
Pada awalnya, bahasa Arab terdahulu belum mengenal titik maupun harakat. Hal ini sangat menyulitkan, terutama bagi kaum Arab sendiri. Seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai menambahkan titik. Sehingga huruf hijaiyah bisa dibedakan secara visual. Namun untuk sebagian golongan tetap kesulitan membacanya. Apakah harus dibaca fathah, kasrah, atau dhommah. Dari sinilah ilmu Nahwu dan Shorof berperan.
Ilmu Nahwu sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang kalimat-kalimat bahasa Arab dari sisi i’rab (perubahan akhir kalimat) dan bina’-nya (perubahan bentuk kata). Sederhananya, dengan ilmu Nahwu kita dapat mengetahui bagaimana membunyikan bagian akhir dari suatu kalimat. Namun perlu diketahui di sini, bahwa kalimat dalam logika bahasa Arab berbeda dengan kalimat dalam logika bahasa Indonesia. Dalam logika bahasa Arab, kalimat tersusun dari beberapa huruf. Seperti قَلَمٌ, kalimat ini tersusun dari 3 huruf hijaiyah, yakni ل,ق dan م. Sedangkan dalam logika bahasa Indonesia, kalimat tersusun dari beberapa kata yang memiliki pengertian lengkap. Seperti ‘ibu memasak di dapur’, kalimat ini tersusun dari beberapa kata dan mengandung SPOK.
Dalam mempelajari Nahwu, penting untuk memahami konsep-konsep dasar seperti isim (nama atau sifat), fi’il (pekerjaan), harf (kata sambung), dan kalimat. Barulah kita dapat memahami bagaimana huruf akhir dari kalimat itu harus dibaca. Seperti contoh dalam lafaz اَلْحَمْدُ لِلهِ. Mengapa huruf dal pada lafal الحمد dibaca dhommah, bukan fathah ataupun kasrah? Karena kalimat الحمد disini berperan sebagai mubtada’, hukum mubtada’ ialah dibaca rafa’ yang identik dengan harakat dhommah.
Begitu banyak kitab-kitab klasik karya para ulama yang mengkaji tentang ilmu yang digagas oleh Abul Aswad Ad-Du’aliy ini. Di antaranya ialah kitab Al-Ajurumiyah karya Syaikh Muhammad Sonhaji, Nadhom ‘Imrithi karya Syaikh Yahya Syarifuddin Al-‘Imrithi, Nadhom Alfiyah Ibnu Malik karya Syekh Muhammad Jamaluddin ibnu Malik, dan masih banyak lagi.
Jika ilmu Nahwu hanya membahas harakat akhir dari suatu kalimat, lalu bagaimana kita membaca huruf awal dan pertengahan suatu kalimat? Nah, disinilah ilmu Shorof berperan.
Ilmu Sharaf sendiri merupakan ilmu yang membahas tentang perubahan bentuk suatu kalimat sesuai dengan kondisi-kondisinya. Karena setiap kalimat dalam bahasa Arab memiliki bentuk atau pola. Seperti contoh pada lafadz نَصَرَ- يَنْصُرُ yang mengikuti bentuk فَعَلَ- يَفْعُلُ. Lafadz tersebut juga bisa diikutkan bentuk فَاعَلَ- يُفَاعِلُ, menjadi نَاصَرَ- يُنَاصِرُ. Dengan memahami bentuk suatu kalimat, kita bisa mengetahui bagaimana cara membaca kalimat lain yang memiliki bentuk dan pola yang sama. Bentuk kalimat di sini dinamakan wazan. Melalui ilmu Sharaf kita juga dapat mengetahui asal atau bentuk asli suatu kalimat.
Ilmu Sharaf sendiri digagas oleh seorang ulama’ bernama Mu’adz bin Muslim Al-Harra. Kitab-kitab yang membahas ilmu Sharaf diantaranya kitab Amtsilah At-Tashrifiyah karya Syekh Muhammad Ma’shum bin Ali, Nadhom Al-Maqsud karya Syekh Ahmad bin Abdurrahim Al-Thanthawi, dan masih banyak lagi.
Nahwu dan Sharaf sebagai ilmu gramatikal Arab memiliki peran yang signifikan dalam memahami ilmu agama. Sehingga muncul istilah Nahwu sebagai bapak dan Sharaf sebagai ibunya. Maksudnya, ilmu Nahwu berperan untuk mengarahkan bagaimana huruf akhir suatu kalimat harus dibunyikan. Sebagaimana seorang bapak yang meluruskan kesalahan dan mengarahkan anaknya ke prilaku yang benar. Sedangkan ilmu Sharaf berperan untuk melahirkan berbagai macam kosa kata sesuai polanya masing-masing. Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan anak-anaknya dengan berbagai macam latar belakang.
Dalam pengaplikasian ilmu Nahwu dan Sharaf, terdapat dua metode pembelajaran di pesantren, yaitu metode sorogan dan bandongan. Kedua metode ini memiliki konsep dasar yang sama, yakni sistem pembelajaran yang diikuti oleh guru dan murid, dan menggunakan kitab klasik sebagai objek pembelajaran dengan memberi makna pegon pada satu-persatu kalimatnya sesuai dengan kaidah-kaidah Nahwu Sharaf.
Namun bedanya, pada sistem bandongan dibacakan oleh kyai atau ustadz di hadapan para santri sedangkan para santrinya menyimak dan menulis makna dan penjelasannya. Berbeda dengan sistem sorogan yang mana lebih berfokus pada kemampuan santri dalam membaca dan memaknai kitab yang dikaji. Jadi dalam sistem ini para santri yang berperan untuk menyetorkan bacaan kitab yang dikaji kepada guru atau kyainya untuk mendapatkan bimbingan dan evaluasi secara individual.
Melalui sistem sorogan, para santri akan disuguhi berbagai macam pertanyaan dari pembimbingnya terkait bacaannya, mulai dari segi tatanan kaidah Nahwu Shorofnya hingga pemahamannya terkait pembahasan yang ia baca. Maka dari itu, diperlukan pemahaman yang mendalam terkait kaidah-kaidah Nahwu Sharaf. Penguasaan kosa kata bahasa Arab juga berperan penting. Bahkan salah satu cara seseorang bisa membedakan antara kalimat isim, fi’il ataupun harf jika ia mengetahui arti dari kalimat tersebut.
Dan satu hal lain yang perlu dimiliki oleh santri dalam membaca dan memahami kitab klasik ialah dzauq atau kehadiran hati (hudhur al-qalb). Seseorang akan bisa memahami maksud atau isi dari kitab adalah dengan adanya dzauq atau kepekaan terhadap apa yang dibaca. Terutama ketika ada dhamir atau kata ganti, kita harus mengetahui dengan pasti kemana dhamir itu merujuk. Terkadang ada orang yang masih bingung kemana dhamir tersebut merujuk. Sehingga ada Maqalah Al-Arab yang mengatakan:
اَلضَّمِيْرُ فِي الضَّمِيرِ وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ مَرْجِعَ الضَّمِيْرِ فَلَيْسَ لَهُ الضَّمِيْرِ
”Dhamir itu ada di dalam hati. Barangsiapa yang tidak mengetahui kembalinya dhamir, maka ia tidak memiliki hati”.
Karena itulah pentingnya memiliki dzauq terhadap apa yang dibaca. Sebab jika kita salah dalam memberi harakat saja ataupun dalam memberi rujukan terhadap dhamir, maka maknanya pun nanti akan berbeda.
Hal ini tak menghilangkan urgensi Nahwu Sharaf sebagai modal dalam mempelajari kitab klasik. Bahkan Syaikh Maimoen Zubair sendiri pernah dawuh “orang bisa alim itu karena ilmu Nahwu”. Ini menunjukkan betapa pentingnya Nahwu Sharaf sebagai ilmu gramatikal Arab dalam dunia literatur keislaman untuk memahami ilmu agama.
Wallahu a’lam..
1 Comment