BincangMuslimah.Com – Di dalam literatur fikih, wakaf didefinisikan sebagai bentuk menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan pemanfaatan yang diperbolehkan secara syariat di samping harta tersebut tetap utuh saat dimanfaatkan disertai dengan hilangnya status kepemilikan harta tersebut dari orang yang melakukan wakaf.
Dengan kata lain, ketika suatu harta diwakafkan untuk sesuatu misal mewakafkan uang 1 miliar untuk kemakmuran masjid, maka uang tersebut bukan lagi menjadi hak orang yang mewakafkan.
Sedangkan orang yang menerima dan mengelola harta tersebut (nazhir wakaf) semisal takmir masjid, hanya berstatus sebagai pengelola harta wakaf saja. Sedangkan pemanfaatannya tetap dikembalikan kepada kemakmuran masjid.
Lalu, bagaimana jika sewaktu-waktu ada yang ingin meminjam harta wakaf tersebut sebagai hutang untuk memenuhi kebutuhan pribadi yang tidak ada kaitan sama sekali dengan fungsi dari harta tersebut diwakafkan, apakah hal ini diperbolehkan secara syariat?
Berikut akan penulis paparkan beberapa ketentuan dalam meminjamkan harta wakaf kepada orang lain yang mesti diketahui, karena bagaimanapun, urusan pengelolaan harta seperti ini sangat urgen.
Imam Nawawi di dalam kitab Rauḍah al-Ṭālibīn wa ‘Umdah al-Muftīn juz. 5 hal. 349 menyebutkan,
لَيْسَ لِلْمُتَوَلِّي أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِ الْوَقْفِ شَيْئًا عَلَى أَنْ يَضْمَنَهُ، وَلَوْ فَعَلَ ضَمِنَ، وَلَا يَجُوزُ ضَمُّ الضَّمَانِ إِلَى مَالِ الْوَقْفِ، وَإِقْرَاضُ مَالِ الْوَقْفِ، حُكْمُهُ حُكْمُ إِقْرَاضِ مَالِ الصَّبِيِّ
Artinya: “Tidak boleh bagi orang yang mengurusi (wakaf) mengambil sedikitpun dari harta wakaf untuk dijadikan jaminan. Jika ia melakukan tersebut, maka harus ganti rugi. Dan tidak boleh pula menggabungkan harta jaminan kepada harta wakaf. Sedangkan menghutangkan harta wakaf, hukumnya sebagaimana menghutangkan harta anak kecil.”
Berdasarkan keterangan ini, hukum dari meminjamkan harta wakaf masih disebutkan secara implisit, sehingga kita masih harus merujuk tentang keterangan bagaimana hukum menghutangkan harta anak kecil. Keterangan ini salah satunya disebutkan Imam al-Rafi’i di dalam kitab Fath al-‘Azīz bi Syarh al-Wajīz juz. 10 hal. 293:
أنه ليس لغير القاضي اقراض مال الصبى إلا عند ضرورة نهب أو حريق وإذا أراد سفرا ويجوز للقاضى الإقراض وان لم يعرض شئ من ذلك لكثرة شغاله
Artinya: “Bahwasanya tidak boleh bagi selain qadhi untuk menghutangkan harta anak kecil kecuali ketika keadaan darurat karena ada perampok atau kebakaran dan jika ingin melakukan perjalanan. Sedangkan bagi qadhi boleh untuk menghutangkan anak kecil sekalipun sedang tidak menghadapi keadaan-keadaan darurat tersebut karena banyaknya kesibukan qadhi.”
Dengan demikian, wali hanya boleh menghutangkan harta anak kecil ketika ia melihat ada maslahat yang akan diterima atau mafsadat yang hendak ditolak ketika menghutangkan harta anak kecil tersebut.
Di dalam riwayat lain juga disebutkan sebagaimana yang termaktub di dalam kitab al-Fatāwa al-Fiqhiyyah al-Kubra juz. 3 hal. 265,
وسئل: هل للناظر إقراض غلة الوقف والاقتراض لعمارته؟ (فأجاب) بقوله لا يجوز له إقراض ذلك إلا إن غاب المستحقون وخشي تلف الغلة أو ضياعها فيقرضها لملء ثقة وله الاقتراض لعمارة الوقف بإذن الحاكم
Artinya: “Dan pernah ditanyakan: apakah boleh bagi pengelola harta wakaf untuk menghutangkan hasil wakaf dan berhutang untuk kemakmuran wakaf? Lalu dijawab: pengelola wakaf tidak boleh menghutangkan harta wakaf kecuali jika orang-orang yang berhak terhadap harta tersebut sedang tidak ada, dan ia khawatir hasil dari harta tersebut akan rusak atau hilang. Sehingga ia menghutangkan harta wakaf untuk mengisi keyakinan. Dan ia boleh berhutang untuk memakmurkan wakaf dengan adanya izin hakim.”
Berdasarkan beberapa keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa pada asalnya hukum meminjamkan harta wakaf kepada orang lain adalah tidak boleh. Namun, ketika menghutangkan harta tersebut dapat menolak mafsadat yang akan timbul pada harta tersebut atau menarik maslahat untuk harta wakaf maka menghutangkan harta wakaf menjadi diperbolehkan.