BincangMuslimah.Com – Seperti sudah lazim, pro kontra “Hukum Mengucapkan Selamat Natal” selalu hangat dibicarakan di seluruh lapisan masyarakat, terutama di Indonesia yang notabene merupakan negara dengan keberagaman suku, ras dan agama yang saling beriringan. Dalam hal ini, sudah banyak dibahas bahwa terdapat perbedaan di kalangan ulama. Pluralitas di Indonesia adalah kekayaan yang harus dijaga, salah satunya dipupuk dengan rasa toleransi. Rasa toleransi yang sudah tertanam kemudian akan memunculkan rasa peduli dan ingin berbagi terhadap sesama terlebih berbagi kebahagiaan, satu di antaranya berbagi di hari perayaan.
Selain pembahasan perihal ucapan natal, perdebatan kembali merambah pada polemik perihal hukum menerima hadiah atau bingkisan natal bagi orang muslim. Pendapat yang melarang hal tersebut salah satunya datang dari ulama Saudi Lajnah fatwa Daimah, yang mengeluarkan fatwa berisi larangan bagi seorang muslim memakan makanan yang dibuat oleh orang Yahudi dan Nasrani atau orang musyrik yang berhubungan dengan hari raya mereka. Begitu pula seorang muslim tidak boleh menerima hadiah yang berhubungan dengan perayaan tersebut karena menerimanya termasuk bentuk memuliakan dan menolong dalam menyebarluaskan syiar agama mereka.
Berbeda dengan itu, ulama’ kontemporer Syekh Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya, Fatwa-fatwa Kontemporer sebelumnya telah mengidentifikasikan masalah mengucapkan selamat natal adalah sebagai bentuk sosial terhadap umat non-muslim (Kristen) dan bukan sebagai bentuk pengakuan atas keyakinan mereka. Beliau juga mengatakan tidak ada larangan menerima hadiah-hadiah dari non-muslim dengan syarat hadiah tersebut bukan benda yang dilarang oleh syariat islam seperti khamr atau daging babi. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 8,
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ.
“Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Kemudian dikatakan pula dalam riwayat Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menerima hadiah dari orang kafir :
أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ وَكَسَاهُ بُرْدًا وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ
“Raja negeri Ailah menghadiahkan seekor keledai putih kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi beliau pakaian burdah (pakaian yang berfungsi juga sebagai selimut) dan beliau menulis surat untuknya di negeri mereka.” (HR. Bukhari no. 1387)
Begitu pula pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Iqtidha As-shirat Al-mustaqim hal 544-545 setelah menukil beberapa riwayat bahwa hari raya orang kafir tidak menjadi pengaruh larangan menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima hadiah saat hari raya mereka atau hari biasa, sama bolehnya. Karena menerima hadiah tidak ada unsur menolong kemungkaran atau syiar mereka.
Bisa kita tarik kesimpulan dari beberapa perbedaan pendapat bahwa menerima hadiah atau bingkisan natal dari non muslim dibolehkan dengan beberapa syarat:
Pertama, hadiah tersebut bukan barang yang diharamkan dalam syariat Islam seperti daging babi, alkohol, dan lain-lain.
Kedua, tujuan penerimaannya semata untuk menghargai, membangun aktivitas sosial yang baik, peduli dan simpati, bukan mendukung dan meyakini syiar mereka.
Namun, bagi muslim yang ragu dengan hal ini, maka boleh saja untuk mengambil tindakan wara’ (berhati-hati) dengan tidak menerimanya asalkan dengan kalimat penolakan yang santun dan mencoba memberikan pemahaman yang baik, hingga tidak menyakiti dan menyinggung perasaan yang bersangkutan.
Karena dalam hidup beragama khususnya di Indonesia, tentunya kita juga menilik aspek sosial dan kemanusiaan. Hal ini pun juga sejalan dengan prinsip syariat islam yakni menjaga agama dan kemaslahatan umat. Inilah urgensi adanya “toleransi” dalam keberagaman agama. Oleh karena itu, perbedaan pendapat di antara ulama bukanlah sarana untuk adu argumen paling benar, namun sebagai salah satu ijtihad (usaha) agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan umat manusia terlebih untuk pedoman dan titik balik menuju kemaslahatan umat muslim di manapun berada.
2 Comments