BincangMuslimah.Com – Untuk memenuhi kebutuhan yang kian bertambah, manusia melakukan berbagai bentuk transaksi untuk mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan. Salah satunya dengan cara jual beli.
Proses jual beli terjadi antara penjual dan pembeli yang mentransaksikan suatu barang dengan harga yang telah disepakati. Akad jual beli ini diperbolehkan syariat ketika telah memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Di antara rukun dan syarat jual beli tersebut, memang tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang tempat melakukan transaksi jual beli. Lumrahnya, para penjual akan menjual barang dagangannya di tempat yang ramai agar dagangan yang mereka tawarkan bisa laris.
Namun, tak jarang tempat yang dipilih sebagai tempat berjualan tersebut adalah trotoar yang dibuat untuk para pejalan kaki atau jalan umum tempat kendaraan yang melintas. Lantas, apa hukum berjualan di trotoar atau jalan umum yang tentunya sangat berpotensi untuk mengganggu para pejalan kaki dan kendaraan yang melintas?
Di dalam kitab Nihāyah al-Muhtāj ila Syarh al-Minhāj juz. 5 hal. 342, Imam ar-Ramli memaparkan:
فَصْلٌ (مَنْفَعَةُ الشَّارِعِ) الْأَصْلِيَّةُ (الْمُرُور) فِيهِ لِأَنَّهُ وُضِعَ لِذَلِكَ، وَهَذَا عُلِمَ مِمَّا مَرَّ فِي الصُّلْحِ وَذَكَرَهُ تَوْطِئَةً لِمَا بَعْدَهُ. أَمَّا غَيْرُ الْأَصْلِيَّةِ فَأَشَارَ لَهُ بِقَوْلِهِ (وَيَجُوزُ الْجُلُوسُ بِهِ) وَلَوْ بِوَسَطِهِ (لِاسْتِرَاحَةٍ وَمُعَامَلَةٍ وَنَحْوِهِمَا) كَانْتِظَارِ
Artinya: “Fasal. Manfaat jalan pada asalnya adalah sebagai tempat melintas karena sesungguhnya jalan memang dibuat untuk dilintasi. Dan hal ini diketahui dari keterangan yang telah lalu di dalam pembahasan tentang suluh (akad perdamaian) dan disebutkan sebagai pengantar pada keterangan setelahnya. Sedangkan manfaat jalan yang selain asal (fungsi lain jalan) diisyaratkan dengan perkataan mushonnif, dan boleh duduk di jalan sekalipun di tengah jalan untuk beristirahat, melakukan transaksi dan seumpamanya seperti menunggu.
Berdasarkan keterangan ini, melakukan transaksi di jalan tidak menjadi problem. Sebagaimana keterangan yang disimpulkan di dalam buku ensiklopedi fikih kuwait / al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah juz. 28 hal. 347:
وَيَجُوزُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ الْجُلُوسُ فِي الطَّرِيقِ النَّافِذَةِ لِلْمُعَامَلَةِ كَالْبَيْعِ وَالصِّنَاعَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَإِنْ طَال عَهْدُهُ وَلَمْ يَأْذَنِ الإِمَامُ، كَمَا لَا يَحْتَاجُ فِي الإِحْيَاءِ إِلَى إِذْنِهِ، لاِتِّفَاقِ النَّاسِ عَلَيْهِ فِي جَمِيعِ الأَعْصَارِ
Artinya: “Dan boleh menurut mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah untuk duduk di jalan raya untuk melakukan transaksi seperti jual beli, membuat sesuatu dan seumpamanya. Sekalipun dalam jangka waktu yang lama dan tidak mendapat izin dari imam. Sebagaimana di dalam menghidupkan tanah yang mati yang tidak membutuhkan izin dari imam karena adanya kesepakatan manusia di seluruh masa”.
Dengan demikian, melakukan jual beli di jalan memang tidak dilarang dalam syariat Islam. Namun, dalam hidup bersosial dan berakhlak, tentu kita juga harus memperhatikan kenyamanan khalayak umum.
Sehingga, kebolehan ini sejatinya tidak bersifat mutlak. Karena, ketika kegiatan yang dilakukan di jalan tersebut mengganggu pihak lain, maka hukumnya adalah haram. Sebagaimana sebuah keterangan dalam salah satu kitab klasik,
ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى حُرْمَةِ التَّصَرُّفِ فِي الطَّرِيقِ النَّافِذَةِ وَيُعَبَّرُ عَنْهُ بِـ (الشَّارِعِ) بِمَا يَضُرُّ الْمَارَّةَ فِي مُرُورِهِمْ، لأَنَّ الْحَقَّ لِعَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ، فَلَيْسَ لأَحَدٍ أَنْ يُضَارَّهُمْ فِي حَقِّهِمْ
Artinya: “Para ahli fikih berpendapat terhadap haramnya melakukan kegiatan di jalan raya (yang diibaratkan dengan asy-syari’) dengan sesuatu yang membahayakan orang-orang yang melintas dalam perjalanan mereka. Karena hak terhadap jalan tersebut adalah hak umum bagi orang-orang muslim. Sehingga tidak boleh seorang pun yang mengganggu/membahayakan hak-hak mereka tersebut”.
Singkatnya, ketika jual beli yang berlangsung di jalan ini dapat mengganggu orang lain, maka tidak boleh dilakukan. Karena di antara hak kita ada hak orang lain yang harus dijaga. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
لا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh ada yang membahayakan diri sendiri dan tidak boleh ada yang membahayakan orang lain”.
2 Comments