BincangMuslimah.Com – Rasulullah saw. bersabda di dalam riwayat Imam Muslim bahwa sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Oleh sebab itu, maka umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram ini.
Namun, jika tidak mampu melakukan banyak puasa, maka dianjurkan untuk berpuasa di hari kesepuluh atau disebut dengan puasa Asyura di bulan Muharram. Puasa Asyura telah dilakukan oleh Rasulullah saw. sejak masa Jahiliyyah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat imam Al-Bukhari yang bersumber dari Sayyidah Aisyah r.a.
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ لَا يَصُومُهُ
Artinya: “Hari Asyura’ adalah hari puasanya orang-orang Quraisy masa Jahiliyyah, dan Rasulullah saw. pun (pada masa Jahiliyah itu) berpuasa Asyura’. Namun, ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah dan berpuasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa Asyura pula, maka turunlah ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan, lalu Rasulullah saw. mengatakan, siapa yang mau puasa Asyura’ silahkan, dan yang tidak pun silahkan.”
Dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw. sebelum hijrah ke Madinah telah mengikuti kebiasaan baik orang-orang Quraisy untuk melaksanakan puasa Asyura. Namun, setelah beliau hijrah ke Madinah, datang kewajiban puasa Ramadhan. Sehingga, para ulama menyimpulkan puasa Asyura berhukum sunnah.
Ketika Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, ternyata umat Yahudi juga melaksanakan puasa Asyura. Sebagaimana dikisahkan oleh sahabat Abdullah bin Abbas r.a.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Artinya: Bahwasanya Nabi saw. ketika tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa di hari Asyura’. Mereka berkata, “Ini adalah hari agung. Hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan pengikut Fir’aun. Maka Musa pun berpuasa pada hari ini sebagai tanda syukur kepada Allah swt.” Lalu, Nabi saw. bersabda, “Aku lebih layak menghormati Musa a.s. dari pada mereka (orang Yahudi).” Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa.” (H.R. Al-Bukhari)
Hanya saja, untuk membedakan dengan puasanya orang Yahudi, Rasulullah saw. di dalam riwayat lainnya memerintahkan untuk berpuasa di hari yang kesembilannya, atau disebut dengan puasa tasu’a. Atau dalam riwayat lain, beliau memerintahkan untuk berpuasa di hari sebelum atau sesudah puasa Asyura’. Dari Ibnu Abbas r.a., Rasulullah saw. bersabda,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
Artinya: “Berpuasalah di hari Asyura’ dan janganlah sama dengan orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (H.R. Ahmad).
Berdasarkan hadis tersebut, bagi yang tidak melakukan puasa Tasu’a, maka ulama Syafiiyyah menyunnahkan untuk berpuasa di hari kesebelas/sesudah Asyura. Bahkan imam Syafii di dalam kitab Al-Umm menyunnahkan untuk berpuasa tiga hari. Meski demikian, jumhur ulama memperbolehkan untuk hanya berpuasa di hari Asyura’ saja.
Adapun keutamaan puasa Asyura adalah dapat menghapus dosa (kecil) yang dilakukan satu tahun yang lalu. Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang puasa Asyura. Beliau bersabda,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Artinya: “Puasa Asyura’ akan menghapus dosa (kecil) satu tahun yang lalu.” (H.R. Muslim)