BincangMuslimah.Com- Tidak ada pernikahan yang bertujuan pada perceraian. Namun pada realitanya pernikahan tidak selalu berjalan mulus sehingga beberapa pernikahan berujung pada perpisahan. Di Indonesia sendiri, angka perceraian masih tergolong tinggi dan grafiknya meningkat pada 2024 lalu.
Berita perceraian di siaran televisi maupun media sosial-pun sangat sering kita jumpai. Masalahnya, di dalam perceraian seringkali terdapat korban dan sangat berpotensi memunculkan masalah baru. Anak yang broken home, masalah ekonomi pada perempuan, dan masalah mental setelah keluar dari hubungan pernikahan yang tidak sehat.
Perceraian seringkali terlihat dari ranah laki-laki, karena laki-laki memiliki wewenang menjatuhkan talak untuk memutus pernikahan. Lalu bagaimana Islam mengakomodir jika perempuanlah yang menghendaki perceraian?
Cerai Gugat dalam Islam
Putusnya pernikahan (perceraian) tidak hanya dapat terjadi karena ucapan talak dari laki-laki. Syariat Islam sejak dahulu kala telah memberikan ruang jika perempuanlah yang menghendaki perceraian.
Perceraian yang diajukan oleh perempuan sesuai syariat Islam disebut dengan khulu’ atau dalam istilah hukum di Indonesia dikenal dengan sebutan cerai gugat. Khulu’ atau al-khul’u artinya melepaskan atau menanggalkan. Artinya perempuan melepaskan ikatan pernikahan dengan kesediaannya membayar ganti rugi.
Pembahasan tentang khulu’ terdapat pada Qs. Al-Baqarah ayat 229 :
فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖۗ
“Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan batas-batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya”
Khulu’ biasanya diiringi dengan pengembalian mahar atau sebagian harta. Menurut Wahbah Zuhaili, berdasarkan pendapat ulama mazhab khulu’ menyebabkan hilangnya beberapa hak perempuan pasca perceraian.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi riwayat Bukhari tentang kisah istri Sabit ibn Qais yang mengadu kepada rasulullah. Setelah mengadu persoalan pernikahan, Rasulullah bertanya kesediaan istri Sabit mengembalikan kebun sawit milik Sabit, dan perempuan tersebut bersedia. Lalu Rasulullah memerintahkan Sabit mengambil kebun sawit dan menceraikan istrinya.
Cerai Gugat dalam Undang-Undang dan Hukum Positif
Indonesia adalah negara hukum. Proses pernikahan dan perceraian meskipun bisa terlaksana secara individu sesuai ajaran agama, tetapi hal tersebut tidak dibenarkan secara hukum sebagai warga negara Indonesia.
Proses perceraian di Indonesia ada 2 macam; cerai talak dan cerai gugat. Keduanya sama-sama mengajukan prosesnya di Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri setempat. Berdasarkan pasal 39 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, tanpa proses di pengadilan, perceraian tidak tercatat dan tidak sah di mata hukum.
Berdasarkan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan alasan terjadinya perceraian di antaranya adalah :
- salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, penjudi yang tidak dapat disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain lebih dari 2 tahun tanpa alasan yang dibenarkan.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih
- Salah satu pihak melakukan KDRT
- Salah satu pihak mengalami cacat, kemudian susah menjalankan kewajibannya
- Sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
- Suami melanggar taklik talak
- Salah satu pihak murtad
Sedangkan secara spesifik soal khulu’, pasal 148 KHI juga menegaskan bahwa perceraian karena khulu’ harus disertai persetujuan suami dan pengembalian mahar (atau bagian tertentu darinya) oleh istri.
Pada pasal ini juga menjelaskan bahwa pihak perempuan berhak mengajukan gugatan cerai beserta alasannya ke Pengadilan Agama, kemudian pihak pengadilan melakukan pemanggilan keduanya untuk meminta keterangan. Ada upaya mediasi juga untuk mengupayakan tidak terjadi perceraian. Jika tetap berlangsung proses perceraian, selanjutnya adalah penentuan kesepakatan iwadh (tebusan). Jika tidak bertemu kesepakatan tebusannya, maka hakim yang akan menentukan.
Akibat Hukum Cerai Gugat
Perceraian yang terjadi karena adanya talak dari suami terhadap istrinya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 41 (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada mantan istrinya.
Secara umum, pasca putusnya perkawinan, perempuan mendapatkan nafkah iddah, nafkah madhiyah (kekurangan nafkah selama pernikahan), nafkah mut’ah (penghibur setelah perceraian dan nafkah hadhanah (nafkah anak). Namun ada beberapa ketentuan; khususnya yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 149 KHI tidak secara tegas dan gamblang mengatur soal nafkah pasca cerai gugat, hanya tercantum nafkah pasca cerai talak. Ketentuan hak perempuan setelah cerai gugat terdapat pada poin 3 Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018 Hasil Pleno Kamar Agama. Istri dalam perkara cerai gugat dapat mendapat nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, dan hadhanah anak sepanjang tidak nusyuz.
Terkait harta bersama atau lazim disebut harta gono-gini, biasanya dibagi menjadi 2 bagian untuk suami dan istri. Namun hal-hal terkait nafkah ini bergantung kepada putusan hakim melihat pada kondisi kasus dan kemampuan masing-masing.
Perlu diketahui bahwa cerai gugat (khulu’) berbeda dengan cerai talak. Jika kemudian hari pasangan yang pernah cerai gugat menghendaki untuk rujuk, maka harus terjadi pernikahan ulang dengan mahar yang baru setelah istri selesai masa iddah. Adapun masa iddah khulu’ adalah sebanyak satu kali haid, seperti hal-nya fasakh.
Manajemen Konflik Untuk Menghindari Perceraian
Sebelum terjadi perselisihan dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian, sudah seharusnya setiap pasangan memahami terkait manajemen konflik. Agar tidak terjadi konflik, setiap pasangan harus menerapkan keterbukaan dalam komunikasi untuk meminimalisir adanya selisih paham. Selain itu perlu adanya rasa saling menghargai, saling mengingatkan, dan menghindari emosi sesaat.
Jika beberapa antisipasi di atas tidak membantu dalam menyelesaikan atau menghindari konflik rumah tangga, pasangan dapat melakukan konsultasi pernikahan pada pihak ketiga yang kompeten. Konsultasi ini bertujuan membantu pasangan untuk evaluasi diri, menyadari kesalahan dan memperbaikinya sehingga dapat menyelesaikan konfliknya di kemudian hari.

8 Comments