BincangMuslimah.Com – Fenomena suara perempuan yang baru didengar setelah sebuah kasus viral di media sosial, menyisakan pertanyaan mendasar tentang bagaimana masyarakat kita memperlakukan pengalaman perempuan. Ketika kasus kekerasan, pelecehan, atau diskriminasi menimpa perempuan, sering kali ceritanya tenggelam begitu saja.
Namun, begitu kisah tersebut menyebar luas di media sosial dan menuai perhatian publik, barulah aparat bergerak, media arus utama memberitakan, dan masyarakat ramai-ramai menunjukkan kepeduliannya. Seolah-olah suara perempuan hanya memiliki nilai ketika sudah menjadi konsumsi publik.
Situasi ini menunjukkan bahwa ruang aspirasi perempuan di tingkat lokal dan kelembagaan masih lemah. Kasus-kasus yang sebenarnya bisa ditangani sejak awal sering diabaikan karena dianggap sepele, tidak penting, atau bahkan dipertanyakan kebenarannya. Akibatnya, perempuan sering kali terpaksa menempuh jalur viral agar aspirasinya mendapat respon.
Kita bisa melihat misalnya kasus pemerkosaan di Karawang atau kasus kekerasan terhadap perempuan muda di Mataram. Keduanya baru mendapatkan perhatian serius setelah ramai di media sosial. Padahal, sejak awal, korban sudah berupaya mencari keadilan melalui jalur formal.
Masih Dipengaruhi Budaya Patriarki
Fenomena ini tidak bisa terlepas dari budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat kita. Patriarki menempatkan suara perempuan sebagai sesuatu yang mudah diragukan. Ketika seorang perempuan menyampaikan pengalaman pahitnya, yang sering muncul justru sikap menyalahkan, meragukan, atau mendiamkan.
Pola semacam ini memperlihatkan adanya ketidaksetaraan dalam memaknai pengalaman manusia. Suara laki-laki cenderung dianggap sahih sejak awal, sedangkan suara perempuan harus memperkuat dengan bukti, dukungan publik, bahkan sorotan media agar dipercaya.
Di sisi lain, lemahnya respons aparat dan sistem hukum menjadi faktor yang memperparah keadaan. Kita bisa menyaksikan bagaimana laporan korban sering berakhir dengan mediasi, jalan damai, atau bahkan mendapat penolakan karena seolah kurang bukti. Padahal, tidak seharusnya menggantungkan keadilan pada kemampuan korban untuk membuktikan traumanya di ruang publik. Keadilan seharusnya menjadi tanggung jawab negara, yang memastikan setiap laporan kekerasan ditangani dengan serius tanpa harus menunggu tekanan viral. Selama sistem hukum kita masih menunggu sorotan publik, maka keadilan bagi perempuan akan selalu bersifat kondisional.
Islam Mendengar dan Mengakui Suara Perempuan
Islam sendiri memberikan pelajaran yang jelas tentang pentingnya mendengar dan mengakui suara perempuan. Syekh Nawawi Banten dalam kitab Al-Munȋr li Ma’ȃlimit Tanzȋl menceritakan bahwa Khaulah binti Tsa’labah, perempuan dari kalangan sahabat yang tidak saja mengadukan permasalahannya kepada Rasululllah, tetapi juga kepada Allah.
Hal ini menjadi bukti nyata bahwa suara perempuan tidak hanya didengar, tetapi juga didengar dan dikabulkan oleh Allah. Dan karenanya terbentuklah hukum dhihar dalam syari’at Islam yang kemudian abadi dalam Q.S Al-Mujadalah[28] ayat 1 sampai 4. Ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam telah mengakui pengalaman perempuan sebagai sumber kebenaran dan dasar lahirnya hukum. Maka, ketika masyarakat Muslim sekarang justru meragukan atau mengabaikan suara perempuan, sesungguhnya kita sedang menjauh dari nilai-nilai agama.
Lebih jauh lagi, Al-Qur’an menegaskan dalam Q.S An-Nisa [5]:135.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap diri sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (Q.S An-Nisa [5]:135)
Ayat ini menunjukkan bahwa harus menegakkan keadilan tanpa memandang status sosial, jenis kelamin, atau seberapa besar sorotan publik. Memperjuangkan suara perempuan merupakan tanggung jawab sosial, hukum, dan agama. Negara harus membangun sistem hukum yang responsif sejak laporan pertama masuk, bukan menunggu tekanan massa. Masyarakat harus membangun budaya yang percaya pada pengalaman perempuan tanpa harus memaksa mereka membuka luka di ruang publik.
Tidak Semua Perempuan Memiliki Keberanian
Fenomena “baru didengar setelah viral” juga memperlihatkan adanya kesenjangan besar dalam akses perempuan terhadap keadilan. Tidak semua perempuan memiliki keberanian, kemampuan, atau jaringan yang bisa membuat kisahnya viral. Hanya sebagian kecil kasus yang muncul ke permukaan, sementara ribuan kasus lain tetap tersembunyi karena korban tidak mampu bersuara.
Kondisi ini memperlihatkan betapa keadilan kita masih bersifat elitis dan tidak inklusif. Perempuan yang berada di desa terpencil, yang tidak terbiasa menggunakan media sosial, mungkin selamanya akan terjebak dalam lingkaran ketidakadilan.
Dengan melihat kenyataan ini, kita perlu merefleksikan kembali mengapa masih memperlakukan suara perempuan seolah-olah tambahan dan bukan bagian penting dari narasi sosial kita. Apakah kita hanya akan terus menunggu kasus viral untuk bergerak? Ataukah kita siap membangun sistem sosial dan hukum yang responsif sejak awal, tanpa harus menunggu desakan massa?
Kesadaran publik tentu penting, tetapi ia tidak boleh menjadi satu-satunya cara perempuan memperoleh keadilan. Kita perlu mengubah cara pandang, bahwa pengalaman perempuan adalah kebenaran yang sahih, yang harus mendapat respon dengan cepat, tanpa menunggu menjadi konsumsi publik.
Akhirnya, mendengar suara perempuan bukan hanya soal empati, melainkan juga soal tanggung jawab moral dan agama. Mengabaikan suara perempuan berarti melanggengkan ketidakadilan yang telah lama ada dalam sistem kita. Sementara itu, memberi ruang bagi perempuan sejak awal adalah bagian dari ikhtiar menegakkan nilai keadilan yang sesuai ajaran Islam. Sudah saatnya kita berhenti menggantungkan keadilan pada viralitas, dan mulai membangun budaya yang menjadikan suara perempuan sebagai dasar pijakan sejak awal.
43 Comments