BincangMuslimah.Com – Dalam relasi rumah tangga, banyak yang mengajarkan tentang kesabaran, pengorbanan, dan memperjuangkan cinta. Namun, ketika cinta berbalut kekerasan baik fisik, verbal, psikologis, seksual, maupun ekonomi, maka batas antara memperjuangkan dan mengabaikan diri sendiri menjadi kabur.
Warisan Pemahaman Keliru dalam Kekerasan Domestik
Pada situasi kekerasan dalam ranah domestik atau rumah tangga, ada satu pemahaman keliru yang kerap diwariskan secara turun-temurun. Yaitu bahwa pasangan korban punya tanggung jawab untuk mengubah pelaku. Selain itu, ada kepercayaan lain seperti korban yang sabar, akan mengubah pelaku menjadi manusia lebih baik.
Sehingga tidak heran jika di tengah masyarakat akan menemukan seorang istri yang berkata seperti ini, walau sudah mendapat kekerasan, siksaan atau diberikan haknya:
Kalau saya lebih sabar, dia pasti berubah.
“Dia trauma masa kecil, saya harus jadi penyembuhnya.
“Kalau saya tinggalkan dia, siapa lagi yang akan menolongnya?
Kalimat-kalimat seperti ini sering kali muncul dalam benak korban KDRT, terutama mereka yang telah terikat secara emosional, finansial, atau spiritual. Ini tidak hanya anggapan yang s, Tetapi juga berbahaya.
Namun, cinta bukanlah terapi, dan pasangan bukanlah terapis atau penyelamat. Perubahan hanya akan terjadi jika pelaku mau berubah—bukan karena korban mendorongnya, tetapi karena ia mengakui kesalahan dan bertanggung jawab penuh.
Jika dipikirkan secara seksama, pelaku kekerasan sering kali tetap mampu mengendalikan diri di lingkungan kerja, sosial, atau keagamaan. Mereka hanya memilih menunjukkan kekerasan pada pasangan di balik pintu tertutup. Ini menunjukkan bahwa kekerasan bukan “tidak sengaja” atau sekadar emosi yang meledak, melainkan bentuk kontrol dan dominasi yang disengaja.
Membebankan perubahan kepada korban, secara tidak langsung, menyalahkan korban atas kekerasan yang dialaminya. Ini bisa saja memperpanjang luka psikologis dan menghambat proses pemulihan.
Budaya kita sering kali mengajarkan perempuan (dan juga laki-laki korban) untuk “bertahan demi keluarga”, “tidak membuka aib”, atau “berdoa agar pasangan berubah”. Tapi ini bisa membuat korban dalam siklus kekerasan berulang.
Pelaku melakukan tindak kekerasan, merasa bersalah, lalu meminta maaf, dan berjanji berubah. Korban luluh, bertahan dan kemudian kekerasan terjadi lagi.
Tanpa intervensi profesional dan sistem hukum yang jelas, perubahan nyaris mustahil. Dan tidak adil jika membebanlan beban perubahan itu pada korban yang sedang terluka.
Bukan Tugas Pasangan untuk Menyembuhkan atau Mengubah Pelaku Kekerasan.
Melansir dari The Guardian, Pakar dari Men’s Behaviour Change Programs, Australia, Simon Port dan Sandra Rajic menggarisbawahi bahwa hanya pelaku yang benar-benar ingin berubah, dan mau mengakui tanggung jawabnya, yang bisa mengalami transformasi nyata.
Poin pentingnya adalah kita tidak akan bisa mengubah seseorang yang tidak punya niat dan tekad untuk berubah. Lantas bagaimana agar pelaku untuk ‘sembuh’ dari perilaku kekerasan?
Mengutip dari Australian Psychological Society (APS), pendekatan psikoterapi ini membantu pelaku memahami dan menghentikan mekanisme internal yang mendorong kekerasan. Metode ini biasanya berfokus pada mengatasi pikiran dan keyakinan yang membenarkan perilaku kekerasan. Kemudian menggabungkan pemecahan masalah dan keterampilan komunikasi, teknik manajemen kemarahan dan kontrol impuls
Pada praktiknya, ini akan melibatkan eksplorasi asal-usul dan pemeliharaan keyakinan yang melegitimasi kekerasan, termasuk dampak dari pengalaman perkembangan utama, seperti trauma. Pelaku dibantu untuk memperoleh keterampilan baru untuk membantu mereka mengelola konflik interpersonal dengan cara yang tidak melibatkan kekerasan.
Sehingga dapat kita simpulkan jika perlu menyuarakan bahwa bukan tugas pasangan untuk menyembuhkan atau mengubah pelaku kekerasan. Setiap orang bertanggung jawab atas sikap dan perilakunya sendiri. Relasi sehat tidak bisa dibangun oleh satu pihak saja.
Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal mengalami kekerasan, ingat:
Kamu tidak bersalah. Juga berhak hidup aman. Kamu tidak wajib memperbaiki orang yang menyakitimu. Mendukung perubahan bukan berarti memaklumi kekerasan. Yang kita dukung adalah tanggung jawab dan transformasi perilaku, bukan pembenaran atau “kasihan”.
Link
https://psychology.org.au/inpsych/2015/october/day?utm_source