BincangMuslimah.Com- Salah satu penjelasan dalam surah an-Nisa’ ayat 6 adalah membahas tentang pengembalian atau menyerahkan harta anak yatim dari walinya. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang wali yatim harum memperhatikan dua hal, yakni pada kata balaghun nikah dan ar-rusydu. Berikut penjelasannya.
Menguji kemampuan anak yatim
Sebelum membahas dua kata di atas, penjelasan kata pertama dalam ayat ini juga penting. Yakni kata wabtaluu (وَابْتَلُوا الْيَتَامَى). Menurut al-Maturidi dalam Tafsir al-Maturidi anak yatim mendapat ujian sebelum mereka memasuki masa pubertas dengan berdasar pada dua alasan, yakni, pertama, menguji pemahaman agamanya agar mereka terbiasa. Dalam hal ini, al-Maturidi menitik beratkan pada aspek pemahaman ajaran agama. Bahwa, hendaknya anak yatim tersebut diuji dalam berbagai ibadah, adab, dan kewajiban -yang menjadi tanggung jawabnya.
Maka, yang menjadi wali dari anak yatim tersebut wajib untuk mengujinya. Hal ini bertujuan agar mereka terbiasa dan ketika memasuki masa pubertas, mereka sudah memahami ibadah-ibadah dan kewajiban apa saja yang mereka lakukan. Termasuk di dalamnya adalah mereka mengetahui hak-hak harta dan nilainya, sehingga mereka bisa menjaga hartanya sendiri.
Kedua, menguji kemampuan akalnya. Pengujian ini bisa dengan memberikan Sebagian hartanya kepada mereka -anak yatim- untuk mengelola dalam bentuk kegiatan dagang. Dari praktik ini, seorang wali akan melihat apakah anak yatim tersebut sudah mampu menjaga hartanya atau tidak.
الرشد ليس ما ذكر، ولكن ما قيل من العقل والحفظ لماله، والإصلاح فيها
Kedewasaan/kepintaran bukanlah apa yang disebutkan. Tapi apa yang ia katakan dari akal/pikiran, menjaga harta, dan memperbaikinya/mengelolanya.
Pendapat al-Maturidi di atas senada dengan penyampaian al-Jashshash dalam Ahkamul Qur’an bahwa anak yatim harus mendapat tes selagi mereka masih muda dalam dua aspek. Meliputi dalam hal penalaran/akal dan pemahaman agamanya. Ujian dalam penalaran/akal tersebut bisa terlihat dari kegiatan berdagang.
Al-Jashshash menjelaskan bahwa menguji dengan berdagang bukan berarti seorang wali yatim memberikan uang sepenuhnya, mengingat mereka masih belum baligh maupun dewasa. Tapi, mereka hanya menjalankan praktik jual beli tanpa uang di tangannya. Al-Jashshash menganalogikan dengan budak yang bertugas untuk jual beli, namun tidak mendapat izin untuk mengelola uangnya.
Selain dari pada itu, ada dua poin penting yang juga harus diperhatikan ketika hendak menyerahkan harta dari wali kepada anak yatim, yakni:
Pertama, telah mencapai usia baligh
Poin pertama adalah kata (إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ). Jika seorang anak yatim telah mencapai usia memasuki gerbang pernikahan, makai ia harus diuji, sebagaimana penjelasan di atas. Menurut banyak mufasir, kata balaghun nikaah bermakna masa pubertas. Salah satunya ada dalam tafsir ath-Thabari:
: كما حدَّثني محمدُ بنُ عمرٍو، قال : ثنا أبو عاصمٍ، عن عيسى، عن ابن أبي نَجيحٍ، عن مجاهدٍ في قوله: ﴿وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ﴾ … وأما قوله: «حتى إذا بلغوا النكاح» فإنه يعني: إذا بلغوا الحُلُم
Abu Asim meriwayatkan kepada kami dari Isa, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, mengenai firman, “Sampai mereka cukup umur untuk menikah”, maknanya adalah baligh.
Dalam Kitab Huquuq al-Yataama lebih jelas lagi terkait dengan perkiraan usia pubertas, mayoritas ulama menganggap ketika telah mencapai usia 15 tahun. Sedangkan menurut Abu Hanifah, seorang perempuan masuk masa pubertas jika mencapai usia 17 tahun, dan laki-laki berusia 19 tahun. Atau, memang sudah menunjukkan tanda-tanda pubertas.
Kedua, telah mencapai kematangan mental
Poin kedua adalah kata rusydan (فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا). Dalam Tafsir ath-Thabari dijelaskan dengan demikian;
واخْتَلف أهلُ التأويلِ في معنى الرُّشْدِ في هذا الموضعِ الذي ذكَره اللهُ؛ فقال بعضُهم
الآيةِ: العقلُ والصلاحُ في الدين معنى الرشدِ في هذا الموضعِ في هذه
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ar-rusydu dalam ayat tersebut. Sebagian mereka berkata, yang dimaksud ar-rusydu dalam ayat ini adalah akal dan kebenaran dalam beragama.
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, makna rusydan bagi manusia, adalah kesempurnaan akal dan jiwa, yang menjadikan manusia mampu bersikap dan bertindak dengan tepat. Atau, menurut penulis, bisa dibahasakan dengan kematangan mental.
Kematangan mental yang dimaksud adalah kedewasaan dari anak yatim tersebut. Ada beberapa definisi kedewasaan yang diajukan, pertama, dewasa artinya anak tersebut memiliki akhlak yang baik dan pintar dalam segala hal sesuai dengan fitrahnya.
Kedua, dewasa dalam beragama (ar-rusydu fid diin), maksudnya adalah ketakwaan seseorang terhadap agamanya, yakni mengerjakan apa yang wajib dan meninggalkan larangan Allah. Ketiga, dewasa dalah hal keuangan (ar-rusydu fil maal), artinya, anak yatim itu sudah bisa mengelola dengan baik terkait masalah uang.
Menunggu Hingga Usia Dewasa Sebagai Bentuk Kehati-hatian
Sehingga bisa menarik kesimpulan, bahwa makna kedewasaan meliputi kesalehan dalam berpikir, beragama, atau kedua-duanya. Atau, kedewasaan dalam berpikir dan mengelola keuangan, ataupun kedewasaan dalam beragama dan keuangan. (Kitaab Huquuq al-Yataama)
Dalam Tafsir al-Mishbah, Imam Abu Hanifah memberikan pendapat -yang mungkin ini adalah salah satu bentuk kehati-hatiannya- bahwa bagaimanapun keadaan seorang anak yatim, jika telah memasuki usia 25 tahun, maka wali harus menyerahkan harta itu kepadanya, walaupun dia boros. Alasan dari menetapkan usia 25 karena merasa pada usia itu sudah cukup untuk terjadinya perubahan-perubahan dalam diri manusia.
Ibnu Katsir juga memberikan penegasan bahwa ulama fikih mengatakan apabila seorang anak yatim telah mencapai usia yang membuat ia berlaku layak dalam agama dan hartanya. Maka ia bebas dari hijr (larangan menggunakan harta bendanya). Dengan demikian, wali dari anak yatim harus menyerahkan semua harta yang berada di tangannya kepada anak yatim tersebut.