Ikuti Kami

Kajian

Pengertian, Tata Cara, dan Dalil Jamak Shuri

Jamak shuri
gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Istilah jamak shuri memang belum begitu familiar bagi di kalangan muslim. Padahal, istilah itu memang ada dan diamalkan oleh kalangan ulama fikih. Munculnya istilah ini berawal dari adanya distingsi pendapat antara empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. 

Pengertian Jamak Shuri

Shalat jamak shuri yaitu mengerjakan dua shalat fardhu dengan jarak waktu yang dekat, shalat fardhu pertama dikerjakan di akhir waktu sedangkan shalat fardhu kedua dikerjakan di awal waktu. Menurut Syaikh Mahmud Syaltut dan Syaikh Muhammad ‘Ali al-Syayis, jamak shuri lebih sukar ditunaikan dibandingkan shalat di awal waktu, karena kita akan kesulitan dalam menentukan akhir dan awal waktu dari dua shalat.

Tata Cara Melaksanakan  Jamak Shuri

Jamak shuri dilakukan dengan mengakhirkan atau menunda shalat fardhu yang pertama kemudian mendahulukan atau dikerjakan di awal waktu shalat fardhu yang kedua. Misalnya, mengakhirkan waktu shalat Dzuhur dan mengawalkan waktu shalat Ashar, atau mengakhirkan waktu shalat Maghrib dan mengerjakan shalat isya di awal waktu.

Dalil Tentang Jamak shuri

Dalam Hadis Anas, dia berkata; bahwasannya Rasulullah saw ketika bepergian sebelum matahari condong, beliau mengakhirkan shalat Dzuhur sampai waktu Ashar, kemudian beliau turun dan menggabungkan antara keduanya. Namun, bila bepergian setelah matahari condong, beliau shalat Dzuhur terlebih dahulu kemudian berangkat.

Beberapa hadis dan lainnya secara zahir serta keumumannya menyatakan bolehnya menggabungkan antara dua shalat fardhu ketika bepergian, baik itu jamak  takdim maupun jamak ta’kḥir. Adapun ulama yang berpandangan dengan pendapat yang pertama, mereka memahami hadis di atas dengan istilah jamak shuri.

Maksud dari istilah jamak shuri adalah seperti menjamak dua shalat, tetapi sebetulnya bukan jamak, sebab kedua shalat dikerjakan di waktunya masing-masing. Maka, seakan-akan kita merasa bahwa kedua shalat ini seperti dijamak, padahal bukan jamak. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. an-Nisa [4]: 103 berikut: 

Baca Juga:  Apakah Sunnah Berbuka dengan Makanan Manis?

فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا ٱطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ ۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan dari golongan ulamaHanafiyah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu ‘Abdin dalam Hasyiyahnya. Dalam mazhab Hanafi ada istilah “jamak pekerjaannya bukan waktunya”. Dari sinilah ulama menarik kesimpulan istilah jamak shuri, yakni jamak secara zahir tapi bukan jamak yang sesungguhnya.

Para ulama sering kali menggunakan jamak shuri dalam bermacam kesempatan sebagai jawaban bagi mereka yang tidak mencukupi syarat  diperbolehkannya shalat jamak, baik jamak taqdim maupun jamak ta’khir. Keadaan yang dimaksud seperti kondisi yang dialami wanita istihadhah, orang sakit, dan pengantin.

Sebagaimana penjelasan yang diterangkan oleh Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul-Authar, beliau mengatakan:

وَمِمَّا يَدُلّ عَلَى تَعْيِين حَمْل حَدِيثِ الْبَابِ عَلَى الْجَمْع الصُّورِيّ مَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: «صَلَّيْتُ مَععَ النَّبِيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْر وَعَجَّللَ الْعَصْر، وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ» فَهَذَاا ابْنُ عَبَّاسٍ رَاوِي حَدِيثِ الْبَابِ قَدْ صَرَّحَ بِأَنَّ مَا رَوَاهُ مِنْ الْجَمْع الْمَذْكُور هُوَ الْجَمْع الصُّورِيّ.

Artinya: Salah satu yang menguatkan bahwa jamak yang dimaksud dalam hadts Ibnu Abbas itu adalah jamak shuri adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan: ‘Aku sholat bersama Nabi zuhur dan Ashar bersamaan (jamak),  juga Maghrib dan Isya bersamaan (jamak). Beliau mengakhirkan zuhur dan menyegerakan Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta menyegerakan Isya.”

Baca Juga:  Jika Suami Istri Bersenggama Saat Puasa Ramadhan, Siapa yang Wajib Membayar Kafarat?

Tak hanya itu, diperbolehkannya jamak shuri semakin diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

قَال ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : مَا رَأَيْت النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلاَةً لِغَيْرِ مِيقَاتِهَا إِلاَّ صَلاَتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِجَمْعٍ أَيْ بِمُزْدَلِفَةَ

Artinya: “Aku tidak pernah melihat Nabi saw. shalat bukan pada waktunya kecuali 2 shalat, beliau menjamak shalat Maghrib dan Isya di jama’ atau di muzdalifah” (HR. Bukhari)

Meskipun memang terdapat beberapa kelompok yang membolehkan menjamak shalat walau tanpa sebab sebagaimana hadis Ibnu Abbas tersebut. Di antaranya ialah Ibnu Sirin, mazhab Al-Zahiri, Asyhab dari kalangan Malikiyah, dan juga Ibnu Mundzir dari kalangan Syafi’iyyah. 

Alasan mereka yang membolehkan jamak shuri adalah jika memang terdapat keperluan yang mendesak dan tidak memungkinkan seorang muslim untuk shalat tepat waktu kecuali dengan di jamak, sebab lanjutan hadis Ibnu Abbas sebagai berikut:

فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ

Artinya: “Dalam hadits waqi’, beliau berkata kepada Ibnu Abbas: ‘Kenapa Nabi melakukan itu?’, Ibnu Abbas menjawab: ‘agar tidak memberatkan umatnya”.

Jadi, ilat atau sebab diperbolehkannya jamak tanpa udzur adalah raf’ul haraj (agar tidak memberatkan). Sesuatu yang berat itu muncul ketika adanya kesulitan serta kondisi yang genting.

Rekomendasi

Ditulis oleh

Alumni Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam

1 Komentar

1 Comment

Komentari

Terbaru

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Berita

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Berita

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Berita

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Muslimah Talk

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

ayat landasan mendiskriminasi perempuan ayat landasan mendiskriminasi perempuan

Manfaat Membaca Surat Al-Waqiah Setiap Hari

Ibadah

Connect